Dari Shame Truth ke Post-Truth Era Digital

Kamis, 14 Februari 2019 - 06:37 WIB
Dari Shame Truth ke Post-Truth Era Digital
Dari Shame Truth ke Post-Truth Era Digital
A A A
Nugroho Agung Prasetyo S.Sos M.Si Pengurus ISKI/Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia

dan Dosen LSPR/ London School of Public Relations

STEVE Tesich, penulis skenario keturunan Serbia-Amerika, mungkin tidak pernah menyangka istilah post-truth digunakan dalam artikel di surat kabar The Nation pada 1992 dan kini menjadi fenomena global. Peraih Academy Award 1979 untuk Best Original Screenplay film Breaking Away itu meninggal di Kanada pada 1996 tanpa sempat menyaksikan istilah yang ditulisnya menjadi perbincangan di AS, Eropa, dan kini di Indonesia.

Menurut Oxford Dictionaries, Tesich dalam esainya menulis; following the shameful truth of Watergate, more assuaging coverage of the Iran-Contra scandal and Persian Gulf War demonstrate that "we, as a free people, have freely decided that we want to live in some post-truth world." (mengikuti kebenaran memalukan Watergate, liputan yang lebih meyakinkan dari skandal kontra-Iran dan Perang Teluk Persia, menunjukkan bahwa "kita, sebagai orang bebas, telah memutuskan ingin hidup di dunia pascakebenaran).

Tesich tidak memberi definisi post-truth. Ia seolah membebaskan penulis berikutnya untuk memberi arti istilah ini. Delapan tahun setelah kematian Tesich, Ralp Keyes menggunakan istilah itu untuk judul bukunya; Post-Truth Era. Menurut Keyes, di era pascakebenaran, penipuan menjadi lebih lazim di media. Kebohongan tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang tak termaafkan, dan mulai dipandang sebagai sesuatu yang bisa diterima.

Pada 2004, tidak lama setelah keluarnya buku Ralph Keyes, jurnalis Eric Alterman menciptakan istilah presiden pascakebenaran atau post-truth president untuk menyebut George Bush dalam analisisnya terhadap pernyataan menyesatkan sang presiden terhadap peristiwa 9/11.

Masih pada tahun sama, Colin Crouch dalam buku Post-democracy menulis; pemilihan umum dapat mengubah pemerintahan, tapi debat publik pemilu menjadi tontonan yang dikontrol ketat, dikelola oleh tim profesional yang bersaing dengan menggunakan teknik persuasi, serta mempertimbangkan sejumlah kecil masalah yang menjadi pilihan. Crouch secara tidak langsung mengaitkan industri periklanan dan komunikasi politik dengan krisis kepercayaan dan tuduhan ketidakjujuran berkaitan maraknya politik pascakebenaran.

Definisi post-truth lebih jelas dikemukakan blogger David Roberts dalam postingan bertanggal 1 April 2010. Menurut Roberts, post-truth politics adalah budaya politik ketika politik nyaris terputus sepenuhnya dari persoalan kebijakan atau substansi legislasi. Post-truth politic terlihat dalam pemilihan gubernur negara bagian Ontario, AS. Di Eropa, post-truth politic terlihat saat referendum Brexit, tentang keanggotaan Inggris di Uni Eropa, dan pemilihan presiden AS 2016 yang memenangkan Donald Trump.

Kemenangan Trump dalam pemilu AS mungkin yang paling menarik. Selama kampanye, semakin sering media menyiarkan pesan negatif yang dianggap bernuansa kebohongan Trump, popularitas sang taipan properti terus naik. Puncaknya, Trump terpilih sebagai presiden AS berkat sejumlah pesan kampanye kontroversialnya tersebut. Ini membuat metode pemeriksaan fakta yang dikembangkan New York Times untuk meluruskan atau membantah pernyataan Trump sia-sia. Trump mungkin layak disebut second post-truth president.

Di Indonesia, post-truth politic muncul saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang menghadapkan Basuki Tjahaja Purnama dengan Anies Baswedan. Dua calon berasal dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Ujaran kebencian dan potongan-potongan informasi yang tak utuh dari beberapa peristiwa bertebaran bak hujan yang tak kunjung reda di dunia maya.

Sepanjang kampanye Pilkada DKI Jakarta, media sosial dipenuhi ujaran kebencian, berita hoaks, dan informasi menyesatkan. Produsen semua itu bisa siapa saja karena di era digital siapa pun boleh menyebarkan informasi dan menulis berita peristiwa layaknya wartawan. Muncul polarisasi di masyarakat, saling serang secara verbal, yang menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan konflik horizontal. Dampaknya pun suka tak suka masih tersisa hingga saat ini di masyarakat, khususnya Ibu Kota.

Sepanjang kampanye Pilkada DKI Jakarta, sebagian masyarakat cenderung menolak membaca media daring tertentu dan enggan menikmati berita stasiun televisi. Mereka lebih suka mencari informasi di media sosial, yang menurut mereka lebih bisa dipercaya. Di lain pihak, sebagian masyarakat lainnya menikmati sajian berita yang diketahui memihak salah satu calon, seraya aktif mencari yang lain di media sosial.

Situasi hampir sama terjadi jelang dan saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dua kubu saling tuduh menyebar berita hoaks, memproduksi informasi sesukanya, dan membingkai ulang berita dengan cara-cara tertentu, untuk melumpuhkan kemampuan masyarakat berpikir kritis. Akibatnya, menurut Aqida Nuril Salma dalam Professionalism of Journalism in 'Post-Truth' Digital Era: A Structural Functionalist Approach , batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur.

Masih menurut Oxford Dictionary, di era post-truth, fakta tidak terlalu berpengaruh membentuk opini dibanding emosi dan keyakinan personal. Situasi ini tampak jelas betapa masyarakat cenderung tidak membaca berita mengandung fakta, dan lebih suka menikmati tulisan, meme, dan potongan video, pesan individu di media sosial yang berisi emosi, sentimen pribadi, atau rekayasa kabar peristiwa yang melibatkan salah satu calon. Individu seakan menjadi pihak yang mampu menyampaikan emosi secara vulgar, tentunya dengan pilihan kata yang favourable untuk pendukung capres tertentu, sambil berharap mendapat banyak like and share serta follower. Post-truth politic berlanjut ke kampanye pilpres. Dua kubu pasangan calon presiden berlomba menyajikan informasi; teks atau video untuk memengaruhi masyarakat. Cawapres salah satu kubu diserbu seorang wanita pengagumnya yang meminta foto bareng, seraya berteriak histeris dan menangis. Di sisi lain, capres kubu yang berbeda juga terekam kamera sedang didatangi ibu-ibu yang histeris dan meminta foto bareng. Adegan yang nyaris serupa dua tokoh berada di dalam mobil saat "diserbu" pun kemudian menjadi bahan "gorengan" dua kubu di dunia maya. Calon pemilih seakan tidak mempersoalkan semua itu rekayasa atau nyata. Mereka yang kadung suka pun merasa tidak perlu terlalu peduli apakah pesan yang diterima merupakan sebuah kebenaran atau sekadar penggiringan opini melalui adegan setting-an. Belum lagi narasi-narasi politik dengan data kontroversial yang kemudian dilanjutkan dengan balas-membalas komentar tanpa kualitas dan kurang produktif.

Masyarakat masih akan menyaksikan model kampanye seperti ini, atau dalam bentuk yang lain, sampai Pilpres 2019 berlangsung. Ada saling tuding menyebarkan berita fitnah, hoaks. Saling serang setelah dua calon mengeluarkan pernyataan, dan lomba saling memviralkan sesuatu yang mereka anggap bisa memengaruhi pemilih. Pada saat yang sama, pembicaraan tentang visi dan gagasan besar sang calon pemimpin menjadi terabaikan, bahkan mungkin sama sekali tak tersentuh.

Kembali ke pernyataan Tesich, setelah kebenaran memalukan kita perlu dunia post-truth, bolehlah kita bertanya kebenaran memalukan macam apa yang harus ditutupi dengan kebohongan-kebohongan? Kita tidak tahu sebab, berbeda dengan di AS, tidak ada kebenaran memalukan yang diungkap pers Indonesia saat ini.

Post-truth, tanpa bisa dicegah, telah menjadi fenomena politik Indonesia saat ini. Situasi yang tidak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan adalah menunggu apakah yang akan muncul merupakan presiden post-truth pertama Indonesia atau kita masih mampu mencerdaskan diri secara rasional melihat fakta kandidatnya di antara kebenaran dan kebohongan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4786 seconds (0.1#10.140)