Perlunya Arah Baru Industri Migas

Kamis, 18 Juli 2019 - 05:43 WIB
Perlunya Arah Baru Industri Migas
Perlunya Arah Baru Industri Migas
A A A
Eddy Suprapto

Kontributor AsiaN

MAKIN tergerusnya produksi minyak Indonesia adalah ancaman nyata dan tak bisa dimungkiri menjadi beban keuangan negara. Bagaimana tidak, pemerintah harus menyediakan dana Rp1 triliun per hari untuk melakukan impor minyak agar kebutuhan minyak harian Indonesia terpenuhi. Hingga saat ini, produksi minyak Indonesia hanya memenuhi 48,75% dari kebutuhan 1 juta barel minyak per hari. Tanpa terobosan dan arah baru industri migas akan terus membebani negara dan akan side effect menghambat program-program pemerintah lainnya.

Indonesia pernah berjaya dengan produksi minyaknya. Pernah pula menduduki jajaran 11 negara produsen minyak terbesar di dunia setelah ditemukannya minyak dari lapangan Minas dan Duri yang kala itu dikelola oleh Chevron. Dari penemuan tersebut, Indonesia mencatat produksi 1,68 juta barel/hari, produksi yang sangat luar biasa, dapat memenuhi kebutuhan minyak Indonesia untuk saat ini. Namun, masa keemasan tersebut sudah lewat. Kini, produksi minyak bumi Indonesia dalam rentang waktu 2000 hingga 2018 hanya mampu mencapai 700.000-800.000 barel/hari, hanya urutan ke-23 di antara negara-negara penghasil minyak. Akankah target produksi minyak yang digadang-gadang pemerintah pada 2022 sebesar 1 juta barel/hari akan terpenuhi?

Melihat kondisi di atas, produksi minyak tidak dapat memenuhi kebutuhan harian nasional, maka saat ini Indonesia bukan penghasil minyak lagi tapi menjadi negara importir minyak. Industri migas bukan lagi memberi sumbangan ke pendapatan negara namun menjadi beban APBN. Kini, defisit minyak Indonesia sangat mengkhawatirkan. Itu karena produksi minyak kita hanya 780.000 barel/hari, sementara konsumsi BBM kita mencapai 1,6 juta barel per hari. Hanya mencukupi 48,75% dari kebutuhan harian.

Pada asumsi harga minyak USD65/barel dengan nilai tukar Rp14.250/USD, maka nilai impor minyak mencapai Rp994 miliar/hari. Sementara itu, nilai ekspor BBM hanya Rp188 miliar/hari. Artinya, defisit minyak Rp296 triliun/tahun. Bayangkan kondisi ini, apabila tidak terjadi terobosan baru dalam industri migas, diperkirakan defisit bertambah mencapai Rp477 triliun/tahun pada 2024.

Butuh Langkah Besar dan Nyata

Dengan fakta impor minyak bumi akan terus meningkat, tentunya ini akan membebani anggaran pemerintah dan masyarakat. Di sisi lain, ketahanan energi nasional akan berdampak sangat buruk karena kita memiliki ketergantungan terhadap luar negeri yang makin lama semakin besar. Jika pada periode pertama Presiden Jokowi mampu memotong subsidi BBM hingga ratusan triliun, pada periode kedua selayaknya revolusi di bidang energi kembali dilakukan. Tujuannya agar presiden bersama pemerintahannya dapat meninggalkan warisan kemandirian di bidang energi. Karena itu, diperlukan langkah besar dan nyata untuk pemerintah melakukan revolusi di industri migas.

Setidaknya, langkah awal diperlukan konversi dari bahan bakar minyak ke gas alam dan sumber-sumber energi lainnya, seperti batu bara, panas bumi, angin, air, dan lain-lainnya. Contohnya, dengan cadangan gas alam di Indonesia yang besar, terdapat 128 cekungan gas yang belum dieksplorisasi. Seharusnya sudah dipikirkan bagaimana memproduksinya secara efisien dan dimanfaatkan hasilnya secara produktif. Memang, awalnya pemerintah harus melakukan investasi untuk pengembangan infrastruktur dari hulu hingga hilir. Namun, hal tersebut sangat worth it untuk mengelola cadangan gas alam mencapai 98 triliun kaki kubik (cu ft), menjadi urutan 11 negara-negara terbesar yang memiliki cadangan gas alam.

Harapannya, dengan adanya arah baru pada kebijakan industri hulu migas 2019-2024 adalah memaksimalisasi pendapatan dari penjualan gas bagian negara. Optimalisasi juga harga harus dilakukan dengan menghitung sedini mungkin gas yang tidak terserap domestik untuk dibuatkan kontrak jangka menengah, kontrak lima tahun. Bukan dengan penjualan gas ke pasar spot yang harganya cenderung rendah.

Di sisi lain, untuk meningkatkan produksi minyak dan gas dengan melakukan percepatan persetujuan rencana pengembangan plan of development (POD) melalui cara yang tidak konvensional, antara lain menerapkan put on production (PoP), revisi POD I dipercepat jika ditemukan adanya cadangan tambahan, menargetkan setiap persetujuan POD di SKK Migas maksimal (setidaknya) diputuskan dalam waktu dua bulan.

Dalam mencari cadangan minyak baru, arah baru kebijakan hulu migas 2019-2024 menegaskan perlunya ada peraturan presiden (perpres) yang mengatur tentang exploration fund , di mana dalam perpres tersebut ditetapkan sebanyak 5%-10% penerimaan negara dari industri hulu migas langsung dialokasikan dan dipisahkan sebagai dana untuk pencarian cadangan minyak baru. Dana ini akan dipakai untuk melakukan eksplorasi di 128 cekungan yang selama ini memiliki potensi tinggi namun belum pernah dieksplorasi.

Sementara, untuk mendorong pengurangan impor minyak dalam negeri, maka SKK Migas akan membuat skema peningkatan penggunaan gas yang diolah menjadi cair (gas to liquid ) untuk bahan bakar sektor industri dan transportasi. Dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun ke depan akan banyak proyek gas baru, dan akan banyak kontrak gas ekspor yang tidak diperpanjang. Mengantisipasi hal tersebut, maka dilakukan sebuah proses terintegrasi, gas akan dibawa dan diubah dalam kapal menjadi liquid dan dibawa ke wilayah-wilayah yang menjadi anchor demand konsumsi minyak, seperti di Jawa dan Sumatera. Dengan pola ini, secara perlahan utilisasi gas bisa diintegrasikan dengan utilisasi gas to liquid untuk transportasi yang merupakan sektor penyerap konsumsi BBM tertinggi. Dengan demikian, impor minyak dapat dikurangi sehingga dapat menolong tekanan terhadap nilai tukar rupiah dalam jangka panjang.

SKK Migas melakukan optimalisasi penjualan LNG yang tidak terserap domestik untuk 2018. Adapun pada 2019-2024 dilakukan kajian berapa banyak kargo LNG yang tidak terserap untuk periode tersebut, lalu akan dilakukan kontrak jangka pendek untuk pasar tradisional dan nontradisional sehingga harga yang didapatkan akan lebih baik dibandingkan melepas ke pasar spot. Devisa yang didapat dari optimalisasi penjualan LNG ini diharapkan mampu menopang penguatan nilai tukar rupiah yang belakangan menjadi ancaman untuk kestabilan ekonomi makro.

Melakukan percepatan proyek LNG Tangguh Train III yang direncanakan pada Q3 tahun 2020 menjadi Q1 tahun 2020 dengan kapasitas 3.8 MTPA dengan memberi batas waktu negoisasi pembeli domestik. Melakukan percepatan proyek Lapangan Abadi Blok Masela di Maluku dari target sebelumnya pada 2027/2028 onstream dengan kapasitas 9.5 mtpa dan 150 mmscfd gas menjadi first drop pada akhir 2024. Produksi minyak dan gas bumi ditargetkan naik dari saat ini sekitar 1,9 juta barel/hari setara kebutuhan minyak per hari menjadi minimal 2,5 juta barel/hari.

Tambahan produksi minyak dan gas untuk mengejar target tersebut akan didapat dari proyek Tangguh Traini III sebesar 700 mmscfd, Lapangan Jangkrik 600 mmscfd, Lapangan Jambaran Tiung Biru 330 mmscfd, dan pengembangan proyek Genting Oil di Bintuni sebesar 170 mmscfd, Indonesia Deepwater Development (IDD) sebesar 80 mmscfd. Dengan demikian, pada akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 2024 meninggalkan warisan produksi minyak mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Pemanfaatan Proyek Listrik 35.000 MW Pembangunan infrastruktur 35.000 MW (MegaWatt) yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi harus dimanfaatkan secara optimal. Dari sisi permintaan, terutama untuk kelistrikan, diasumsikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6%-7%. Berdasarkan asumsi tersebut, peningkatan permintaan LNG untuk mendukung proyek listrik 35.000 MW sebesar 2%-3%. Namun, fakta menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak seoptimis proyeksi tersebut. Alhasil, gas yang dialokasikan untuk kelistrikan masih bersifat makro tanpa ada rincian volume dan jadwal penyerapan yang pasti. Penyerapan tahunan LNG domestik untuk kelistrikan dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya 77%.

LNG yang tidak terserap ini dapat mengganggu reservoir, fasilitas penyimpanan atau menjadi stress cargo yang harus dijual spot secara eceran terdesak. LNG yang tidak terserap ini dapat mengganggu reservoir, fasilitas penyimpanan kargo, baik secara langsung ke PLN maupun melalui Pertamina. Untuk menjaga agar produksi gas dan permintaan tidak terganggu, maka perlu optimalisasi pemanfaatan listrik baik industri maupun rumah tangga. Ingat, saat ini kebutuhan BBM mencapai 1,6 juta barel/hari. Konsumsi BBM ini diserap oleh masyarakat 60%-70% untuk kendaraan, sisanya untuk kebutuhan rumah tangga dan industri.

Salah satunya, pemerintah melalui PLN memiliki peran penting dalam melakukan revolusi industri listrik. Mengapa demikian? Selama ini konsumsi PLN terjadi pada beban puncak dari siang hari hingga pukul 23.00 malam hari, sedangkan pada pagi hari PLN mengalami penurunan konsumsi. Misalnya, jaringan Jawa-Bali pada 2018, kapasitas terpasang 34.550 MW (mega watt), terjadi beban puncak 27.070 MW, sedangkan pada pagi hari mengalami penurunan konsumsi PLN hanya 17.500 MW.

Pada waktu di luar beban puncak PLN mengalami kerugian hingga 5.000 MW. Jika pemerintah mulai melakukan strategi perubahan dari energi fosil ke listrik akan terjadi perubahan mendasar bukan hanya menutup kerugian akibat impor BBM tapi juga pemanfaatan listrik secara optimal. Pada malam hari rumah tangga yang mengunakan kendaraan listrik mengisi baterai sehingga kerugian PLN tertutup.

Dengan arah baru industri migas ini diharapkan pada 2024 produksi minyak mencapai 2,5 juta barel/hari, terjadi peralihan dari kebutuhan minyak bumi ke gas alam, terbangun pertumbuhan industri ditopang oleh kebutuhan gas murah, dan pemanfaatan listrik secara optimal. Presiden Jokowi akan dikenang sebagai peletak modernisasi Indonesia.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5972 seconds (0.1#10.140)