Lewat Maklumat, KAMI Beberkan Segudang Masalah Bangsa
loading...
A
A
A
DPR, DPD, dan Presiden dalam pembentukan hukum terlihat karut marut, dan melenceng dari cita-cita hukum nasional. Penyelenggara negara harus memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang sangat menekankan nilai-nilai transendental (ketuhanan), kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Hukum tidak patut mengabdi kepada kepentingan politik kelompok atau golongan sebagai wujud nyata tegaknya prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintah (equality before the law). Peraturan yang dibuat harus berorientasi dan berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir kelompok yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Peraturan yang dibuat tidak boleh melegitimasi munculnya benih benih otoritarianisme, melanggengkan ketimpangan ekonomi dan status sosial, melanggar hak asasi manusia, dan mensponsori perusakan lingkungan. Sebagai contoh RUU HIP, dan RUU BPIP yang jelas-jelas tidak hanya bertetangan dengan Pancasila, bahkan mau mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila yang membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme.
Hal ini jelas membuktikan sebagai tindakan makar terhadap Pancasila. Hadirnya perubahan UU KPK No 30/2002, jo UU No 19/2019, justru melemahkan dan berpotensi melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula Perppu No1/2020 yang sudah diundangkan menjadi UU No 2/2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara, untuk Penanganan Pandemi Covid-19, telah memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah, menimbulkan moral hazard, dan telah mereduksi serta mengamputasi kewenangan beberapa lembaga tinggi negara, khususnya DPR dan BPK.
Sesungguhnya, sejak UU tersebut diputuskan, Indonesia telah mempraktikkan dan
menjadi negara kekuasaan (machtsstaat), karena segala hal pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah tidak dapat diperiksa dan diminta pertangungjawaban di muka hukum, dan Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Dari presiden ke presiden, penegakan hukum adalah soal krusial yang tidak dilaksanakan secara baik. Itulah sebabnya KAMI mendesak agar Presiden bersungguh-sungguh dalam melakukan penegakan hukum dengan cara memilih pejabat-pejabat hukum yang dapat dipercaya, tidak terlibat mafia hukum, berani membersihkan institusi hukum dari praktik-praktik kotor seperti suap dan pungli. Pada gilirannya pejabat dan institusi hukum dimaksud dapat diandalkan dalam melakukan penegakan hukum yang lurus, tegas, tidak pandang bulu, dan
tidak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sebagai contoh perlu penuntasan kasus perampokan uang negera melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Century, kasus korupsi Jiwasraya, dan proyek kartu prakerja. Juga perlu perhatian khusus terhadap tindakan menyimpang, berupa proteksi pelaku tindak pidana korupsi oleh para penegak hukum, seperti dalam kasus Djoko Tjandra, Harun Masiku dan lain-lain. Pemeritah juga tidak mampu menuntuntaskan, mengungkap, dan membongkar aktor intelektual dalam kasus penganiayaan berat Novel Baswedan.
Sebaliknya telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama, aktivis dan tokoh demokrasi yang berseberangan dengan kekuasaan. Pemerintah juga telah gagal memajukan dan melindungi HAM bagi semua warga negara dengan indikator tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lampau yang dapat diselesaikan; meningkatnya pengaduan masyarakat ke Komnas HAM terhadap hilangnya hak atas kesejahteraan dan keadilan; meningkatnya laporan konflik sosial dan sengketa lahan.
SUMBER DAYA ALAM
Pendayagunaaan sumber daya alam dan energi Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip penguasaan negara guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui UU No 3/2020, konspirasi oligarki bersama investor asing, hingga 30 tahun ke depan telah menguasai SDA minerba yang bernilai sekitar Rp10.000 triliun. Setelah itu, anak cucu kita hanya akan mewarisi sisa tambang yang tidak bernilai lagi.
Hukum tidak patut mengabdi kepada kepentingan politik kelompok atau golongan sebagai wujud nyata tegaknya prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintah (equality before the law). Peraturan yang dibuat harus berorientasi dan berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir kelompok yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Peraturan yang dibuat tidak boleh melegitimasi munculnya benih benih otoritarianisme, melanggengkan ketimpangan ekonomi dan status sosial, melanggar hak asasi manusia, dan mensponsori perusakan lingkungan. Sebagai contoh RUU HIP, dan RUU BPIP yang jelas-jelas tidak hanya bertetangan dengan Pancasila, bahkan mau mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila yang membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme.
Hal ini jelas membuktikan sebagai tindakan makar terhadap Pancasila. Hadirnya perubahan UU KPK No 30/2002, jo UU No 19/2019, justru melemahkan dan berpotensi melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula Perppu No1/2020 yang sudah diundangkan menjadi UU No 2/2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara, untuk Penanganan Pandemi Covid-19, telah memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah, menimbulkan moral hazard, dan telah mereduksi serta mengamputasi kewenangan beberapa lembaga tinggi negara, khususnya DPR dan BPK.
Sesungguhnya, sejak UU tersebut diputuskan, Indonesia telah mempraktikkan dan
menjadi negara kekuasaan (machtsstaat), karena segala hal pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah tidak dapat diperiksa dan diminta pertangungjawaban di muka hukum, dan Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Dari presiden ke presiden, penegakan hukum adalah soal krusial yang tidak dilaksanakan secara baik. Itulah sebabnya KAMI mendesak agar Presiden bersungguh-sungguh dalam melakukan penegakan hukum dengan cara memilih pejabat-pejabat hukum yang dapat dipercaya, tidak terlibat mafia hukum, berani membersihkan institusi hukum dari praktik-praktik kotor seperti suap dan pungli. Pada gilirannya pejabat dan institusi hukum dimaksud dapat diandalkan dalam melakukan penegakan hukum yang lurus, tegas, tidak pandang bulu, dan
tidak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sebagai contoh perlu penuntasan kasus perampokan uang negera melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Century, kasus korupsi Jiwasraya, dan proyek kartu prakerja. Juga perlu perhatian khusus terhadap tindakan menyimpang, berupa proteksi pelaku tindak pidana korupsi oleh para penegak hukum, seperti dalam kasus Djoko Tjandra, Harun Masiku dan lain-lain. Pemeritah juga tidak mampu menuntuntaskan, mengungkap, dan membongkar aktor intelektual dalam kasus penganiayaan berat Novel Baswedan.
Sebaliknya telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama, aktivis dan tokoh demokrasi yang berseberangan dengan kekuasaan. Pemerintah juga telah gagal memajukan dan melindungi HAM bagi semua warga negara dengan indikator tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lampau yang dapat diselesaikan; meningkatnya pengaduan masyarakat ke Komnas HAM terhadap hilangnya hak atas kesejahteraan dan keadilan; meningkatnya laporan konflik sosial dan sengketa lahan.
SUMBER DAYA ALAM
Pendayagunaaan sumber daya alam dan energi Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip penguasaan negara guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui UU No 3/2020, konspirasi oligarki bersama investor asing, hingga 30 tahun ke depan telah menguasai SDA minerba yang bernilai sekitar Rp10.000 triliun. Setelah itu, anak cucu kita hanya akan mewarisi sisa tambang yang tidak bernilai lagi.