Serikat Buruh Tetap Minta Klaster Ketenagakerjaan Dihapus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menceritakan proses lobi yang terjadi dalam Tim Perumus (Timus) antara Badan Legislasi ( Baleg ) DPR dengan perwakilan 32 serikat buruh pada rapat tertutup, Kamis (20/8/2020) hingga Jumat (21/8/2020).
Dia mengungkapkan bahwa tawaran tertinggi (call) dari serikat buruh itu adalah dihapusnya klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). (Baca juga: Dialog DPR-Serikat Buruh Tetap Berlanjut soal RUU Cipta Kerja)
“Tentu kami ingin mengatakan, dalam kesempatan Timus pun sudah kami sampaikan, pak ketua panja (panitia kerja RUU Ciptaker) Baleg pun menyampaikan, apa usulan atau pandangan serikat buruh, istilahnya call tingginya. Maka kami menjawab call tingginya sebaiknya klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sebaiknya dikeluarkan dari RUU Ciptaker bila memungkinkan,” ungkap Iqbal dalam konferensi pers bersama DPR di Hotel Mulia, Jumat (21/8/2020).
“Apabila mungkin 10 klaster lain ingin cepat-cepat diselesaikan, ingin cepat disahkan disahkan RUU Cipta Kerja,” lanjut Iqbal. (Baca juga: Timus Baleg DPR dan Serikat Buruh Hasilkan 4 Kesepakatan soal RUU Ciptaker)
Kemudian, serikat buruh juga telah meminta kepada DPR untuk menyampaikan usulan serikat buruh tersebut kepada pemerintah dan hendaknya pemerintah dapat memahami. Jika keinginan serikat buruh itu disetujui, maka pihaknya setuju agar investasi bisa masuk secepatnya, izin dipermudah, hambatan investasi dihilangkan, semua kerja-kerja dari birokrat dan pemerintah baik daerah sampai ke pusat mendukung langkah-langkah Presiden Jokowi memudahkan investasi terlebih pasca Covid-19. (Baca juga: 30 Serikat Buruh Ikut Bahas RUU Cipta Kerja, DPR: Wakili 75% Pekerja)
“Tapi secara bersamaan, klaster ketenagakerjaan adalah klaster perlindungan buruh seluruh Indonesia, angkatan kerja yang akan masuk pasar kerja juga akan terlindungi dalam klaster tenaga kerjaan. Bila lah mungkin, klaster ketenagakerjaan itu dihilangkan dari RUU Cipta Kerja, bila lah mungkin dibahas dalam revisi UU terkait dan hal lain yang bisa didiskusikan,” tandasnya.
Namun demikian, sambung Iqbal, serikat buruh juga menyampaikan usulan lainnya. Yakni, apa yang dimasukkan ke dalam poin kesepakatan nomor 2 dan nomor 3, bahkan ketentuan yang sudah ada dan tepat dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tetap digunakan. Termasuk keputusan-keputusan Mahkamah Konstitus (MK) mengenai ketenagakerjaan dipatuhi.
“Karena pak Dasco menyampaikan tadi ini melekat, final and binding. Maka harus dihormati oleh semua lembaga termasuk seluruh rakyat Indonesia,” papar Iqbal.
Selain itu, pihaknya berharap UU 13/2003 tidak diubah sama sekali. Kalaupun sebagaimana kesepakatan nomor 3, yakni ada hal-hal baru yang tidak diatur dalam UU 13/2003, di antaranya bagaimana pekerja di industri start up, bagaimana pekerja paruh waktu, bagaimana pekerja di industri UMKM, bagaimana pekerja di transportasi online, dan lain sebagainya, pihaknya sepakat untuk diatur secara eksplisit namun dengan dialog lebih lanjut dengan pihaknya.
“Itu memang belum diatur secara eksplisit dalam UU 13/2003, maka masih memungkinkan untuk kita diskusikan dalam ruang dialog omnibus law tersebut, termasuk hal-hal lain di dalamnya,” tandasnya.
Dia mengungkapkan bahwa tawaran tertinggi (call) dari serikat buruh itu adalah dihapusnya klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). (Baca juga: Dialog DPR-Serikat Buruh Tetap Berlanjut soal RUU Cipta Kerja)
“Tentu kami ingin mengatakan, dalam kesempatan Timus pun sudah kami sampaikan, pak ketua panja (panitia kerja RUU Ciptaker) Baleg pun menyampaikan, apa usulan atau pandangan serikat buruh, istilahnya call tingginya. Maka kami menjawab call tingginya sebaiknya klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sebaiknya dikeluarkan dari RUU Ciptaker bila memungkinkan,” ungkap Iqbal dalam konferensi pers bersama DPR di Hotel Mulia, Jumat (21/8/2020).
“Apabila mungkin 10 klaster lain ingin cepat-cepat diselesaikan, ingin cepat disahkan disahkan RUU Cipta Kerja,” lanjut Iqbal. (Baca juga: Timus Baleg DPR dan Serikat Buruh Hasilkan 4 Kesepakatan soal RUU Ciptaker)
Kemudian, serikat buruh juga telah meminta kepada DPR untuk menyampaikan usulan serikat buruh tersebut kepada pemerintah dan hendaknya pemerintah dapat memahami. Jika keinginan serikat buruh itu disetujui, maka pihaknya setuju agar investasi bisa masuk secepatnya, izin dipermudah, hambatan investasi dihilangkan, semua kerja-kerja dari birokrat dan pemerintah baik daerah sampai ke pusat mendukung langkah-langkah Presiden Jokowi memudahkan investasi terlebih pasca Covid-19. (Baca juga: 30 Serikat Buruh Ikut Bahas RUU Cipta Kerja, DPR: Wakili 75% Pekerja)
“Tapi secara bersamaan, klaster ketenagakerjaan adalah klaster perlindungan buruh seluruh Indonesia, angkatan kerja yang akan masuk pasar kerja juga akan terlindungi dalam klaster tenaga kerjaan. Bila lah mungkin, klaster ketenagakerjaan itu dihilangkan dari RUU Cipta Kerja, bila lah mungkin dibahas dalam revisi UU terkait dan hal lain yang bisa didiskusikan,” tandasnya.
Namun demikian, sambung Iqbal, serikat buruh juga menyampaikan usulan lainnya. Yakni, apa yang dimasukkan ke dalam poin kesepakatan nomor 2 dan nomor 3, bahkan ketentuan yang sudah ada dan tepat dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tetap digunakan. Termasuk keputusan-keputusan Mahkamah Konstitus (MK) mengenai ketenagakerjaan dipatuhi.
“Karena pak Dasco menyampaikan tadi ini melekat, final and binding. Maka harus dihormati oleh semua lembaga termasuk seluruh rakyat Indonesia,” papar Iqbal.
Selain itu, pihaknya berharap UU 13/2003 tidak diubah sama sekali. Kalaupun sebagaimana kesepakatan nomor 3, yakni ada hal-hal baru yang tidak diatur dalam UU 13/2003, di antaranya bagaimana pekerja di industri start up, bagaimana pekerja paruh waktu, bagaimana pekerja di industri UMKM, bagaimana pekerja di transportasi online, dan lain sebagainya, pihaknya sepakat untuk diatur secara eksplisit namun dengan dialog lebih lanjut dengan pihaknya.
“Itu memang belum diatur secara eksplisit dalam UU 13/2003, maka masih memungkinkan untuk kita diskusikan dalam ruang dialog omnibus law tersebut, termasuk hal-hal lain di dalamnya,” tandasnya.
(nbs)