Energi Bersih Kian Dilirik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Produsen teknologi raksasa global perlahan mulai melirik sektor energi terbaru sebagai investasi yang menguntungkan dan menjanjikan. Selain ambisi untuk memerangi perubahan iklim, mereka juga menunjukkan kepedulian untuk menghadirkan kehidupan dunia yang lebih ramah lingkungan.
Isu mengenai energi bersih yang menjadi goal dari pengembangan sumber-sumber energi terbarukan memang sedang gencar dikampanyekan. Tak heran jika perlombaan menjadi yang paling “hijau” terus mengemuka. (Baca: India Agresif Kembangkan Energi Baru Terbarukan, Bagaimana Indonesia?)
Kabar terkini disampaikan oleh perusahaan teknologi Apple Inc yang berniat membangun dua pembangkit listrik tenaga angin terbesar di dunia di Kota Esbjerg, Denmark. Aksi korporasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan perusahaan tersebut dalam mendukung dunia bebas karbon. Dua ladang turbin raksasa yang akan dibangun itu ditargetkan menghasilkan 62 gigawatt (GW) serta bisa mengaliri listrik untuk 20.000 rumah.
Upaya mengurangi karbon yang berasal dari bahan bakar fosil juga disampaikan oleh Unilever, perusahaan penghasil barang-barang consumer good. Perusahaan itu menyiapkan dana USD1,2 miliar (sekitar Rp17,7 triliun) untuk menggantikan bahan-bahan petrokimia yang menghasilkan karbon dengan bahan alami yang lebih ramah lingkungan.
Perusahaan teknologi lainnya, Google, juga tidak mau ketinggalan. Raksasa mesin pencarian internet itu menggelontorkan investasi di sektor energi terbarukan senilai USD1,5 triliun hingga 2025.
Sebenarnya apa yang ingin dicapai oleh perusahaan-perusahaan raksasa itu sehingga berani menganggarkan dana triliunan rupiah di sektor energi yang bukan core business-nya? Keberlangsungan dan kesinambungan menjadi jawabannya.
“Memerangi perubahan iklim menuntut tindakan langsung dan kemitraan global,” kata Wakil Presiden Apple bidang Lingkungan, Kebijakan, dan Inisiatif Sosial Lisa Jackson.
Bulan lalu Apple mengumumkan rencana menerapkan bebas karbon pada seluruh bisnisnya pada 2030. Operasional Apple juga akan menggunakan energi terbaru pada 2030.
Google saat ini tercatat telah memiliki komitmen 52 proyek energi terbaru di seluruh dunia mulai dari pembangkit tenaga angin maupun surya.
“Mayoritas energi terbaru yang dimanfaatkan Google adalah pembangkit listrik tenaga angin lebih stabil dibandingkan surya yang berbeda-beda di setiap negara,” kata CEO Google Sundar Pichai, dilansir Forbes, beberapa waktu lalu. (Baca juga: Turki Peringatkan, Perang dengan Yunani hanya Tinggal Masalah Waktu)
Dikutip dari BBC, Unilever mengatakan, saat ini perusahaan itu menggunakan sumber kimia untuk produk pembersih dan detergen hingga 46%. Dengan komitmen baru dalam pengurangan karbon, mereka berjanji akan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan hingga 20%.
Negara-Negara Berlomba Kembangkan EBT
Sejumlah negara kini berlomba untuk mengembankan energi terbaru. Itu juga menjadi target ambisius untuk mengurangi konsumsi bahan bakar berbasis fosil. Eskalasi investasi terhadap sektor tersebut pun mengalami kenaikan tajam.
Islandia merupakan negara yang terdepan dalam mengembangkan energi terbaru. Umumnya mereka menggunakan energi surya dan angin. Sebesar 100% energi di Islandia menggunakan energi terbaru mulai listrik hingga transportasi. Mereka juga memanfaatkan energi panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Bahkan, pembangkit energi panas bumi di Blue Lagoon menjadi daya tarik wisatawan dari berbagai dunia. Sebesar 87% energi listrik di Islandia dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air dan 13 dari panas bumi.
Swedia juga berambisi menggunakan 100% sumber energi terbarukan. Mereka meningkatkan investasi pada pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan mendukung transportasi ramah lingkungan. (Baca juga: Jam Tangan Misterius Kurt Cobain yang Tak Banyak Orang Tahu)
Demikian juga Kosta Rika yang hanya berpenduduk 4,9 juta dengan 67 gunung berapi, mereka mengandalkan energi panas bumi, surya, dan angin sebagai andalannya. Mereka ingin menjadi negara bebas karbon pada 2021. Sekitar dua bulan dalam setahun, mereka bahkan bisa hanya mengandalkan energi terbarukan. Sebesar 99% pasokan listrik di Kosta Rika berasal dari energi pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan angin.
Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans mengatakan, perlunya satu generasi untuk membangun dunia yang lebih baik. “Pemulihan ekonomi pascapandemi justru harus lebih ramah lingkungan,” katanya. Dia mengatakan, Uni Eropa berkomitmen menyediakan setengah triliun euro untuk mendukung investasi pada program ramah lingkungan. Perlunya pengembangan energi hidrogen juga menjadi perhatian Jepang, Inggris, Jerman, dan Australia.
Perlu Dukungan Regulasi
Di Tanah Air pengembangan EBT perlahan, tapi pasti terus menunjukkan progres signifikan. Ini terlihat dari porsi pembangkit listrik dari sumber-sumber energi nonfosil yang terus bertambah. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Mei 2020 porsi pembangkit listrik EBT mencapai 14,9%, naik dibanding 2019 sebesar 9,15%. Sebagai perbandingan, persentase energi primer yang berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara masih mendominasi yakni 63,9% dan gas 18%.
Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Manusia Hariyanto mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan insentif dan kompensasi untuk pelaku usaha di industri agar mau beralih dari penggunaan fossil fuel ke energi baru terbarukan. Sayangnya, dia tidak merinci secara detail insentif dan kompensasi yang akan diberikan tersebut.
Insentif tersebut, kata dia, akan tertuang dalam peraturan presiden menyangkut energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Menurut Hariyanto, poin pentingdalamperpres tersebut antara lain soal harga yang akan ditinjau agar bisa menarik investor masuk ke sektor energi baru terbarukan. (Baca juga: Menanti 10 Tahun, Zaskia Sungkar Akhirnya Hamil)
“Selain itu, juga akan mengatur soal kuota yang ditentukan oleh Kementerian ESDM, tujuannya agar bisa tercapai target 23% bauran energi pada 2045,” kata Hariyanto pada sebuah diskusi virtual, Rabu (26/8/2020).
Dalam memenuhi target bauran energi, PT PLN (Persero) sebagai perusahaan penyedia listrik di Tanah Air juga berkomitmen dalam meningkatkan pasokan energi bersih. Satu di antara program yang akan dikembangkan adalah mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit ramah lingkungan. “PLN akan ada program dedieselisasi PLTD tersebar," ungkap Arsyadany G Akmalaputri, vice president public relation PLN, saat dihubungi tadi malam.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat, pengembangan EBT akan bergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Menurut dia, ke depan EBT paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Anggota DPR Komisi VII Dyah Roro Esti mengungkapkan, pengembangan EBT di Indonesia masih menemui hambatan, terutama belum ada payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Meski sudah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT dan sudah masuk dalam Prolegnas 2020, namun beleid tersebut diyakini tidak akan selesai tahun ini. Namun, DPR memastikan akan membuka ruang diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
“Selama ini kendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tuturnya.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, untuk mengembangkan EBT perlu ada sinergi antara pemerintah dan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menciptakan perangkat yang lebih terjangkau.
“Investasi EBT kan mahal, makanya harus ada produk yang harganya lebih murah seperti panel surya atau alat minihydro,” katanya. (FW Bahtiar/Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan/Anto Kurniawan/Yanto Kusdiantono)
Isu mengenai energi bersih yang menjadi goal dari pengembangan sumber-sumber energi terbarukan memang sedang gencar dikampanyekan. Tak heran jika perlombaan menjadi yang paling “hijau” terus mengemuka. (Baca: India Agresif Kembangkan Energi Baru Terbarukan, Bagaimana Indonesia?)
Kabar terkini disampaikan oleh perusahaan teknologi Apple Inc yang berniat membangun dua pembangkit listrik tenaga angin terbesar di dunia di Kota Esbjerg, Denmark. Aksi korporasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan perusahaan tersebut dalam mendukung dunia bebas karbon. Dua ladang turbin raksasa yang akan dibangun itu ditargetkan menghasilkan 62 gigawatt (GW) serta bisa mengaliri listrik untuk 20.000 rumah.
Upaya mengurangi karbon yang berasal dari bahan bakar fosil juga disampaikan oleh Unilever, perusahaan penghasil barang-barang consumer good. Perusahaan itu menyiapkan dana USD1,2 miliar (sekitar Rp17,7 triliun) untuk menggantikan bahan-bahan petrokimia yang menghasilkan karbon dengan bahan alami yang lebih ramah lingkungan.
Perusahaan teknologi lainnya, Google, juga tidak mau ketinggalan. Raksasa mesin pencarian internet itu menggelontorkan investasi di sektor energi terbarukan senilai USD1,5 triliun hingga 2025.
Sebenarnya apa yang ingin dicapai oleh perusahaan-perusahaan raksasa itu sehingga berani menganggarkan dana triliunan rupiah di sektor energi yang bukan core business-nya? Keberlangsungan dan kesinambungan menjadi jawabannya.
“Memerangi perubahan iklim menuntut tindakan langsung dan kemitraan global,” kata Wakil Presiden Apple bidang Lingkungan, Kebijakan, dan Inisiatif Sosial Lisa Jackson.
Bulan lalu Apple mengumumkan rencana menerapkan bebas karbon pada seluruh bisnisnya pada 2030. Operasional Apple juga akan menggunakan energi terbaru pada 2030.
Google saat ini tercatat telah memiliki komitmen 52 proyek energi terbaru di seluruh dunia mulai dari pembangkit tenaga angin maupun surya.
“Mayoritas energi terbaru yang dimanfaatkan Google adalah pembangkit listrik tenaga angin lebih stabil dibandingkan surya yang berbeda-beda di setiap negara,” kata CEO Google Sundar Pichai, dilansir Forbes, beberapa waktu lalu. (Baca juga: Turki Peringatkan, Perang dengan Yunani hanya Tinggal Masalah Waktu)
Dikutip dari BBC, Unilever mengatakan, saat ini perusahaan itu menggunakan sumber kimia untuk produk pembersih dan detergen hingga 46%. Dengan komitmen baru dalam pengurangan karbon, mereka berjanji akan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan hingga 20%.
Negara-Negara Berlomba Kembangkan EBT
Sejumlah negara kini berlomba untuk mengembankan energi terbaru. Itu juga menjadi target ambisius untuk mengurangi konsumsi bahan bakar berbasis fosil. Eskalasi investasi terhadap sektor tersebut pun mengalami kenaikan tajam.
Islandia merupakan negara yang terdepan dalam mengembangkan energi terbaru. Umumnya mereka menggunakan energi surya dan angin. Sebesar 100% energi di Islandia menggunakan energi terbaru mulai listrik hingga transportasi. Mereka juga memanfaatkan energi panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Bahkan, pembangkit energi panas bumi di Blue Lagoon menjadi daya tarik wisatawan dari berbagai dunia. Sebesar 87% energi listrik di Islandia dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air dan 13 dari panas bumi.
Swedia juga berambisi menggunakan 100% sumber energi terbarukan. Mereka meningkatkan investasi pada pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan mendukung transportasi ramah lingkungan. (Baca juga: Jam Tangan Misterius Kurt Cobain yang Tak Banyak Orang Tahu)
Demikian juga Kosta Rika yang hanya berpenduduk 4,9 juta dengan 67 gunung berapi, mereka mengandalkan energi panas bumi, surya, dan angin sebagai andalannya. Mereka ingin menjadi negara bebas karbon pada 2021. Sekitar dua bulan dalam setahun, mereka bahkan bisa hanya mengandalkan energi terbarukan. Sebesar 99% pasokan listrik di Kosta Rika berasal dari energi pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan angin.
Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans mengatakan, perlunya satu generasi untuk membangun dunia yang lebih baik. “Pemulihan ekonomi pascapandemi justru harus lebih ramah lingkungan,” katanya. Dia mengatakan, Uni Eropa berkomitmen menyediakan setengah triliun euro untuk mendukung investasi pada program ramah lingkungan. Perlunya pengembangan energi hidrogen juga menjadi perhatian Jepang, Inggris, Jerman, dan Australia.
Perlu Dukungan Regulasi
Di Tanah Air pengembangan EBT perlahan, tapi pasti terus menunjukkan progres signifikan. Ini terlihat dari porsi pembangkit listrik dari sumber-sumber energi nonfosil yang terus bertambah. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Mei 2020 porsi pembangkit listrik EBT mencapai 14,9%, naik dibanding 2019 sebesar 9,15%. Sebagai perbandingan, persentase energi primer yang berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara masih mendominasi yakni 63,9% dan gas 18%.
Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Manusia Hariyanto mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan insentif dan kompensasi untuk pelaku usaha di industri agar mau beralih dari penggunaan fossil fuel ke energi baru terbarukan. Sayangnya, dia tidak merinci secara detail insentif dan kompensasi yang akan diberikan tersebut.
Insentif tersebut, kata dia, akan tertuang dalam peraturan presiden menyangkut energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Menurut Hariyanto, poin pentingdalamperpres tersebut antara lain soal harga yang akan ditinjau agar bisa menarik investor masuk ke sektor energi baru terbarukan. (Baca juga: Menanti 10 Tahun, Zaskia Sungkar Akhirnya Hamil)
“Selain itu, juga akan mengatur soal kuota yang ditentukan oleh Kementerian ESDM, tujuannya agar bisa tercapai target 23% bauran energi pada 2045,” kata Hariyanto pada sebuah diskusi virtual, Rabu (26/8/2020).
Dalam memenuhi target bauran energi, PT PLN (Persero) sebagai perusahaan penyedia listrik di Tanah Air juga berkomitmen dalam meningkatkan pasokan energi bersih. Satu di antara program yang akan dikembangkan adalah mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit ramah lingkungan. “PLN akan ada program dedieselisasi PLTD tersebar," ungkap Arsyadany G Akmalaputri, vice president public relation PLN, saat dihubungi tadi malam.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat, pengembangan EBT akan bergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Menurut dia, ke depan EBT paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Anggota DPR Komisi VII Dyah Roro Esti mengungkapkan, pengembangan EBT di Indonesia masih menemui hambatan, terutama belum ada payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Meski sudah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT dan sudah masuk dalam Prolegnas 2020, namun beleid tersebut diyakini tidak akan selesai tahun ini. Namun, DPR memastikan akan membuka ruang diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
“Selama ini kendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tuturnya.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, untuk mengembangkan EBT perlu ada sinergi antara pemerintah dan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menciptakan perangkat yang lebih terjangkau.
“Investasi EBT kan mahal, makanya harus ada produk yang harganya lebih murah seperti panel surya atau alat minihydro,” katanya. (FW Bahtiar/Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan/Anto Kurniawan/Yanto Kusdiantono)
(ysw)