Santri Membangun Negeri, Penjaga Moral dan Tradisi

Rabu, 23 Oktober 2019 - 07:27 WIB
Santri Membangun Negeri, Penjaga Moral dan Tradisi
Santri Membangun Negeri, Penjaga Moral dan Tradisi
A A A
Siti Mukaromah, SAg, MAP
Anggota FKB DPR RI dan Ketua Umum Perempuan Bangsa


PERKEMBANGAN teknologi informasi dan komunikasi, mengubah perilaku dan budaya generasi muda. Bukan pemandangan yang langka, di tempat umum banyak kita jumpai misalnya orang asyik dengan gadget di tangan tanpa peduli sekitar. Bahkan kerap “momentum” ketidakpedulian ini di-share di social media. Misalnya, anak muda yang berpura-pura atau sengaja tidur di kendaraan umum sementara ada ibu-ibu hamil atau orangtua yang berdiri di dekatnya.

Tengoklah bagaimana santri yang hidup dalam lingkungan pondok pesantren. Hidup sederhana, dengan aturan tidak boleh menggunakan handphone, kedisiplinan waktu dalam beraktivitas, setor hafalan, tunduk pada aturan yang berlaku, belajar tidak hanya akademik tapi adab dan akhlak, serta takzim pada ustadz dan kyai.

Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus menginternalisasi dalam diri santri sehingga moral dan akhlak yang baik menjadi perilaku santri ketika terjun ke masyarakat. Kepedulian terhadap sesama, sikap menghormati dan peduli menjadi ciri khas kehidupan Pondok.

Dalam sejarahnya santri berperan dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Misalnya di bidang pendidikan. Di tengah-tengah masyarakat yang buta huruf waktu itu, pesantren memperkenalkan literasi dengan mengajak masyarakat belajar mengaji. Santri juga mendorong masyarakat untuk selalu bekerja meningkatkan kehidupan ekonomi mereka dengan menanamkan keimanan bahwa ‘bekerja adalah bagian dari ibadah’.

Sejak 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri oleh pemerintah, perhatian masyarakat terhadap santri semakin besar. Momentum ini selalu diperingati setiap tahun melalui banyak tulisan, kajian, festival, dan berbagai upacara oleh banyak kalangan. Penelitian-penelitian dan buku-buku mengenai santri juga semakin banyak dijumpai.

Hari Santri tidak lepas dari peran ulama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945 yang berbunyi: 1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu’ain bagi tiap-tiap orang Islam; 2) Hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta kompotannya adalah mati syahid; 3) Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini adalah wajib dibunuh.

Atas dasar fatwa inilah, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) di Bubutan, Surabaya.

Resolusi jihad ini yang kemudian menggema dan menyebar dari mulut ke mulut maupun ke masjid-masjid, dan musholla. Resolusi jihad mengobarkan semangat membela tanah air dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masyarakat yang bahkan tidak terlatih dalam mengangkat senjatapun terbakar semangatnya untuk berjuang demi negara dan bangsa Indonesia.

Dari sinilah terlihat bahwa santri tidak hanya berperan bagi agama, tapi juga bangsa, negara dan tanah air Indonesia. Oleh karena itu, sangat relevan bila saat ini hari santri selalu diperingati sebagai pengingat bahwa menjadi bagian dari tumbuh kembangnya kemajuan Bangsa dan Negara adalah bagian dari ibadah.

Peringatan Hari Santri tahun 2019 bertepatan dengan awal periodesasi pemerintahan dan parlemen. Hari ini saat yang tepat untuk membangun spirit berkeindonesiaan, membangun dan bekerja utk menjadikan indonesia lebih baik, maju, dan lebih bermartabat dalam kemajemukan budaya Indonesia dengan mengedepankan nilai rahmatan lil alamin.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4916 seconds (0.1#10.140)