IDI Usul Waktu Kerja Dokter Tangani COVID-19 Dipersingkat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pagebluk COVID-19 mulai membuat layanan kesehatan Indonesia rentan. Tenaga medis berguguran dalam tugas. Sementara itu, kasus positif corona belum mereda. Dalam tiga hari terakhir, jumlah yang terpapar virus Sars Cov-II berturut-turut 3.308, 2.858, dan 2.743 orang.
Total orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 sejak merebak di Tanah Air pada awal Maret lalu mencapai 174.796 orang. Berdasarkan data Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Senin (31/8/2020), ada 74 orang meninggal. Total yang meninggal dunia 7.417 orang.
Masalahnya, orang terpapar bukan hanya masyarakat umum, tetapi tenaga medis, baik dokter maupun perawat, ikut terpapar. PB IDI menyampaikan sudah ada 100 dokter yang meninggal dunia. Dokter yang banyak meninggal di wilayah Jawa Timur dengan jumlah 25 orang, disusul oleh Sumatera Utara 15, dan DKI Jakarta 14 orang. ( )
"Tentu amat sangat menyedihkan. 100 orang itu banyak sekali. Ada guru besar, doktor, dan spesialis. Demikian pula perawat yang ahli untuk membantu pasien COVID-19. Itu (kasus meninggal) bertahap mulai dari 20 dan 30 orang, kami terus mengikuti," ujar Kasatgas PB IDI Zubairi Djoerban saat dihubungi SINDOnews, Senin (31/8/2020).
Melihat semakin banyaknya dokter yang meninggal, PB IDI membentuk tim untuk memetakan masalah penularan virus Sars Cov-II. Zubairi mengatakan pihaknya melakukan beberapa langkah preventif dan advokasi untuk para dokter. PB IDI meminta pemerintah menyediakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.
"Artinya, kalau APD-nya sekali pakai ya sekali pakai. Jangan 2-3 kali pakai. APD yang 10 kali pakai, jangan dipakai 20 kali. Kalau harus pakai masker bedah ya jangan yang lain. Kalau di ruangan tertentu harus pake (masker) N95, enggak bisa ditawar lagi," katanya.
Zubairi mengungkapkan banyak dokter yang tertular dan meninggal dunia karena kelelahan dalam bekerja. Dokter ataupun pekerja itu normalnya bekerja tujuh jam dalam enam hari kerja. Bisa juga delapan jam sehari dengan lima hari kerja. ( )
"Kalau bekerja di ruang COVID-19 harusnya lebih pendek lagi. Kalau sudah lelah, kurang waspada jadi mudah tertular. Itu kewajiban pemerintah untuk mengatur (waktu kerja) lebih baik lagi. Di ruang COVID-19 jangan lama-lama," katanya.
Dia menyebut idealnya dokter yang menangani pasien COVID-19 itu bekerja empat jam. Jumlah shift kerja untuk menangani pasien COVID-19 antara 5-6 orang. Dokter dalam praktiknya di masa pandemi ini tidak mudah. Setiap ada pasien yang gawat, meskipun libur seorang dokter harus datang ke rumah sakit untuk menangani.
Saat ini penanggung jawab ruangan atau penanganan COVID-19 biasanya di tangan dokter spesialis penyakit dalam, paru-paru, dan emergency. PB IDI mengusulkan agar tidak harus tiga spesialis itu yang berada di dalam ruangan. Pemeriksaan bisa dilakukan oleh dokter spesialis lain, tetapi penanggungjawabnya tetap tiga dokter spesialis itu.
Zubairi membenarkan rumah sakit rujukan mulai kewalahan menangani pasien COVID-19. Pemindahan pasien dari satu rumah sakit rujukan ke yang lain sulit karena sama-sama sudah penuh. Situasi ini menjadi alarm bagi pemerintah mengendalikan penyebaran virus Sars Cov-II.
Tentu saja, masyarakat juga harus patuh menjalankan protokol kesehatan. "Baik bed untuk COVID-19 apalagi ICU sering kali penuh. Kalau sekarang pas-pasan, sebulan lagi dengan angka kasus naik? Jadi harus diantisipasi dari sekarang," katanya.
Total orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 sejak merebak di Tanah Air pada awal Maret lalu mencapai 174.796 orang. Berdasarkan data Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Senin (31/8/2020), ada 74 orang meninggal. Total yang meninggal dunia 7.417 orang.
Masalahnya, orang terpapar bukan hanya masyarakat umum, tetapi tenaga medis, baik dokter maupun perawat, ikut terpapar. PB IDI menyampaikan sudah ada 100 dokter yang meninggal dunia. Dokter yang banyak meninggal di wilayah Jawa Timur dengan jumlah 25 orang, disusul oleh Sumatera Utara 15, dan DKI Jakarta 14 orang. ( )
"Tentu amat sangat menyedihkan. 100 orang itu banyak sekali. Ada guru besar, doktor, dan spesialis. Demikian pula perawat yang ahli untuk membantu pasien COVID-19. Itu (kasus meninggal) bertahap mulai dari 20 dan 30 orang, kami terus mengikuti," ujar Kasatgas PB IDI Zubairi Djoerban saat dihubungi SINDOnews, Senin (31/8/2020).
Melihat semakin banyaknya dokter yang meninggal, PB IDI membentuk tim untuk memetakan masalah penularan virus Sars Cov-II. Zubairi mengatakan pihaknya melakukan beberapa langkah preventif dan advokasi untuk para dokter. PB IDI meminta pemerintah menyediakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.
"Artinya, kalau APD-nya sekali pakai ya sekali pakai. Jangan 2-3 kali pakai. APD yang 10 kali pakai, jangan dipakai 20 kali. Kalau harus pakai masker bedah ya jangan yang lain. Kalau di ruangan tertentu harus pake (masker) N95, enggak bisa ditawar lagi," katanya.
Zubairi mengungkapkan banyak dokter yang tertular dan meninggal dunia karena kelelahan dalam bekerja. Dokter ataupun pekerja itu normalnya bekerja tujuh jam dalam enam hari kerja. Bisa juga delapan jam sehari dengan lima hari kerja. ( )
"Kalau bekerja di ruang COVID-19 harusnya lebih pendek lagi. Kalau sudah lelah, kurang waspada jadi mudah tertular. Itu kewajiban pemerintah untuk mengatur (waktu kerja) lebih baik lagi. Di ruang COVID-19 jangan lama-lama," katanya.
Dia menyebut idealnya dokter yang menangani pasien COVID-19 itu bekerja empat jam. Jumlah shift kerja untuk menangani pasien COVID-19 antara 5-6 orang. Dokter dalam praktiknya di masa pandemi ini tidak mudah. Setiap ada pasien yang gawat, meskipun libur seorang dokter harus datang ke rumah sakit untuk menangani.
Saat ini penanggung jawab ruangan atau penanganan COVID-19 biasanya di tangan dokter spesialis penyakit dalam, paru-paru, dan emergency. PB IDI mengusulkan agar tidak harus tiga spesialis itu yang berada di dalam ruangan. Pemeriksaan bisa dilakukan oleh dokter spesialis lain, tetapi penanggungjawabnya tetap tiga dokter spesialis itu.
Zubairi membenarkan rumah sakit rujukan mulai kewalahan menangani pasien COVID-19. Pemindahan pasien dari satu rumah sakit rujukan ke yang lain sulit karena sama-sama sudah penuh. Situasi ini menjadi alarm bagi pemerintah mengendalikan penyebaran virus Sars Cov-II.
Tentu saja, masyarakat juga harus patuh menjalankan protokol kesehatan. "Baik bed untuk COVID-19 apalagi ICU sering kali penuh. Kalau sekarang pas-pasan, sebulan lagi dengan angka kasus naik? Jadi harus diantisipasi dari sekarang," katanya.
(abd)