Kapal Bekas dan Masa Depan Kerja Sama Alutsista Indonesia-Korsel

Senin, 10 Juni 2024 - 05:17 WIB
loading...
Kapal Bekas dan Masa...
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
KABAR menggelisahkan datang dari dunia alutsista Tanah Air. Betapa tidak, di tengah gencarnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengakuisisi kapal perang termutakhir seperti offshore patrol vessel (OPV) kelas Thaon di Revel dan membangun berbagai jenis kapal perang -mulai dari fregat, OPV, hingga KCR- dengan melibatkan PT PAL dan sejumlah galangan swasta lokal, kementerian yang dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto tersebut ternyata masih bernafsu membeli kapal perang bekas.

baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru

Keputusan pembelian kapal bekas dari Korea Selatan (Korsel) itu diambil dalam rapat Komisi I DPR dengan Kemhan pada Kamis (6/6). Yang mengejutkan, kapal yang akan akuisisi tersebut hanya sebatas kapal perang jenis korvet, Kelas Pohang. Lebih mengagetkan, walaupun berstatus hibah, pemerintah masih harus menggelontorkan dana sebesar USD35 juta atau setara Rp569,97 miliar untuk perbaikan struktur, mesin, hingga modernisasi sistem manajemen tempur atau sewaco (sensor, weapon and command).

Rencananya, sumber dana akan dimasukkan dalam anggaran rencana strategis (renstra) Kemhan tahun 2025-2029. Apakah Indonesia benar-benar urgen membeli kapal bekas tersebut? Apakah korvet kelas Pohang mampu menghadirkan deterrent effect untuk mengamankan wilayah laut NKRI? Bila dilihat dari dinamika geopolitik di kawasan saat ini, rasa tidak ada latar belakang yang mengharuskan Kemhan mengambil keputusan drastis tersebut. Apalagi soal daya gentar, kapal perang sekelas korvet mustahil mampu mewujudkannya.

Karena itu, satu-satunya hipotesis yang layak dikemukakan adalah dominannya pertimbangan politik dalam keputusan tersebut? Pertanyaaan selanjutnya yang layak disampaikan adalah, apa urgensinya pembelian kapal dalam konteks hubungan kerja sama alutsista Indonesia atau lebih luas hubungan diplomatik dan pertahanan dengan Negeri Gingseng tersebut?

Latar belakangan hipotesis tersebut melibatkan dinamika kerja sama alutusista Indonesia-Korsel yang bisa disebut berada di titik nadir terendah. Indikasi ini bisa dilihat dari kontroversi yang menyertai proyek kerja sama KFX/IFX dan ketidakberlanjutan pembangunan kapal selam Kelas Chang Bogo Batch II. Kerja sama KFX/IFX misalnya, hingga memasuki Juni 2024 ini belum ada kabar terbaru tentang pembayaran kekurangan dari pihak Indonesia.

Seperti diketahui, dalam proyek kerja sama yang dimulai pada 2010 itu, Indonesia awalnya setuju untuk membayar 20% (1,7 triliun Won) dari total biaya pengembangan sebesar 8,1 triliun Won atau sekitar Rp121,35 triliun. Keseluruhan pendanaan digunakan untuk memproduksi 120 unit jet tempur untuk Korsel dan 48 jet tempur untuk Indonesia.

Sejauh ini pemerintah telah membayar sekitar 300 miliar won untuk proyek yang disebut KFX/IFX tersebut -belakangan oleh Korsel disebut KF-21 Boromae, namun kemudian tidak memenuhi tenggat waktu pembayaran. Namun di sisi lain, terhambatnya pembayaran juga terkait tidak terpenuhinya komitmen yang dituntut Indonesia dari pihak Korsel.

Seperti pernah disampaikan Sekjen Kemhan periode 2010-2013 Marsdya (Purn) Eris Heryanto mengungkapkan, komitmen dimaksud antara lain terkait keterlibatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak seperti diharapkan, adanya sejumlah teknologi kunci yang tidak diperbolehkan Amerika Serikat (AS) untuk diberikan pada Indonesia. Selain itu, Paman Sam juga juga tidak memberikan export license kepada Indonesia dalam bentuk LRU/komponen subsistem atau teknologi-teknologi yang lain.Padahal LRU dan teknologi-teknologi yang lain sudah mulai digunakan di prototipe (KF 21 Boromae).

Setelah melalui tarik ulur, panjang dan berbelit, pada Mei 2024 lalu Korsel mengisyaratkan menerima proposal Indonesia untuk mengurangi pembagian biaya untuk program jet tempur KF-21. Tentu ada prasyarat yang mengikutinya, yaitu negeri gingseng itu akan memberikan lebih sedikit transfer teknologi.

Berapa jumlah yang harus dibayarkan sejauh ini belum jelas. Namun Indonesia telah menawar membayar total 600 miliar won (USD442,3 juta) untuk proyek jet KF-21 pada tahun 2026, turun dari jumlah awal 1,6 triliun won. Defense Acquisition Program Administration (DAPA)Korsel berharap bisa menuntaskan keputusan dalam tinjauan komite paling cepat akhir Mei 2024 agar tidak menyebabkan penundaan dalam proyek pembangunan, yang dijadwalkan selesai pada tahun 2026.

Special Strategic Partnership

Pada September 2023 lalu, hubungan diplomatik Indonesia-Korsel tepat menginjak 50 tahun. Walaupun terbilang cukup lama, hubungan antarkedua negara mengalami progresivitas terjadi pada 2017, ditandai kunjungan kenegaraan Presiden Moon Jae-in ke negeri ini pada 8-10 November.

baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?

Seperti tercantum dalam websitewww.kemlu.go.id, dalam kunjungan bertema ā€œRepublic of Korea-Republic of Indonesia Joint Vision Statement for Co-Prosperity and Peace",Presiden Moon Jae-in dan koleganya Presiden Joko Widodo bersepakat meningkatkan status kemitraan strategic partnership menjadispecial strategic partnership.

Kemitraan baru berfokus kerja sama pada empat area, yakni pertahanan dan hubungan luar negeri, perdagangan bilateral dan pembangunan infrastruktur,people-to-people exchanges, serta kerja sama regional dan global. Penguatan hubungan dan kerja sama bilateral tepat dilakukan karena komplementaritas sumber daya dan keunggulan masing-masing negara. Di sisi lain, kemajuan ekonomi dan kerja sama politik kedua negara yang terjadi, mendorong peluang kerja sama di berbagai sektor semakin terbuka lebar.

Dalam bidang ekonomi misalnya, Korsel merupakan salah satu negara sumber investasi yang strategis. Indonesia menempati urutan ke-2 setelah Vietnam di antara 8 negara ASEAN (19.10%) dan ke-3 dari 91 negara tujuan investasi Korea di dunia (7.47%). Korsel juga merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.

Pun hubungan militer dan pertahanan kedua negara juga mengalami akselerasi. Momentum ditandai dengan kerja sama pengadaan alutsista dari industri pertahanan Korsel untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI. Akuisisi yang dilakukan Indonesia antara lain Panser Tarantula untuk TNI AD,SubmarineChangbogo Classuntuk TNI AL, dan pesawat latih temput T-50iGolden Eagleserta pesawat latih ringan KT-1B untuk TNI AU.

Istimewanya, belanja senjata tersebut di antaranya juga diikuti dengan transfer of technology (ToT), seperti kapal selam Chang Bogo dan Panser Tarantula. Sebelumnya, TNI AL juga membeli kapal landing platform doc (LPD) Kelas Banjarmasin, dengan skema sebagian kapal dibangun di galangan kapal nasional PT PAL Surabaya. Sebaliknya, Korsel membeli alutsita made in berupa pesawat CN-235 untuk digunakan olehRepublic of Korea Air Force(ROKAF) danKorean Coast Guard(KCG) sebagai bentuk imbal dagang.

Selain pembelanjaan alutsista, hubungan militer Indonesia-Korsel juga diwarnai pelaksanaan latihan personel militer pada fasilitas latihanPresidential Security Service(PSS) Korsel. Pertukaran kunjungandelegasi militer juga berlangsung dengan frekuensi tinggi. Kedua negara pun saling mengirim personel militernya untuk melaksanakan tugas belajar di berbagai tingkatan.

Buku Putih Pertahanan juga menegaskan Korsel sebagai mitra penting Indonesia dalam pembangunan kapabilitas pertahanan dan peningkatan profesionalisme prajurit TNI. Disebutkan Indonesia dan Korsel telah memiliki kesepakatan kerja sama di bidang pertahanan.

baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista

Kerja sama pertahanan dimaksud antara lain dialog bilateral rutin dan konsultasi tentang isu-isu strategis dan keamanan; pertukaran pengalaman dan informasi pertahanan; pertukaran personel untuk pendidikan; pelatihan profesional; kunjungan dan penelitian bersama; pertukaran data ilmiah dan teknologi, para ahli, teknisi, pelatih dan kerja sama teknis lain sesuai kepentingan pertahanan; peningkatan kerja sama kedua angkatan bersenjata; bantuan dan dukungan logistik pertahanan; dan pengadaan alutsista.

Tersisih dari Persaingan

Momentum kemesraan kerja sama Indonesia-Korsel sudah terjadi pada 2004 kala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memborong 4 unit kapal LPD kelas Makassar buatan Daesun Shipbuilding & Engineering Co. dengan skema ToT, yakni 2 kapal dibangun Korsel dan 2 lainnya dibangun di PT PAL. Transfer knowledge yang diperoleh pun membuat PT PAL bisa membangun dan mendesain ulang kapal jenis tersebut, dan bahkan mengekspornya ke Filiphina dan Uni Emirate Arab (UEA).

Setelah kerja sama LPD yang sukses besar, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel menunjukkan tren semakin intensif yang ditandai dengan akuisisi kapal selam Chang Bogo pada akhir 2011 dan proyek prestisius kerja sama pembangunan KFX-IFX yang sama-sama terjadi di era Presiden SBY. Untuk kapal selam, Indonesia-Korsel telah menyelesaikan batch I yang menghasilkan KRI Nagapasa-403, KRI Ardadeli-404, dan KRI Alugoro-405.

Namun belakangan muncul persoalan terkait performa kapal selam yang diproduksi Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd tersebut, hingga TNI AL disebut tidak mengoperasikannya karena pertimbangan risiko. Atas alasan itulah, akuisisi batch II yang direncanakan membangun tiga kapal Chang Bogo tidak lagi menjadi prioritas. Padahal konon, DSME sudah memesan sejumlah spare part untuk persiapan produksi Batch II.

Begitupun proyek kerja sama KFX-IFX juga menemui banyak ganjalan. Kondisi yang terjadi belakangan diperumit dengan munculnya drama penahanan seorang insinyur Indonesia dengan tuduhan mencuri teknologi jet di Korea Aerospace Industries (KAI), produsen KF-21 Boromae.Yang bersangkutan tertangkap pada bulan Januari saat mencoba meninggalkan fasilitas KAI dengan perangkat penyimpanan USB yang berisi data tentang jet tempur tersebut.

Selain program kerja sama alutsista di atas, Indonesia-Korsel sebenarnya masih ada jual beli pengadaan enam jet tempur latih T-50i senilai total USD240 juta atau berkisar Rp3,4 triliun rupiah pada 2021. Langkah ini merupakan kelanjutan akuisisi 16 unit pesawat T-50 Golden Eagle senilai USD400 juta yang dilakukan tepat satu dekade sebelumnya.

Dilihat dari tiga transaksi tersebut, tampak sekali indikasi tingginya rasa saling percaya antar-kedua pihak, termasuk dari sisi Indonesia berani menjadi pembeli pertama alutsista sekelas kapal selam dan pesawat tempur yang notabene belum battle proven.

Di sisi lain, Korsel bermurah hati memberikan ToT demi mendukung visi Indonesia membangun kemandirian alutsista. Apalagi kemudian ToT kapal LPD sukses besar, di mana PT PAL tidak hanya bisa membangun kapal perang berukuran besar tersebut, tapi juga mampu mengembangkan dan mengekspornya.

Baru kemudian muncul persoalan serius dalam transaksi kapal selam Chang Bogo dan proyek KFX/IFX. Pada kasus kapal selam Chan Bogo, Indonesia bisa dikatakan terlalu nekad membeli alutsista strategis dari negara non-pemain utama kapal selam, seperti Jerman dan Prancis. Sedangkan kendala proyek KFX-IFX terjadi karena ternyata Korsel memiliki ketergantungan pada AS pada teknologi kunci, sedangkan di sisi lain Indonesia harus diakui bukan negeri sekutu yang bisa mendapat privellege AS untuk mendapatkan teknologi canggih produk mereka maupun mengembangkan alutsista.

Di luar persoalan teknis, di era kepemimpinan Jokowi dengan menteri pertahanan dipegang Prabowo Subianto, Indonesia sesungguhnya menunjukkan intensifitas belanja alutsista. Hanya saja, orientasi yang ditunjukkan mantan Danjen Kopassus adalah membeli alutsista grade A dan dari negara pemain utama alutsista dan bisa menjadi sahabat Indonesia. Fakta ini terlihat dari akuisi pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene Evolved, dan fregat kelas Thaon di Revel dari Italia.

Di sisi lain, Indonesia juga mereorientasi pembelian alutsista dari negara yang memiliki independensi dalam membangun alutsista dan bersedia memberikan ToT, dengan tujuan mengurangi resiko embargo dan menggapi kemandirian alutsista. Pilihan ini jatuh pada Turki. Belakangan, akuisisi maupun kerjasama dengan negeri Ottoman itu berlangsung sangat progresif, dengan beragam poin transaksi mulai dari kapal perang, drone tempur, sistem manajemen tempur hingga rudal.

Jika berkaca pada fakta-fakta di atas, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel yang mengalami puncak kejayaan di era Presiden SBY, justru mengalami penurunan meski kerja sama kedua negara sudah pada level special strategic partnership. Dengan tampilnya Prabowo sebagai presiden terpilih dengan personality politic-nya yang ditunjukkan selama menjabat menteri pertahanan, masa depan kerja sama alutsista Indonesia-Korsel terancam kian suram.

baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista

Kondisi demikian diperberat dengan agresivitas produsen utama alutsista dunia seperti Prancis dan Turki dalam mendekati Indonesia, dan kesediaan mereka memenuhi tuntutan dan kebutuhan Kemhan-TNI untuk mendapatkan state of the art alutsista dan memberikan kemudahan ToT untuk mendukung program kemandirian alutsista. Persaingan pun membuat Korsel semakin tersisih.

Kendati demikin, Indonesia-Korsel adalah dua negara bersahabat yang sudah teruji saling mendukung satu-satu sama lain selama 50 tahun hubungan berlangsung, hingga kerja sama diplomasi menapak level begitu tinggi. Terlebih kerja sama saling-menguntungkan yang dilakukan bukan hanya dalam bidang alutsista saja, tapi juga pada banyak bidang lain seperti menjadi komitmen special strategic partnership.

Karena itulah, Indonesia perlu menjaga agar hubungan kerja sama alutsista dengan Korsel tetap baik-baik saja, walaupun tidak seintensif sebelumnya. Pembelian Korvet Kelas Pohang bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan tujuan tersebut. Tentu saja ke depan situasi bisa berubah bila Korsel bisa menyaingi Prancis atau Turki dalam konteks kualitas alutsista ataupun memenuhi komitmen ToT tanpa terbelenggu kebijakan negara lain, terutama AS. (*)
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2218 seconds (0.1#10.140)