Budaya Politik Masih Mencari Bentuk

Kamis, 11 April 2019 - 08:30 WIB
Budaya Politik Masih Mencari Bentuk
Budaya Politik Masih Mencari Bentuk
A A A
Nadjamuddin Ramly
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI

PEMILIHAN umum yang berlangsung di Indonesia pada 17 April 2019 boleh jadi merupakan pesta politik terbesar sepanjang abad. Rabu itu sebanyak 193 juta pemilih menuju tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang jumlahnya mencapai 805.000 buah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka memilih presiden dan wakilnya, serta memilih anggota legislatif lokal dan nasional serta anggota senator secara serentak di hari yang sama.
Sekitar 20 tahun sebelumnya, yakni pada 7 Juni 1999, pemilu pertama anggota legislatif juga telah berlangsung sukses diikuti 48 partai politik. Lebih 105 juta pemilih menggunakan hak pilihnya. Padahal, di masa Orde Baru sebelumnya selalu dikatakan rakyat tak punya budaya politik sehingga tak siap melakukan pemilihan secara langsung.

Keberhasilan pelaksanaan pemilu langsung dua dekade terakhir ini, dengan segala kurang-lebihnya, membantah dan menolak dengan sendirinya pendapat ekstrem yang menyatakan bahwa warga negeri ini tak punya budaya politik. Nyatanya, pemilu terbesar 2019, yang diawali hingar-bingar kampanye selama enam bulan, menunjukkan bangsa kita memiliki budaya politik yang santun dan dinamis.

Demokrasi jelas bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Ini sudah terpatri dalam budaya asli masyarakat Indonesia, khususnya dalam budaya musyawarah mufakat. Praktik politik berdasarkan budaya ini telah berlangsung selama berabad-abad, sejak masyarakat hidup dalam pola perkauman di zaman kerajaan dan terus dipertahankan hingga kini di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Tradisi yang hidup dalam masyarakat pertanian tradisional Indonesia, seperti rembuk, bahkan sudah menjadi praktik yang terlembagakan dalam bentuk yang unik di berbagai pemerintahan dan lembaga-lembaga politik di daerah. Misalnya, Kerapatan Nagari, Rembuk Desa, Musyawarah Subak, dan forum-forum musyawarah masyarakat desa lainnya.

Praktik politik demokratis lainnya tampil dalam tradisi pepe. Protes penyampaian pendapat secara damai ini dilakukan rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam yang atraktif. Tradisi politik kerakyatan semacam pepe juga telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional masa lalu, dan masih dipraktikkan sampai sekarang.

Namun, di sisi lain, tak dapat dipungkiri kenyataan ada budaya negatif yang menghambat, bahkan menentang prinsip demokrasi yang merupakan satu sistem politik pilihan kita. Budaya negatif ini antara lain feodalisme, nepotisme, klientalisme, dan primordialisme, yang juga mengakar sejak dulu dan masih bertahan hingga kini di tengah masyarakat.

Di awal kemerdekaan, dalam proses perdebatan konsep dasar ketika menata sistem politik Indonesia pascakolonial, timbul perbedaan pandangan di kalangan elite politik mengenai sistem politik yang dianggap sesuai dengan budaya Indonesia. Dua pemimpin bangsa, Ahmad Soekarno dan Muhammad Hatta, memiliki persepsi berbeda mengenai pilihan sistem demokrasi karena perbedaan sikap terhadap budaya politik yang ada.

Dalam konteks kelembagaan, corak sistem Demokrasi Parlementer seperti yang tampak pada 1949 hingga 1950-an merupakan representasi cita-cita Bung Hatta. Sementara itu, Demokrasi Terpimpin seperti dipraktikkan pada 1959 hingga pertengahan 1960-an merupakan cerminan cita-cita penggagasnya, Soekarno.

Dalam konteks budaya politik, periode Demokrasi Parlementer yang disokong Bung Hatta dipandang oleh Soekarno sebagai cerminan praktik demokrasi berdasarkan budaya Barat. Di sisi lain, praktik Demokrasi Terpimpin yang oleh Soekarno diklaim sesuai dengan budaya asli Indonesia dikritik tajam oleh Bung Hatta sebagai cerminan budaya feodal, otoriter, dan antidemokrasi.

Pencarian budaya politik yang tepat untuk masyarakat Indonesia tak juga tuntas setelah kekuasaan berpindah dari rezim Orde Lama (era Demokrasi Terpimpin) ke Orde Baru. Era ini hanya kelanjutan dan penyempurnaan dari model sistem politik Orde Lama. Budaya politik yang dikembangkan pun tidak jauh berbeda. Ciri otoritarian dan represif malahan kian menonjol.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, rezim melembagakan banyak warisan budaya feodal Jawa, bahkan warisan budaya kolonial Belanda, dalam hubungan antara rakyat dengan penguasa. Soeharto mengklaim sistem politik yang disebutnya sistem Demokrasi Pancasila ini paling sesuai dengan budaya asli Indonesia.

Pada 1998 rezim Soeharto tumbang melalui serangkaian aksi demo mahasiswa yang didukung para elite dan massa rakyat. Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sebagai penggantinya mulai melembagakan budaya politik musyawarah mufakat dalam format demokratisasi di segala bidang. Pemilihan umum perwakilan rakyat dilakukan sangat terbuka dengan diikuti langsung oleh seluruh warga.

Namun, bentuk demokrasi yang dijalankan di Indonesia kini banyak digugat terlalu liberal. Praktik politik yang diterapkannya dinilai tak sesuai dengan budaya bangsa yang menunjung tinggi etika dan agama. Pasalnya, model demokrasi yang begitu liberal tak mampu melahirkan produk politik yang dapat mengatasi penyakit kronis seperti korupsi serta nepotistik dan bahkan menyediakan lahan subur bagi praktik oligopoli.

Ini artinya pencarian budaya politik yang pas belum selesai, dan kita masih harus mencari bentuk ideal yang mesti terus-menerus diupayakan secara bersama walau sila keempat Pancasila telah menyatakan dan menuntun bangsa ini untuk mewujudkan bentuk demokrasi asli Indonesia, yakni sebuah musyawarah perwakilan sebagai solusinya, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Ini sebuah tesis bernas dan cerdas serta mencerahkan dalam solusi menggantikan praktik demokrasi langsung yang kebablasan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5630 seconds (0.1#10.140)