Perdebatan Ilmiah yang Salah Ruang

Minggu, 30 Agustus 2020 - 09:49 WIB
loading...
Perdebatan Ilmiah yang Salah Ruang
Dr Firman Kurniawan S, pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org,
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org,


INSTITUSI
pemeringkat universitas di seluruh dunia, banyak jenisnya. Juga dengan hasil peringkat yang tak seragam. Bahkan ketakseragaman itu bisa menyolok posisinya.

Tentu ini merupakan hasil yang terbawa oleh perbedaan indikator penilaian dari masing-masing institusi. Times Higher Education World University Ranking 2019-2020, menempatkan Oxford University (UK) sebagai peringkat pertama.

Berikutnya, California Institute of Technology (USA), University of Cambridge (UK), Stanford University (USA) dan Massachusetts Institute of Technology (USA).

Universitas di Inggris dan Amerika, mendominasi urutan 1-5 secara ketat. Sedangkan peringkat yang dirilis Webometric Ranking of World University, Juli 2020, menempatkan peringkat pertama hingga kelima: Harvard University, Stanford University, Massachusetts Institute of Technology, University of California Berkeley, University of Washington.

Kelimanya berlokasi di USA. THES, The Higher Education Suplement, yang memuat informasi peringkat universitas dunia itu, merupakan sisipan tahunan Majalah TIMES yang disusun di London.

Sedangkan Webometric Rank merupakan inisiatif Lab. Cybermetric di bawah The Consejo Superior de Investigaciones Científicas (CSIC), yang berkantor pusat di Madrid, Spanyol. Tak terlihat ada bias negara, dalam menentukan peringkat universitas dunia itu.

Hingga hari ini, jika belum ada universitas dari Indonesia yang masuk peringkat, bahkan 100 besar kelas dunia, mungkin karena tradisi ilmiah dan budaya akademis masyarakat kita, terutama masyarakat universitas, yang belum memadai untuk mencapai posisi itu. Ini kenyataan yang tak perlu dicaci maki. Justru perlu keseriusan komunitas ilmiah Indonesia, untuk segera berbenah.

Fenomena terkait tradisi ilmiah dan budaya akademis, dengan disiplin metodologis yang kokoh sebagai Ibu ilmu pengetahuan, teruji nyata di tengah masyarakat Indonesia pada pekan ke-2 dan 3 bulan Agustus ini.

Itu terjadi saat Tim Peneliti Universitas Airlangga, bersama TNI AD, dan BIN mengumumkan telah menemukan kandidat obat Covid-19. Bukannya tepuk tangan sambutan yang diperoleh, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyatakan siap menggugat obat tersebut jika terdaftar di BPOM.

Apa pasal? Menurutnya, tak transparannya prosedur riset dalam menghasilkan obat jadi pangkal keraguan atas pernyataan penemuan. Lazimnya, untuk semua riset yang bersifat nasional, dalam proses penemuan obat maupun vaksin, harus dikaji oleh Komite Etik Balitbangkes.

Selain mengkaji, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses riset tersebut. Calon obat ini, tak sesuai standar prosedur. Validitas riset itu tidak boleh dilanggar, tidak boleh sama sekali. "Ini integritas ilmu pengetahuan yang harus dijaga oleh siapa pun. Walaupun secara politis nggak bisa. Karena kalau nggak, publik yang dirugikan," lanjut Pandu (Kiswondari, Nasional.SINDOnews.com, 16 Agustus 2020).

Menanggapi silang sengketa prosedur penemuan itu, BPOM menandaskan, hasil uji klinis fase ketiga obat Covid-19 Universitas Airlangga belum mengikuti protokol yang ditetapkan lembaga ini, sebagai otoritas pemberi izin. Peneliti harus merevisi hasil uji tersebut.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, menemukan critical finding saat melakukan inspeksi terhadap proses uji klinis fase ketiga obat tersebut. Inspeksi itu dilakukan pada 28 Juli 2020. Tanggal 28 itu inspeksi kita yang pertama ya, karena 3 Juli itu baru dimulai uji klinisnya, dan ditemukan critical finding, temuan kritis. (Riezky Maulana, Nasional.SINDOnews.com, 19 Agustus 2020).

Persoalan metodologi penemuan obat yang harusnya jadi ranah akademis, melebar ke pembahasan bernuansa politis. Ini juga diwarnai suara DPR yang terbelah. Mulyanto, anggota Komisi VII DPR meminta agar BPOM berhati-hati dan terbuka pada masyarakat ilmiah, terkait proses perizinan obat COVID-19 yang diajukan oleh tim peneliti Unair, BIN dan TNI AD. (Kiswondari, Nasional.SINDONews.com, 19 Agustus 2020).

Sebaliknya, dua hari sebelumnya, Komisi IX mendorong agar BPOM mempercepat proses terkait (perizinan terhadap) penemuan-penemuan untuk pengobatan COVID-19, baik obat terkait Unair ini maupun herbal (Rico Afrido S, Nasional.SiNDOnews.com, 17 Agustus 2020).

Sedangkan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto, meminta semua pihak agar mengapresiasi obat kombinasi virus Covid-19 yang dibuat Universitas Airlangga, BIN, dan TNI AD. Ia merasa kaget jika ada pihak-pihak yang meragukan bahkan mencibir temuan tersebut. (Rakhmatulloh, Nasional. Sindonews.com, 21 Agustus 2020).

Perkembangan tak menggembirakan yang kemudian jadi perbincangan trending di jagad media sosial, adalah diretasnya akun twitter @drpriono, milik Pandu Riono. Peretas mengunggah material tak relevan, terkait kehidupan pribadi Pandu Riono. Ini jika dilihat dari konteks waktu peretasannya, hendak mengkomunikasikan rasa keberatan, terhadap suara kritis yang kerap dilontarkan Sang Epidemiolog ini.

Perdebatan sengit soal jalannya penemuan obat maupun vaksin, sebagai produk ilmu pengetahuan, lazimnya terjadi di ruang-ruang akademis, seminar maupun konferensi yang sepenuhnya melibatkan ilmuwan.

Prosesnya eksklusif, bertujuan memenuhi kaidah epistemologi. Langkah demi langkah diabsahkan peer-review. Kata kunci untuk itu adalah transparan, berdisiplin metodologis. Maka perdebatan antar-universitas, sesungguhnya adalah hal yang biasa terjadi. Tak tabu. Sayangnya yang kemudian disaksikan pada calon obat Covid-19 ini adalah pewacanaan yang salah ruang. Terjadi di ruang-ruang media sosial, dengan lontaran yang tak sepenuhnya ilmiah. Pihak yang terlibat punya aneka kepentingan.

Cermin dari fenomena ini, bagaimana mungkin ekosistem ilmiah yang kokoh berkelas dunia dapat terbentuk, ketika universitas-universitas, sebagai bagian masyarakat ilmiah, membiarkan diri menghasilkan produk pengetahuan, lewat polemik di ruang-ruang tak lazim?
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1638 seconds (0.1#10.140)