Lewat Maklumat, KAMI Beberkan Segudang Masalah Bangsa
loading...
A
A
A
Menghadapi resesi ekonomi yang tengah berlangsung, dan potensial melahirkan depresi ekonomi, Pemerintah terlihat tidak siap dengan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Dalam keadaan demikian, seyogyanya pemerintah sebagai pemangku amanat kekuasaan pemerintahan, lebih mengutamakan keselamatan rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi bahwa Pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan Pemerintah, resesi dan depresi ekonomiakan meruntuhkan negara dan membawa kapal Indonesia karam. Oleh karena itu perlu penyelematan.
POLITIK
Pembangunan politik telah menyimpang dari Sila Keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Politik Indonesia saat ini dalam kondisi yang karut-marut dan semakin sulit diurai, antara lain mengkristalnya sikap saling tidak percaya. Ia ditimbuni oleh praktik-praktik kekuasaan yang semakin menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila, agama, etika dan moral.
Kebijakan penyelenggara negara (di berbagai bidang) tidak berkhikmat bagi kepentingan rakyat, tetapi lebih condong pada kepentingan elite politik dan oligarki ekonomi. Seperti lahirnya Perppu No 1/2020 yang kemudian menjadi UU no 2/2020 merupakan bukti nyata dari kediktatoran karena mengeliminasi fungsi DPR dan BPK, mengamputasi lembaga yudikatif (meruntuhkan negara
hukum), dan DPR mengkhianati amanat rakyat dengan tindakan bunuh diri.
Partai-partai politik dan lembaga perwakilan rakyat lebih hadir dan berperan sebagai sekutu rezim penguasa dan pengusaha, melakukan “persengkongkolan jahat”, melakukan kejahatan terhadap rakyat, bangsa dan negara. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan adanya UU yang melemahkan KPK, UU Minerba yang menguntungkan segelintir pengusaha, dan RUU Omnibus Law (Cipta Tenaga Kerja) yang merugikan kaum buruh, petani dan nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi.
UU tersebut memangkas kewenangan pemerintah daerah, merusak lingkungan hidup dengan meniadakan amdal, dan menggadaikan tanah dan air Indonesia kepada korporasi dan asing.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional,kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasilauntuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan
agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Demokrasi Indonesia selama ini juga ditandai oleh praktik politik uang, politik dinasti, dan praktik saling menyandera dan memeras, yang melibatkan pusat kekuasaan negara. Hal ini semua berdampak pada proses pemilihan yang tidak demokratis, serta jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Sebagai akibatnya demokrasi Indonesia terjatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme yang berujung pada Pilpres 2019 yang sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia denganmeninggalnya hampir 700 petugas pemilu.
Demontsrasi usai Pilpres pada bulan Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang,
sembilan di antaranya meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 di antaranya anak-anak dan informasi orang hilang sebanyak 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019).
POLITIK
Pembangunan politik telah menyimpang dari Sila Keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Politik Indonesia saat ini dalam kondisi yang karut-marut dan semakin sulit diurai, antara lain mengkristalnya sikap saling tidak percaya. Ia ditimbuni oleh praktik-praktik kekuasaan yang semakin menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila, agama, etika dan moral.
Kebijakan penyelenggara negara (di berbagai bidang) tidak berkhikmat bagi kepentingan rakyat, tetapi lebih condong pada kepentingan elite politik dan oligarki ekonomi. Seperti lahirnya Perppu No 1/2020 yang kemudian menjadi UU no 2/2020 merupakan bukti nyata dari kediktatoran karena mengeliminasi fungsi DPR dan BPK, mengamputasi lembaga yudikatif (meruntuhkan negara
hukum), dan DPR mengkhianati amanat rakyat dengan tindakan bunuh diri.
Partai-partai politik dan lembaga perwakilan rakyat lebih hadir dan berperan sebagai sekutu rezim penguasa dan pengusaha, melakukan “persengkongkolan jahat”, melakukan kejahatan terhadap rakyat, bangsa dan negara. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan adanya UU yang melemahkan KPK, UU Minerba yang menguntungkan segelintir pengusaha, dan RUU Omnibus Law (Cipta Tenaga Kerja) yang merugikan kaum buruh, petani dan nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi.
UU tersebut memangkas kewenangan pemerintah daerah, merusak lingkungan hidup dengan meniadakan amdal, dan menggadaikan tanah dan air Indonesia kepada korporasi dan asing.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional,kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasilauntuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan
agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Demokrasi Indonesia selama ini juga ditandai oleh praktik politik uang, politik dinasti, dan praktik saling menyandera dan memeras, yang melibatkan pusat kekuasaan negara. Hal ini semua berdampak pada proses pemilihan yang tidak demokratis, serta jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Sebagai akibatnya demokrasi Indonesia terjatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme yang berujung pada Pilpres 2019 yang sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia denganmeninggalnya hampir 700 petugas pemilu.
Demontsrasi usai Pilpres pada bulan Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang,
sembilan di antaranya meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 di antaranya anak-anak dan informasi orang hilang sebanyak 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019).