Ongkos Sosial Kegaduhan Politik

Kamis, 10 Januari 2019 - 08:45 WIB
Ongkos Sosial Kegaduhan Politik
Ongkos Sosial Kegaduhan Politik
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

KESEJUKAN politik tengah dibutuhkan Indonesia saat ini. Kesejukan politik membutuhkan satu prasyarat dasar, yaitu keteduhan kampanye politik. Kesejukan, keteduhan, dan oase, harus disebut karena realitas politik nasional saat ini terus mengarah ke luar rel kebangsaan; kebisingan dan kekeringan politik sekaligus.

Maraknya kampanye negatif, kampanye hitam, hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai anasir politik identitas yang turut menghiasi saat kampanye, jelas berdampak pada kegaduhan politik. Terakhir, kabar bohong (hoaks) tentang tujuh kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos mencuat ke permukaan. Kampanye tidak mengarah ke diskusi programatik, tetapi ke soal penyebaran berita bohong dan sebagainya (SINDOnews, 4 Januari 2019).

Hoaks, gerakan kampanye hitam, dan negatif, seakan berjalan linear dengan proses politik Indonesia. Demokrasi akhirnya dipraktikkan tidak saja secara keliru, tetapi juga salah. Bahwa politik elektoral menuntut setiap orang bebas mengungkapkan keinginannya harus diterima. Masalahnya, demokrasi dibatasi oleh apa yang disebut norma demokrasi. Mengapa hal itu terjadi?

Para ahli sudah sering menjelaskan model perilaku politik demikian. Beberapa di antaranya menyebut jika Indonesia masih masa transisi demokrasi. Karena itu, kita memang sedang tertatih-tatih mempraktikkan politik bermartabat. Hal lain mengatakan bahwa laju gerak politik demikian memang merupakan dampak dari liberalisasi politik. Namun, yang lain lagi menyebut dengan agak satire bahwa model politik seperti itu menunjukkan bahwa kita sedang merayakan infantilisme politik. Sebuah perilaku politik yang terlampau kekanak-kanakan.

Problemnya, elite politik negara ini jarang memikirkan nasib bangsa. Elite tidak pernah memikirkan bangsa ketika berkontestasi dalam ruang politik kenegaraan. Karena itulah, kebangsaan perlu disebut ulang. Kebangsaan perlu diperiksa kembali. Kebangsaan disebut karena dua alasan pokok. Pertama, sebagai sebuah negara yang menganut paham demokrasi, setiap orang atau kelompok berhak mengeluarkan pendapatnya secara bebas tanpa tekanan. Kedua, pada soal lain, kesadaran kita sebagai sebuah bangsa harus pula mengikuti logika nilai-nilai dasar pendiri bangsa ini.

Kultivasi Politik

Perilaku elite politik nasional harus digugat dan laik diperiksa. Sebab semua perilaku buruk elite yang ditunjukkan di ruang sosial, cepat atau lambat akan diikuti massa pendukungnya. Menurut perspektif teori kultivasi, banyak tayangan di televisi akan berpengaruh pada perilaku penonton (Hammermeister et.al, 2005).

Dalam alur logika demikian, perilaku politik yang ditampilkan dan disaksikan pemirsa akan segera dipraktikkan pada tindakan nyata secara empiris (Purwanto, 2018). Artinya, setiap perilaku politik elite akan dipraktikkkan dengan jelas dan konsisten oleh massa pengikut di belakangnya. Bibit gaduh yang ditanamkan elite politik berdampak pada munculnya perilaku gaduh massa secara sosial.

Kampanye gaduh yang demikian masif dipraktikkan di ruang politik mencerminkan bahwa politik memang sangat pragmatis bagi sebagian elite politik. Bagi kelompok ini, sejauh kerinduan dan kehausan kekuasaan dapat tercapai, semua perangkat aturan dan norma laik disingkirkan.

Dalam The Priority Of Democracy: Political Consequences Of Pragmatism, Knight dan Johnson (2011) mengatakan, pragmatisme menyebabkan demokrasi dipraktikkan dengan sangat kasar. Politik kemudian dipandang sebagai arena perjuangan memenuhi ambisi pribadi belaka. Di level itu, mudah dimengerti jika banyak orang meragukan praktik demokrasi otentik. Sebab dasarnya, demokrasi dan politik tidak pernah dipraktikkan dengan sungguh dan jauh dari aspek kredibilitas.

Meminjam Dewey, Knight dan Johnson mengatakan, pragmatisme menyebabkan demokrasi dipraktikkan dengan sangat brutal. Nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi sulit dipraktikkan terutama karena politik memang dibuat tidak untuk melayani kepentingan rakyat banyak, tetapi memenuhi hasrat berkuasa dari elite politik.

Implikasinya, kejujuran politik sungguh diabaikan di sana. Kejujuran politik adalah ruang di mana politik dipraktikkan tidak dengan cara-cara bar-bar. Kejujuran politik adalah usaha membangun keutamaan politik berbasis data dan nilai. Di sana, hipokriditas sedapat mungkin diminimalisasikan bahkan sampai di level nihil manipulasi.

Kejujuran politik diperlukan terutama untuk menghindari kehampaan politik. Politik identitas jelas berisi kehampaan politik itu (Laclau, 1994). Masuknya embel-embel politik identitas yang dikotomis, primordial, dan manipulatif, justru berdampak pada politik yang kehilangan esensi. Esensi politik menjadi entitas "tak hadir" untuk sebuah realitas nyata. Itulah kehampaan politik.

Kampanye Teduh
Kampanye negatif, kampanye hitam, hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai anasir politik identitas, merupakan bentuk praksis dari berdemokrasi tanpa nilai. Kita nyaris tidak pernah mengikuti aturan dan regulasi politik yang disepakati bersama. Fakta hipokriditas dan kehampaan politik mesti dicari jalan keluarnya. Realitas seperti itu baru dapat diminimalisasikan dengan sebuah gerakan universalisme esensialis. Universalisme esensialis adalah gerakan ke arah politik teduh dan kampanye damai yang berpayung pada regulasi dan nilai-nilai etika serta moral.

Di situ, kampanye teduh mesti dilakukan. Politik sejuk wajib dipraktikkan. Kampanye teduh dan politik sejuk adalah saat semua pihak berpikir keras dan bertindak tegas menurut satuan etika yang dibangun oleh pendiri bangsa ini. Politik sejuk adalah upaya elite politik menciptakan suasana damai dan tenang di ruang sosial kemasyarakatan. Karena politik lahir dari rahim rezim politik tertentu, sistem dan ketentuan yang disepakati bersama benar-benar mesti dilaksanakan konsisten di level empirik. Di sana lembaga politik mesti memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat.

Elite politik wajib memberikan pernyataan sejuk dan mempraktikkan politik santun. Masyarakat, polisi, dan aparat keamanan lainnya, niscaya mendukung semua usaha sejuk elite politik. Semua proses politik dan demokrasi harus berjalan dalam bingkai etika serta nilai kebangsaan. Ongkos sosial kemahalan pilpres sejatinya dipikirkan bersama. Ongkos sosial pilpres tidak hanya dialami satu dua orang. Fragilitas (keterpecahan) bangsa menjadi taruhan utamanya.

Persatuan bangsa harus menjadi nilai bersama. Kampanye negatif, kampanye hitam, hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai anasir politik identitas, harus dibuang jauh. Ingat, politik tidak hanya berurusan dengan pilpres. Politik juga berkaitan dengan pemilihan wakil rakyat. Lebih dari itu, politik berhubungan dengan pengambilan kebijakan politik untuk kesejahteraan bersama.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6336 seconds (0.1#10.140)