UMKM: Mesin Pertumbuhan, Berikutnya?
loading...
A
A
A
Sementara itu, banyak UMKM yang masih tergantung pada sumber daya lokal dan kurang memiliki akses ke teknologi modern, yang akhirnya menghambat peningkatan produktivitas dan daya saing. Akibatnya, meskipun UMKM dapat menciptakan banyak lapangan kerja, nilai tambah yang dihasilkan per tenaga kerja relatif lebih rendah dibandingkan usaha besar.
Problematika UMKM Indonesia
Salah satu problem utama yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia adalah kurangnya perlindungan dan keberpihakan dari pemerintah dalam hal penyediaan bahan baku, dukungan produksi, maupun akses pasar. Selama ini bantuan pembiayaan dengan berbagai format sudah sangat membantu, tetapi bagaimana mengakses, dan menjaga (maintaining) pasar, masih dirasakan kurang.
Banyak pelaku UMKM mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang stabil dan terjangkau. Bahkan, tak sedikit UMKM di Indonesia yang masih menggunakan teknologi produksi yang konvensional, sehingga sulit bersaing dalam hal efisiensi dan kualitas produk.
Sementara itu, akses ke pasar yang lebih luas – baik pasar domestik maupun internasional – masih menjadi hambatan besar bagi pelaku UMKM. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% dari UMKM di Indonesia yang telah terhubung dengan platform digital pada 2023.
Padahal, di era digital saat ini, akses ke pasar daring sangat krusial untuk meningkatkan skala usaha. Pasalnya, meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung digitalisasi UMKM – seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) – tingkat adopsi teknologi masih kurang optimal di kalangan UMKM, terutama di daerah-daerah terpencil.
Teknologi dalam banyak hal merupakan tantangan tersendiri bagi UMKM di Indonesia. Meskipun teknologi digital dapat menjadi kunci peningkatan produktivitas dan efisiensi, implementasi teknologi sering kali tidak berjalan optimal karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas.
Banyak pelaku UMKM belum memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi secara maksimal. Selain itu, akses ke pasar, baik input (bahan baku) maupun output (produk jadi), juga masih terbatas, sehingga teknologi tidak dapat memberikan dampak yang signifikan.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% UMKM yang sudah terdigitalisasi pada tahun 2023, menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM belum siap menghadapi transformasi digital. Tantangan ini juga diperburuk oleh meningkatnya ancaman keamanan siber (digital crime), yang semakin berisiko seiring dengan penggunaan teknologi yang lebih luas. Banyak UMKM rentan terhadap serangan digital karena kurangnya proteksi keamanan dan pemahaman risiko yang memadai.
Terkait dengan pembiayaan, pemerintah sudah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga rendah, maupun UMi (ultra mikro), tetapi distribusi kredit ini belum sepenuhnya menjangkau seluruh pelaku UMKM, bahkan di dominasi bank tertantu. Sehingga penyebaran belum seperti yang diharapkan.
Hal ini bisa terlihat, salah satu korban pinjol (pinjaman online) UMKM termasuk didalamnya. Pertimbangan mereka bukan Tingkat bunga, tetapi kemudahan dan tidak terlalu bertele-tele dengan administrasi yang disyaratkan oleh perbankan.
Problematika UMKM Indonesia
Salah satu problem utama yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia adalah kurangnya perlindungan dan keberpihakan dari pemerintah dalam hal penyediaan bahan baku, dukungan produksi, maupun akses pasar. Selama ini bantuan pembiayaan dengan berbagai format sudah sangat membantu, tetapi bagaimana mengakses, dan menjaga (maintaining) pasar, masih dirasakan kurang.
Banyak pelaku UMKM mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang stabil dan terjangkau. Bahkan, tak sedikit UMKM di Indonesia yang masih menggunakan teknologi produksi yang konvensional, sehingga sulit bersaing dalam hal efisiensi dan kualitas produk.
Sementara itu, akses ke pasar yang lebih luas – baik pasar domestik maupun internasional – masih menjadi hambatan besar bagi pelaku UMKM. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% dari UMKM di Indonesia yang telah terhubung dengan platform digital pada 2023.
Padahal, di era digital saat ini, akses ke pasar daring sangat krusial untuk meningkatkan skala usaha. Pasalnya, meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung digitalisasi UMKM – seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) – tingkat adopsi teknologi masih kurang optimal di kalangan UMKM, terutama di daerah-daerah terpencil.
Teknologi dalam banyak hal merupakan tantangan tersendiri bagi UMKM di Indonesia. Meskipun teknologi digital dapat menjadi kunci peningkatan produktivitas dan efisiensi, implementasi teknologi sering kali tidak berjalan optimal karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas.
Banyak pelaku UMKM belum memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi secara maksimal. Selain itu, akses ke pasar, baik input (bahan baku) maupun output (produk jadi), juga masih terbatas, sehingga teknologi tidak dapat memberikan dampak yang signifikan.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% UMKM yang sudah terdigitalisasi pada tahun 2023, menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM belum siap menghadapi transformasi digital. Tantangan ini juga diperburuk oleh meningkatnya ancaman keamanan siber (digital crime), yang semakin berisiko seiring dengan penggunaan teknologi yang lebih luas. Banyak UMKM rentan terhadap serangan digital karena kurangnya proteksi keamanan dan pemahaman risiko yang memadai.
Terkait dengan pembiayaan, pemerintah sudah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga rendah, maupun UMi (ultra mikro), tetapi distribusi kredit ini belum sepenuhnya menjangkau seluruh pelaku UMKM, bahkan di dominasi bank tertantu. Sehingga penyebaran belum seperti yang diharapkan.
Hal ini bisa terlihat, salah satu korban pinjol (pinjaman online) UMKM termasuk didalamnya. Pertimbangan mereka bukan Tingkat bunga, tetapi kemudahan dan tidak terlalu bertele-tele dengan administrasi yang disyaratkan oleh perbankan.