Din Syamsuddin Usul Muhammadiyah Tolak Tawaran Konsesi Tambang: Lebih Banyak Mudaratnya
loading...
A
A
A
Din menambahkan, pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Din juga menyebut dirinya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil.
"Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara (sila bandingkan dengan lahan yg dikuasai oleh para pengusaha)."
Menurut Din, pemberian tambang "secara cuma-cuma" kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Menurut pakar, lanjut Din, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"Sistem IUP ini tidak sesuai Konstitusi, tidak menjamin bahwa perolehan negara/APBN harus lebih besar dari keuntungsn bersih penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan wewenang pemberian IUP sebagai sumber korupsi.
"Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi," ujarnya.
Din mengatakan, pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat pemilu/pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan. Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.
"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan, bukan diperdayakan," katanya.
Karena itu, Din menyampaikan usulan kepada Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. "Sebagai warga Muhammadiyah, saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudarat daripada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (problem maker), bukan bagian dari masalah (a part of the problem)," tandasnya.
"Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara (sila bandingkan dengan lahan yg dikuasai oleh para pengusaha)."
Menurut Din, pemberian tambang "secara cuma-cuma" kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Menurut pakar, lanjut Din, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"Sistem IUP ini tidak sesuai Konstitusi, tidak menjamin bahwa perolehan negara/APBN harus lebih besar dari keuntungsn bersih penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan wewenang pemberian IUP sebagai sumber korupsi.
"Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi," ujarnya.
Din mengatakan, pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat pemilu/pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan. Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.
"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan, bukan diperdayakan," katanya.
Karena itu, Din menyampaikan usulan kepada Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. "Sebagai warga Muhammadiyah, saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudarat daripada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (problem maker), bukan bagian dari masalah (a part of the problem)," tandasnya.