Impeachment, Hukum atau Politik?
A
A
A
Fitra Arsil, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI
SETELAH berakhirnya proses pemungutan suara di House of Representative (DPR AS), Nancy Pelosi (Ketua DPR AS) membuat pernyataan: "In America, no one above the law" yang ditujukan untuk kasus impeachment Presiden AS Donald Trump. Pernyataan tersebut seakan ingin membuktikan bahwa siapa pun yang bersalah di Amerika Serikat pasti akan menghadapi proses hukum dan tidak akan lolos dari hukum, bahkan seorang presiden sekalipun. Namun, benarkah proses impeachment yang dapat menjatuhkan presiden dari kekuasaannya tersebut merupakan proses hukum?
Proses pemberhentian presiden di Amerika Serikat dirancang untuk mendukung prinsip-prinsip dalam sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial yang pemberlakuannya dipelopori oleh Amerika Serikat memiliki prinsip mutual independence (saling mandiri), di mana kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang terpisah dan secara prinsip tidak dapat saling menjatuhkan. Implementasi prinsip ini dilakukan dengan tidak adanya satu kekuasaan yang menjadi sumber legitimasi kekuasaan lainnya, kekuasaan legislatif dipilih rakyat dan kekuasaan eksekutif juga dipilih rakyat secara langsung.
Akibatnya, pertanggungjawaban setiap lembaga kekuasaan langsung kepada rakyat. Dengan formulasi pembentukan pemerintahan seperti itu diharapkan pemerintahan akan stabil, tidak akan jatuh di tengah masa jabatannya (fix government). Sekali presiden terpilih maka pergantian hanya akan terjadi setelah pelaksanaan pemilu berikutnya. Namun, prinsip tersebut akan dikecualikan jika presiden melakukan pelanggaran hukum.
Dengan melakukan pelanggaran hukum, seorang presiden dianggap melakukan kesalahan personal dan rusak integritasnya. Skenario di atas ingin menjelaskan secara prinsip bahwa di sistem presidensial ini presiden tidak jatuh karena urusan politik, sebab legitimasinya bukan di tangan parlemen, tetapi di rakyat pemilih. Namun, jika ia merusak integritasnya dengan melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dijatuhkan.
Formulasi ini merupakan salah satu perbedaan penting antara sistem presidensial dengan sistem parlementer. Di sistem parlementer, kekuasaan eksekutif (perdana menteri) kapan saja dapat dijatuhkan oleh parlemen semata-mata karena defisit dukungan politik atau gagal menjaga mayoritas dukungan di parlemen (legislative majority).
Untuk mendukung prinsip bahwa pemberhentian presiden di sistem presidensial hanya terjadi karena pelanggaran hukum maka dibuat delik-delik hukum sebagai alasan untuk memulai proses impeachment. Di Konstitusi Amerika Serikat delik-delik ini ditemukan dalam article II sec 4 yang menyebutkan treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan) atau other high crimes (tindak pidana berat lain), dan misdemeanors (perbuatan tercela) sebagai delik-delik hukum alasan impeachment.
Setiap presiden yang akan diberhentikan harus dituduhkan telah melakukan delik-delik tersebut. Dalam kasus Donald Trump, dituduhkan kepadanya telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan menghalang-halangi Kongres (obstruction of Congress) yang oleh putusan House of Representative dikategorikan dalam delik high crimes dan misdeamenors.
Untuk membuktikan tuduhan yang didasarkan alasan pelanggaran hukum tersebut akan digelar tahapan berikutnya yang merupakan proses persidangan hukum. Untuk memenuhi proses hukum, ketua Mahkamah Agung (chief justice) akan memimpin proses tersebut. Forum ini akan memutuskan apakah presiden terbukti bersalah sehingga harus dilepaskan dari jabatannya (removed from office).
Alasan yang menjadi landasan impeachment memang alasan hukum dan proses hukum juga dilaksanakan untuk mengambil putusannya dengan melibatkan unsur kekuasaan kehakiman di dalamnya, dalam hal ini adalah chief justice. Namun, proses pemberhentian presiden ini sebenarnya tidak bisa menghindar dari dominasi politik di dalamnya.
Putusan mendakwa presiden sebagai tahapan awal menentukan delik yang didakwakan kepada presiden diputuskan dalam kamar pertama parlemen yang bernama House of Representative. Memutuskan terpenuhinya unsur dalam delik pidana oleh lembaga politik yang dilakukan dengan pemungutan suara tentu tidak dapat dianggap sebagai proses hukum murni yang memiliki karakter bebas intervensi dari berbagai pengaruh.
Selanjutnya, proses persidangan yang dipimpin oleh chief justice sebenarnya merupakan sidang kamar kedua parlemen yang di Amerika Serikat yang dikenal dengan sebutan Senat. Putusan persidangan tersebut diambil berdasar pemungutan suara oleh para anggota Senat yang dalam persidangan tersebut bertindak layaknya juri dalam sebuah persidangan. Lagi-lagi, proses ini juga bukan merupakan semata-mata putusan hukum. Afiliasi politik mayoritas anggota senat yang akan menentukan apakah presiden tetap dalam jabatannya atau berhasil dilengserkan.
Para peneliti impeachment di negara-negara presidensial seperti Anibal Perez Linan, Joseph Colomer, Gabriel Negretto, ataupun Naoko Kada melihat kecenderungan jika proses impeachment sudah dimulai maka peran utama dalam proses ini adalah parlemen. Lembaga peradilan, betapa pun ada peranannya, tetapi relatif sedikit dan tidak menentukan.
Linan dan Kada membagi proses pemberhentian presiden di negara-negara bersistem presidensial menjadi dua tipe, congressional model dan judicial model atau legislature-dominant dan judiciary-dominant, yang mereka lihat berdasarkan seberapa besar peran parlemen atau lembaga peradilan dalam proses pemberhentian presiden. Namun, dari kedua model tersebut yang tidak bisa dibantah adalah inisiatif memulai proses impeachment dan putusan akhir (final say) untuk memberhentikan presiden berada di tangan parlemen.
Josep M Colomer dan Gabriel L Negretto dalam penelitiannya terhadap negara-negara presidensial di Amerika Latin menyebutkan bahwa dalam aturan impeachment di negara-negara Amerika Latin proses di parlemen jauh lebih dominan daripada di lembaga peradilan. Aturan dalam proses impeachment sebenarnya terlihat seperti tidak membutuhkan putusan dan proses di peradilan karena yang lebih menonjol adalah bentuk pengawasan parlemen dan menunjukkan kemampuan parlemen untuk menjatuhkan presiden.
Penelitian Linan terhadap proses impeachment di 18 negara Amerika Latin antara lain membuatnya berkesimpulan bahwa walaupun parlemen/kongres tidak selalu menjadi satu-satunya pihak yang terlibat dalam putusan untuk memberhentikan presiden, namun para anggota legislatif memainkan peranan penting dalam melakukan otorisasi putusan proses hukum untuk memutuskan presiden bersalah.
Karena itu, betapa pun sistem presidensial merancang sumber legitimasi kekuasaan eksekutif berada langsung di rakyat melalui pemilihan presiden langsung, namun dalam praktiknya kekuasaan legislatif tetap punya kesempatan untuk merusak legitimasinya. Kepentingan melahirkan presiden dengan dukungan politik mayoritas di parlemen bukan saja milik sistem parlementer. Presiden dengan dukungan minoritas di parlemen (minority president) memiliki potensi instabilitas tinggi, apalagi di negara-negara presidensial yang parlemennya diduduki banyak partai di dalamnya.
SETELAH berakhirnya proses pemungutan suara di House of Representative (DPR AS), Nancy Pelosi (Ketua DPR AS) membuat pernyataan: "In America, no one above the law" yang ditujukan untuk kasus impeachment Presiden AS Donald Trump. Pernyataan tersebut seakan ingin membuktikan bahwa siapa pun yang bersalah di Amerika Serikat pasti akan menghadapi proses hukum dan tidak akan lolos dari hukum, bahkan seorang presiden sekalipun. Namun, benarkah proses impeachment yang dapat menjatuhkan presiden dari kekuasaannya tersebut merupakan proses hukum?
Proses pemberhentian presiden di Amerika Serikat dirancang untuk mendukung prinsip-prinsip dalam sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial yang pemberlakuannya dipelopori oleh Amerika Serikat memiliki prinsip mutual independence (saling mandiri), di mana kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang terpisah dan secara prinsip tidak dapat saling menjatuhkan. Implementasi prinsip ini dilakukan dengan tidak adanya satu kekuasaan yang menjadi sumber legitimasi kekuasaan lainnya, kekuasaan legislatif dipilih rakyat dan kekuasaan eksekutif juga dipilih rakyat secara langsung.
Akibatnya, pertanggungjawaban setiap lembaga kekuasaan langsung kepada rakyat. Dengan formulasi pembentukan pemerintahan seperti itu diharapkan pemerintahan akan stabil, tidak akan jatuh di tengah masa jabatannya (fix government). Sekali presiden terpilih maka pergantian hanya akan terjadi setelah pelaksanaan pemilu berikutnya. Namun, prinsip tersebut akan dikecualikan jika presiden melakukan pelanggaran hukum.
Dengan melakukan pelanggaran hukum, seorang presiden dianggap melakukan kesalahan personal dan rusak integritasnya. Skenario di atas ingin menjelaskan secara prinsip bahwa di sistem presidensial ini presiden tidak jatuh karena urusan politik, sebab legitimasinya bukan di tangan parlemen, tetapi di rakyat pemilih. Namun, jika ia merusak integritasnya dengan melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dijatuhkan.
Formulasi ini merupakan salah satu perbedaan penting antara sistem presidensial dengan sistem parlementer. Di sistem parlementer, kekuasaan eksekutif (perdana menteri) kapan saja dapat dijatuhkan oleh parlemen semata-mata karena defisit dukungan politik atau gagal menjaga mayoritas dukungan di parlemen (legislative majority).
Untuk mendukung prinsip bahwa pemberhentian presiden di sistem presidensial hanya terjadi karena pelanggaran hukum maka dibuat delik-delik hukum sebagai alasan untuk memulai proses impeachment. Di Konstitusi Amerika Serikat delik-delik ini ditemukan dalam article II sec 4 yang menyebutkan treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan) atau other high crimes (tindak pidana berat lain), dan misdemeanors (perbuatan tercela) sebagai delik-delik hukum alasan impeachment.
Setiap presiden yang akan diberhentikan harus dituduhkan telah melakukan delik-delik tersebut. Dalam kasus Donald Trump, dituduhkan kepadanya telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan menghalang-halangi Kongres (obstruction of Congress) yang oleh putusan House of Representative dikategorikan dalam delik high crimes dan misdeamenors.
Untuk membuktikan tuduhan yang didasarkan alasan pelanggaran hukum tersebut akan digelar tahapan berikutnya yang merupakan proses persidangan hukum. Untuk memenuhi proses hukum, ketua Mahkamah Agung (chief justice) akan memimpin proses tersebut. Forum ini akan memutuskan apakah presiden terbukti bersalah sehingga harus dilepaskan dari jabatannya (removed from office).
Alasan yang menjadi landasan impeachment memang alasan hukum dan proses hukum juga dilaksanakan untuk mengambil putusannya dengan melibatkan unsur kekuasaan kehakiman di dalamnya, dalam hal ini adalah chief justice. Namun, proses pemberhentian presiden ini sebenarnya tidak bisa menghindar dari dominasi politik di dalamnya.
Putusan mendakwa presiden sebagai tahapan awal menentukan delik yang didakwakan kepada presiden diputuskan dalam kamar pertama parlemen yang bernama House of Representative. Memutuskan terpenuhinya unsur dalam delik pidana oleh lembaga politik yang dilakukan dengan pemungutan suara tentu tidak dapat dianggap sebagai proses hukum murni yang memiliki karakter bebas intervensi dari berbagai pengaruh.
Selanjutnya, proses persidangan yang dipimpin oleh chief justice sebenarnya merupakan sidang kamar kedua parlemen yang di Amerika Serikat yang dikenal dengan sebutan Senat. Putusan persidangan tersebut diambil berdasar pemungutan suara oleh para anggota Senat yang dalam persidangan tersebut bertindak layaknya juri dalam sebuah persidangan. Lagi-lagi, proses ini juga bukan merupakan semata-mata putusan hukum. Afiliasi politik mayoritas anggota senat yang akan menentukan apakah presiden tetap dalam jabatannya atau berhasil dilengserkan.
Para peneliti impeachment di negara-negara presidensial seperti Anibal Perez Linan, Joseph Colomer, Gabriel Negretto, ataupun Naoko Kada melihat kecenderungan jika proses impeachment sudah dimulai maka peran utama dalam proses ini adalah parlemen. Lembaga peradilan, betapa pun ada peranannya, tetapi relatif sedikit dan tidak menentukan.
Linan dan Kada membagi proses pemberhentian presiden di negara-negara bersistem presidensial menjadi dua tipe, congressional model dan judicial model atau legislature-dominant dan judiciary-dominant, yang mereka lihat berdasarkan seberapa besar peran parlemen atau lembaga peradilan dalam proses pemberhentian presiden. Namun, dari kedua model tersebut yang tidak bisa dibantah adalah inisiatif memulai proses impeachment dan putusan akhir (final say) untuk memberhentikan presiden berada di tangan parlemen.
Josep M Colomer dan Gabriel L Negretto dalam penelitiannya terhadap negara-negara presidensial di Amerika Latin menyebutkan bahwa dalam aturan impeachment di negara-negara Amerika Latin proses di parlemen jauh lebih dominan daripada di lembaga peradilan. Aturan dalam proses impeachment sebenarnya terlihat seperti tidak membutuhkan putusan dan proses di peradilan karena yang lebih menonjol adalah bentuk pengawasan parlemen dan menunjukkan kemampuan parlemen untuk menjatuhkan presiden.
Penelitian Linan terhadap proses impeachment di 18 negara Amerika Latin antara lain membuatnya berkesimpulan bahwa walaupun parlemen/kongres tidak selalu menjadi satu-satunya pihak yang terlibat dalam putusan untuk memberhentikan presiden, namun para anggota legislatif memainkan peranan penting dalam melakukan otorisasi putusan proses hukum untuk memutuskan presiden bersalah.
Karena itu, betapa pun sistem presidensial merancang sumber legitimasi kekuasaan eksekutif berada langsung di rakyat melalui pemilihan presiden langsung, namun dalam praktiknya kekuasaan legislatif tetap punya kesempatan untuk merusak legitimasinya. Kepentingan melahirkan presiden dengan dukungan politik mayoritas di parlemen bukan saja milik sistem parlementer. Presiden dengan dukungan minoritas di parlemen (minority president) memiliki potensi instabilitas tinggi, apalagi di negara-negara presidensial yang parlemennya diduduki banyak partai di dalamnya.
(cip)