Politisasi Informasi dan Komunikasi Publik

Sabtu, 25 Mei 2019 - 07:56 WIB
Politisasi Informasi dan Komunikasi Publik
Politisasi Informasi dan Komunikasi Publik
A A A
Roseno Aji Affandi

Pemerhati “International Political Technology”, Pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta

PADA 21-22 Mei 2019 kita menyaksikan bersama sebuah eskalasi politik Indonesia yang menghangat di seputaran Jalan Thamrin, kawas­an Tanah Abang, dan Sabang, Jakarta, akibat dam­pak dari kontestasi pemilihan presiden. Eskalasi diawali dengan demonstrasi yang aman kemudian berkembang menjadi panas dan akhirnya sampai jatuhnya korban jiwa. Memanasnya situasi berdam­pak terhadap meningkatnya pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah.

Tulisan ini tidak akan mem­bahas kronologi peristiwa, apa­lagi menghakimi pihak-pihak tertentu, melainkan hanya fokus dan terbatas pada meng­amati kebijakan pemerintah dalam membatasi akses media sosial demi menjaga “stabilitas keamanan”. Bagaimana dam­pak politis dan nonpolitis ke­bijakan tersebut?

Dampak Nonpolitis

Media sosial merupakan gaya hidup generasi milenial. Hampir semua aktivitas setiap warga masyarakat pada hari-hari ini tidak terlepas dengan media sosial. Sementara ke­bijak­an pembatasan akses media sosial ini berdampak tidak hanya kepada stabilitas keamanan, tetapi juga ter­hadap ekonomi pelaku industri yang operasionalnya tergan­tung oleh akses media sosial dan internet. Mahasiswa meng­alami kesulitan mengerjakan tugas kuliahnya, masyarakat pengguna jasa ojek daring ter­ganggu mobilitasnya, pe­nge­mudi berkurang pen­dapat­annya, serta aktivitas warga lainnya yang hampir semuanya mengandalkan smartphone ter­­ganggu.

Tulisan ini diharapkan bisa menjadi pemicu terbentuknya sebuah “protokol” bagi siapa pun pejabat dalam memu­tus­kan kebijakan publik pada masa-masa “genting” tanpa melanggar hak informasi dan komunikasi publik. Tokopedia memiliki potensi penjualan se­nilai Rp1 triliun per bulan atau Rp33 miliar per hari. Buka­lapak berdasarkan peng­­­akuan CEO-nya me­miliki potensi omzet Rp4 triliun per bulan atau Rp133 miliar per hari sehingga dampak kebijak­an pem­batasan media sosial ber­potensi mengganggu pen­dapatan sebesar Rp166 miliar per hari atau Rp322 miliar selama dua hari, ha­nya pada kedua e-commerce terbesar Indo­nesia tersebut. Ini belum termasuk peng­usaha ber­basis internet yang ter­afiliasi de­ngan dua e-commerce tadi.

Media sosial memiliki dam­pak dan pengaruh yang sema­kin besar dalam gaya hidup, pola pikir dan ideologi masya­rakat hari ini. Kecepatan menerima informasi dan me­lakukan komunikasi sudah me­rupakan sebuah budaya baru dalam masyarakat mile­nial dalam mengambil ke­putus­an, juga dalam men­jalan­kan akti­vi­tas sehari-hari.

Dampak Politis

Istilah “genting” pada para­graf sebelumnya merupakan terms yang politis di tengah-tengah hak informasi dan komunikasi publik. Genting bisa diinterpretasikan politis bagi yang merasa kepentingan politiknya terganggu atau bahkan terancam. Sementara bagi publik, yang dibutuhkan bukan tentang genting atau tidaknya sebuah kejadian, te­tapi secara politis adalah untuk mendapatkan kecepatan akses informasi dan komunikasi untuk menilai “the truth” dari banjirnya informasi atas se­buah peristiwa. “The truth” dari kepentingan publik digunakan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan masalah do­mestik mereka, seperti pen­jem­putan anak sekolah, me­liburkan diri dari pekerjaan, membeli stok makanan, men­jual saham, bahkan sampai memutuskan pergi ke negara tetangga.

Dalam sosiologi atau istilah para pemikir studi media sering menyebut ini dengan framing (Goffman 1974; Hajer 1995). Seperti kita ketahui, framing tidak hanya memilih segmen realitas untuk per­hatian lebih lanjut, tetapi juga menyediakan skema penafsir­an yang digunakan orang un­tuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan mem­beri label (Entman 1993). Dengan penutupan saluran media sosial ini akan berdampak terhadap potensi framing dari satu pihak saja, yang kebetulan sedang berkuasa sekaligus sedang ikut berkontestasi. Padahal, publik juga memiliki hak untuk men­dapatkan dan menilai dari ber­bagai framing yang tersedia di ruang publik (The Power of Scientific Knowledge From Re­search to Public Policy, 2012, Reiner Grundmann and Nico Stehr, Cambridge University Press).

Keterbukaan saluran dalam kegentingan politik sangat pen­ting sebagai media pen­didik­an bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskursus po­litik. Adu framing yang me­mun­culkan tesis versus anti­tesis lainnya dibarengi sikap yang dewasa akan memun­cul­kan kualitas demokrasi dan diskusi publik yang baik.

Membebaskan saluran ko­mu­nikasi justru akan menjadi bahan saling koreksi dan kontrol publik. Adu framing yang terbuka akhirnya akan dinilai oleh publik. Penutupan saluran justru menimbulkan persepsi kurang fair-nya salah satu pihak. Pem­batas­an akses media sosial justru akan menimbulkan kecuri­ga­an dan perasaan ketidak­adilan dalam hak menda­pat­kan informasi sebagian pihak. Keterbukaan justru akan menjadi media saling kontrol atas pe­ristiwa-peris­tiwa yang sedang terjadi secara live di lapangan.

Partisipasi publik dalam pemberitaan dan mem­pro­duksi berita merupakan sa­lah satu ciri negara yang ter­buka dalam demokrasi modern. Semakin terbuka akses maka semakin mudah meng­identifi­kasi dan memprediksi masalah yang terjadi di lapangan. Pem­batas­an saluran media sosial bisa dipahami, karena memang di beberapa wilayah negara di luar negeri banyak memiliki pe­ngalaman terjadinya gerakan politik awalnya menggunakan media sosial sebagai medium­nya.

Media sosial merupakan salah satu tambang data yang saat ini nilainya menjadi se­perti mata uang. Data itu didapat dari setiap pengunduh aplikasi, penggunaan aplikasi melalui like, komen, dan ke-giatan lainnya yang kemudian dikumpulkan dengan mesin algoritmanya sehingga user adalah sumber data itu sendiri. Pemilik platform adalah pe­nyedia alat sekaligus pengolah data-data dari para user. Saat awal mengunduh aplikasi, para user selalu diawali untuk meng­ikuti aturan yang disyaratkan oleh aplikasi berikut kese­pa­katan membuka akses data user. Artinya, syarat ijab qabul dan mutual relations di antara kedua belah pihak sudah sah sehingga penguasaan atas data tersebut berada di tangan user dan pemilik platform. Secara sederhana tidak ada kaitannya dengan pihak lain, apalagi negara dalam hal ini.

Alhasil, muncul per­tanya­an-pertanyaan fundamental siapa­k­ah yang harus menentu­kan penggunaan data terse­but? Siapakah yang sebenarnya memiliki data? Siapakah yang bisa menggunakannya? Siapa­kah yang berhak memfilter? Pertanyaan-pertanyaan ini sam­pai hari ini masih sering men­jadi perdebatan di bebe­rapa negara. Saat ini terdapat sebuah kondisi yang paradoks. Di satu sisi, kita sudah men­capai cita-cita menjadi manu­sia bebas dalam berbicara, ber­p­endapat, dan mendapatkan informasi. Tetapi, saat ber­sama­an privasi kita diawasi oleh mesin dan platform atas semua aktivitas kita yang ter­ikat dalam jaringan internet. Siapakah yang berhak meng­awasi data-data tadi? Bukan­kah user dan platform sudah sepakat? Bagaimana negara terlibat dan intervensi ter­hadap data tersebut? Apakah penutupan akses informasi dan komunikasi telah meme­nuhi hak-hak mendapatkan informasi dan komunikasi publik? Ataukah sebetulnya hanyalah sebuah kepentingan politis dengan mengatasnama­kan keamanan negara?

Alhasil, kepentingan publik luas yang tak terkait dengan kepentingan politik menjadi terganggu seperti pelaku usaha online, mahasiswa, mobilitas warga, dan pelaku ekonomi daring lainnya. Sangat disaran­kan dalam mengambil keputus­an yang berkaitan dan atas nama keamanan politik serta kepentingan publik agar meng­gunakan media konsultatif yang pesertanya terdiri atas berbagai lintas sektor. Dengan begitu, kebijakan akan memiliki dampak yang tetap efektif untuk pengamanan dan tetap mengindahkan kebutuhan publik atas akses media sosial serta platform berbasis internet lainnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5827 seconds (0.1#10.140)