Makna Doktrin Unifikasi 15 Agustus Republik Korea

Rabu, 18 September 2024 - 19:26 WIB
loading...
Makna Doktrin Unifikasi...
Lee Hana CEO Saesam, Organisasi yang Mendukung Adopsi Pembelot Korea Utara di Korea Selatan. Foto/SINDOnews
A A A
Lee Hana
CEO Saesam, Organisasi yang Mendukung Adopsi Pembelot Korea Utara di Korea Selatan

UPACARA Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Korea ke-79 diadakan dengan megah pada 15 Agustus 2024 di Sejong Center for the Performing Arts, Seoul. Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mendeklarasikan 'Doktrin Unifikasi 15 Agustus.'

Deklarasi ini berisi tiga visi utama unifikasi, tiga strategi utama unifikasi, dan tujuh rencana aksi untuk strategi tersebut. Inti dari tiga visi utama unifikasi adalah 'demokrasi liberal,' dan inti dari strategi unifikasi adalah 'perubahan pada rakyat Korea Utara.'

Meskipun ini merupakan kesempatan untuk merayakan Hari Kemerdekaan, Presiden Yoon membuat pernyataan yang menyentuh dalam pidatonya bahwa Hari Kemerdekaan yang sesungguhnya baru akan tercapai ketika nilai-nilai kebebasan terwujud bagi rakyat Korea Utara. Itulah hati seorang pemimpin yang benar-benar peduli dengan keluarganya yang jauh.

Kemerdekaan penuh akan tercapai ketika nilai-nilai kebebasan menyebar ke Korea Utara dan para budak dibebaskan. Tidak ada kebebasan di Korea Utara saat ini. Situasinya sangat buruk, sehingga sebagian warga Korea Utara secara terbuka mengeluh. Mereka berharap Korea Selatan segera menginvasi Korea Utara. Penduduk Korea Utara yang tertekan, atau seluruh negara, sangat berharap dan menantikan unifikasi.

Peningkatan HAM dan Perubahan Masyarakat Korut

Baru-baru ini, Kim Jong-un dari Korea Utara telah mengingkari konsep negara dan penyatuan, serta bahkan prestasi dan rezim kakeknya (Kim Il-sung) dan ayahnya (Kim Jong-il). Hal ini mengancam keamanan Semenanjung Korea dan menindas penduduk Korea Utara. Doktrin Unifikasi 15 Agustus berfokus pada peningkatan hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara dan mengubah penduduknya dengan memperkenalkan kebijakan yang berbeda dari Formula Unifikasi Komunitas Nasional yang ada.

Kini, HAM di Korea Utara terancam dengan sangat serius. Hati saya hancur setelah membaca laporan media tentang situasi di sekitar Sungai Amnokgang, yang baru-baru ini dilanda banjir. Kim Il-sung pernah mengatakan bahwa masalah pangan adalah "dasar keberadaan nasional" dan bahwa keinginannya yang terbesar adalah memberi makan "nasi dengan sup daging" kepada rakyatnya. Namun warga Korea Utara masih berjuang melawan kelaparan yang semakin parah, jauh dari pemenuhan keinginan tersebut.

Kim Jong-un sangat menggemari apa yang disebut sebagai 'politik kebajikan yang mulia,' sebuah taktik politik "Menganggap Rakyat sebagai Surga." Dia berpura-pura memperhatikan warganya dengan memegang tangan para perempuan kurus kering di tenda-tenda yang kehilangan rumah akibat banjir di wilayah Amnokgang.

Namun, di balik itu, dia menolak bantuan dari pemerintah Korea Selatan dan masyarakat internasional untuk menangani kerusakan parah akibat banjir tersebut. Ini menunjukkan sekilas gambaran tentang seorang diktator turun-temurun generasi ketiga yang menindas rakyat Korea Utara dengan politik bermuka dua.

Hingga Maret 2024, sebanyak 34 ribu orang Korea Utara telah membelot. Mereka ingin melarikan diri dari kelaparan dan kegelapan di mana tidak ada yang bisa dilihat atau didengar. Ini adalah eksodus dari, atau perjuangan melawan, perbudakan. Pada awalnya, orang-orang melarikan diri karena kemiskinan dan kelaparan, tetapi baru-baru ini, jumlah protes dari orang-orang dekat dengan Kim telah meningkat hingga dua digit.

Ketika saya membaca kisah tentang pelanggaran HAM yang semakin kejam dari para diplomat, pekerja yang dikirim ke luar negeri, mahasiswa internasional yang mengungsi, serta tangisan mantan Duta Besar Korea Utara untuk Kuba, Lee Il-gyu, yang membelot pada September 2023, saya merasa ingin mengungkapkan kesedihan dan tidak hormat saya terhadap rezim Korea Utara.

Keluarga-keluarga terpecah belah. Karena para ibu menelantarkan anak-anak mereka lantaran tidak memiliki apa pun untuk dimakan dan terpaksa mengemis makanan di jalan. Mereka tidak dapat menemukan satu sama lain setelah puluhan tahun, bahkan tidak mengetahui apakah orang yang mereka cari masih hidup atau sudah meninggal. Namun, warga Korea Utara tetap harus belajar dan bernyanyi, "Berkat Marsekal, tidak ada yang perlu kita irikan di dunia ini!" Bahkan hal yang sama berlaku bagi bayi yang baru belajar berjalan, meskipun seluruh negeri sedang mengemis, kelaparan, dan tertindas. Itulah Korea Utara.

Bahkan sampai sekarang, saya tidak bisa melupakan kenangan menyakitkan tentang kelaparan di Korea Utara. Ketika anak tertua saya masih duduk di sekolah dasar dan sedang liburan, saya mengirimnya ke rumah pamannya untuk makan di sana selama sebulan. Pamannya adalah pejabat Kementerian Jaminan Sosial dan cukup berkecukupan. Namun, anak saya diusir dari rumah itu pada awal semester baru. Anak saya mengatakan lebih baik mati kelaparan daripada dikirim ke rumah orang lain lagi.

Seluruh keluarga saling berpelukan dan menangis, merasakan penghinaan dan pelecehan yang dialami anak itu saat makan di rumah orang lain. Rasa sakit sebagai orang tua, karena tidak punya pilihan lain selain mengirimnya ke sana, meninggalkan kepahitan yang menusuk hati.

Ketika mendengar tangisan bayi saya yang berusia tiga tahun yang lapar, kami memberanikan diri untuk meninggalkan Korea Utara. Lebih baik mati saat melarikan diri. Karena kami akan tetap mati, entah itu karena kelaparan di rumah atau saat mencoba melarikan diri. Melalui ‘’neraka’’ dan banjir, kami akhirnya tiba di Korea Selatan.

Setelah tiba di Korea Selatan, saya mulai mempelajari bidang terkait pekerjaan saya sebelumnya di Korea Utara sambil membesarkan dua anak di usia 40 tahun. Dalam waktu singkat, saya berhasil meraih gelar Ph.D. dan menjadi seorang wirausaha. Tahun lalu, saya bahkan memenangkan penghargaan manajemen. Kedua anak saya juga lulus dari universitas dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar, bahkan memungkinkan mereka untuk bekerja di seluruh dunia. Itulah kegembiraan seorang wanita Korea Utara yang hanya bisa terwujud di Korea Selatan.

Kim Jong-un, yang membiarkan seluruh negeri berjuang melawan kelaparan dan kemiskinan, masih terobsesi dengan senjata nuklir dan rudal. Ia terus mengancam dan mengintimidasi dunia, serta merusak reputasinya sendiri melalui tindakan jahat, termasuk penyelundupan senjata. Lebih jauh lagi, sejak bulan Mei tahun ini, Kim telah menunjukkan kecerobohannya dengan menyebarkan balon-balon berisi sampah yang mencerminkan penderitaan rakyat Korea Utara.

Lihatlah Kim Ju-ae, putri Kim yang berusia sepuluh tahun, yang kelebihan berat badan dibandingkan dengan anak-anak Korea Utara yang kurus kering. Jong-un membuat putrinya terbiasa dan beradaptasi dengan bau mesiu di pangkalan nuklir dan militer—suatu tindakan brutal yang bahkan membuat Hitler, sang penghasut perang, terlihat tidak berarti.

Pada tahun 2022, 'Hitler' dari Korea Utara itu secara terbuka mengeksekusi seorang pemuda berusia sekitar 19–20 tahun di sebuah tambang di Hwanghae-do karena mendengarkan K-pop dan membagikannya kepada tujuh orang lainnya. Jika mengikuti logika politik Korea Utara, semua kaum muda di seluruh dunia yang mencintai K-pop harus ditembak mati. K-pop telah menjadi ikon Korea Selatan, sebuah pusat budaya yang dikagumi dan menyatukan dunia.

Korsel Tidak Akan Memulangkan Siapa Pun

Saat ini, unifikasi adalah satu-satunya cara dalam demokrasi liberal untuk memulihkan kebebasan dan hak asasi manusia bagi rakyat Korea Utara. Presiden Yoon menetapkan tanggal 14 Juli sebagai "Hari Pembelot Korea Utara" dan membuat janji emosional bahwa dia tidak akan memulangkan satu pun pembelot Korea Utara serta akan melakukan upaya diplomatik untuk mencegah pembelot Korea Utara di misi luar negeri dipulangkan ke Korea Utara. Ia juga menyatakan keinginannya untuk mendukung dan merangkul rakyat Korea Utara melalui Deklarasi Doktrin Unifikasi 15 Agustus.

Alangkah hebatnya jika kata-kata Presiden Korea Selatan yang akan menerima semua warga Korea Utara dan tidak akan memulangkan mereka ke negaranya. Kabar baik tentang Deklarasi Doktrin Unifikasi 15 Agustus disampaikan kepada rakyat Korea Utara melalui televisi publik, yakni melawan propaganda jahat rezim Korea Utara yang mengatakan bahwa orang-orang yang membelot ke Korea Selatan akan ditangkap, dibawa kembali, dan ditembak mati.

Deklarasi Doktrin Unifikasi 15 Agustus bertujuan untuk mewujudkan Republik Korea yang bersatu, membuat kaum muda Korea Utara yang miskin dan mendambakan dunia luar bermimpi untuk bergabung dengan kaum muda di seluruh dunia yang terpesona dengan K-pop dan BTS, menyanyikan lagu-lagu kebebasan dan HAM serta berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kami, sebanyak 34.000 pembelot Korea Utara, yang mendengar kabar tentang Doktrin Unifikasi tersebut, tidak dapat tidur karena kegembiraan.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0872 seconds (0.1#10.140)