Anak Kita dan Jarum Suntik Dopamin: Problem Anak Digital Native
loading...
A
A
A
Hal ini karena mereka beranggapan “teman-teman digital” mereka selalu ada untuk membantu mereka melepaskan diri dari kehidupan yang rumit dengan pengalih perhatian yang mudah. Artinya, anak-anak kita bisa menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk menunda kepuasan dan memecahkan masalah akibat jarum suntik dopamin yang mematikan.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.