Lewat Maklumat, KAMI Beberkan Segudang Masalah Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mengggelar deklarasi di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020).
Deklarasi didahului dengan menyayikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks Proklamasi, dan pembacaan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam acara tersebut juga dibacakan maklumat dari KAMI yang berisi keprihatinan mulai dari ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta sumber daya alam.( )
Maklumat tersebut dibacakan antara lain oleh Marfuah Mustofa, Raja Samu-samu, Hafid Abbas, Ichsanuddin Noorsy, Lieus Sungkharisma, dan Nurhayati Assegaf. Lalu Chusnul Mariyah, Jumhur Hidayat, Budi Jatmiko, Jeje JaenuddinAdhie M Massardi, Dian Fatwa, Marwan Batubara dan Nanang Mubarok.
"Ada berbagai macam pokok pikiran yang kami kemukakan sebagaimana tadi telah dibacakan secara bergiliran bahwa kami menilai saat ini bangsa kita dalam kondisi problem yang begitu banyak," ujar Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020).( )
Ahmad Yani menjelaskan bahwa pembacaan maklumat tersebut hanya untuk menyampaikan pikiran, pandangan, penilaian KAMI terhadap situasi dan kondisi saat ini.
"Sebagai partisipasi kami sebagai warga negara yang melihat biduk perahu kapal Indonesia ini akan tenggelam. Oleh karena itu kami berusaha semua untuk menyelamatkan agar kapal Indonesia ini tidak tenggelam," jelasnya.
"Oleh karena itu kami meminta betul kepada aparat, pemerintah, untuk merespon hal-hal yang kami kemukakan tadi," tambahnya.
MAKLUMAT MENYELAMATKAN INDONESIA
Dengan Nama Tuhan Yang Maha Esa, Bahwa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bahwa penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, sebagai dasar, arah dan tujuan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945.
Mengamati perjalanan kehidupan bangsa dan negara dari pemerintahan ke pemerintahan harus diakui telah terjadi perkembangan dan kemajuan. Namun perkembangan terakhir menunjukkan adanya deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional.
Mencermati secara seksama kenyataan kehidupan bangsa dewasa ini, dan memperhatikan, penyelenggaraan dan tata kelola negara, khususnya pada Era Pandemi Covid-19, kami yang terdiri dari berbagai elemen dan komponen bangsa, yang bergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
(KAMI) memprihatinkan hal-hal sebagai berikut:
EKONOMI
Pembangunan ekonomi nasional telah gagal membebaskan bangsa dariketergantungan pada utang luar negeri, investasi asing, dan produk impor, serta telah gagal pula menciptakan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh makin besarnya utang luar negeri, membanjirnya produk impor, dan terjadinya kontraksinya ekonomi (minus 5,32%) yang tentu membawa dampak buruk bagi melemahnya daya beli rakyat, menurunnya ketersediaan bahan pangan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, diiringi oleh timpangnya struktur kepemilikan rakyat secara proporsional terhadap sumber daya ekonomi, produksi dan distribusi.
Sebelum Covid-19, jumlah penduduk miskin dan rentan miskin tidak kurang dari 100 juta jiwa. Rakyat yang menderita lapar kronis mencapai 22 juta jiwa. Dengan kontraksi ekonomi akibat Covid-19, jumlah dan tingkat penderitaan rakyat miskin serta mereka yang mengalami kelaparan meningkat tajam.
Kegagalan ini sesungguhnya telah terjadi sebelum pandemi Covid-19, dengan tingginya utang pemerintah, termasuk utang BUMN yang juga diperas untuk melangengkan kekuasaan, membengkaknya defisit anggaran, defisit perdagangan dan devisit neraca berjalan. Investasi korporasi domestik dan asing, seringkali menjadi alat untuk invasi ekonomi politik, intervensi, infiltrasi, dan intimidasi. Kondisi ini semakin memburuk akibat adanya Pandemi Covid-19 dan ketakmampuan Pemerintah menanggulangi dampak ekonominya. Pengelolaan keuangan/anggaran negara yang buruk juga dibuktikan oleh ambisi membangun proyek-proyek mercusuar (infrastruktur dan Ibu Kota Baru) sementara anggaran penanggulangan krisis diambil dari dana-dana yang merupakan hak/milik rakyat.
Pembangunan ekonomi selama ini tidak berpihak kepada rakyat kecil. Tingkat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Indonesia menjadi negara nomor empat paling timpang, yang ditandai keberadaan segelintir orang super kaya, menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Satu persen penduduk terkaya menguasai separuh kekayaan negara dan empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk miskin. Dengan dalih menanggulangi Pandemi Covid-19, Pemerintah justru mengucurkan dana untuk membantu korporasi besar dan BUMN yang sudah merugi sebelum Covid-19 terjadi.
Orientasi pembangunan ekonomi yang mengandalkan utang baik luar negeri maupun dalam negeri, serta kecanduan impor (yang dikuasai oleh para mafia), telah membuat beban rakyat semakin bertambah, termasuk generasi mendatang yang sejak lahir telah turut serta menanggung utang yang besar.
Kecanduan impor telah menghancurkan kedaulatan pangan dan kemandirian industri nasional, yang tercermin dari makin merosotnya sumbangan sektor industri manufaktur pada produk domestik bruto.
Menghadapi resesi ekonomi yang tengah berlangsung, dan potensial melahirkan depresi ekonomi, Pemerintah terlihat tidak siap dengan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Dalam keadaan demikian, seyogyanya pemerintah sebagai pemangku amanat kekuasaan pemerintahan, lebih mengutamakan keselamatan rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi bahwa Pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan Pemerintah, resesi dan depresi ekonomiakan meruntuhkan negara dan membawa kapal Indonesia karam. Oleh karena itu perlu penyelematan.
POLITIK
Pembangunan politik telah menyimpang dari Sila Keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Politik Indonesia saat ini dalam kondisi yang karut-marut dan semakin sulit diurai, antara lain mengkristalnya sikap saling tidak percaya. Ia ditimbuni oleh praktik-praktik kekuasaan yang semakin menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila, agama, etika dan moral.
Kebijakan penyelenggara negara (di berbagai bidang) tidak berkhikmat bagi kepentingan rakyat, tetapi lebih condong pada kepentingan elite politik dan oligarki ekonomi. Seperti lahirnya Perppu No 1/2020 yang kemudian menjadi UU no 2/2020 merupakan bukti nyata dari kediktatoran karena mengeliminasi fungsi DPR dan BPK, mengamputasi lembaga yudikatif (meruntuhkan negara
hukum), dan DPR mengkhianati amanat rakyat dengan tindakan bunuh diri.
Partai-partai politik dan lembaga perwakilan rakyat lebih hadir dan berperan sebagai sekutu rezim penguasa dan pengusaha, melakukan “persengkongkolan jahat”, melakukan kejahatan terhadap rakyat, bangsa dan negara. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan adanya UU yang melemahkan KPK, UU Minerba yang menguntungkan segelintir pengusaha, dan RUU Omnibus Law (Cipta Tenaga Kerja) yang merugikan kaum buruh, petani dan nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi.
UU tersebut memangkas kewenangan pemerintah daerah, merusak lingkungan hidup dengan meniadakan amdal, dan menggadaikan tanah dan air Indonesia kepada korporasi dan asing.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional,kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasilauntuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan
agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Demokrasi Indonesia selama ini juga ditandai oleh praktik politik uang, politik dinasti, dan praktik saling menyandera dan memeras, yang melibatkan pusat kekuasaan negara. Hal ini semua berdampak pada proses pemilihan yang tidak demokratis, serta jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Sebagai akibatnya demokrasi Indonesia terjatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme yang berujung pada Pilpres 2019 yang sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia denganmeninggalnya hampir 700 petugas pemilu.
Demontsrasi usai Pilpres pada bulan Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang,
sembilan di antaranya meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 di antaranya anak-anak dan informasi orang hilang sebanyak 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019).
Pada tingkat global, demokrasi Indonesia saat ini anjlok 16 peringkat dibanding tahun 2016 dan mendapat predikat sebagai negara dengan demokrasi cacat berkinerja paling buruk. Terancamnya kebebasan sipil dan lemahnya keberfungsian lembaga-lembaga demokrasi menjadi faktor paling menentukan
dalam kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia.
Selain itu, Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status negara “bebas” (free) menjadi “bebas sebagian” (partly free), tertinggal dibandingkan beberapa negara di kawasan Asia, termasuk di bawah Timor Leste.
SOSIAL BUDAYA
Dalam bidang sosial budaya kehidupan nasional tidak cukup menggembirakan. Mutu pendidikan yang sangat buruk dan tidak memiliki rencana strategi jangka panjang. Terbukti tidak memiliki prestasi yang membanggakan. Hal ini ditandai antara lain, pertumbuhan indeks pembangunan manusia/IPM yang lamban (urutan 111 pada tahun 2019, masa lama belajar rata-rata baru kelas 2 SMP, global competitiveness index masih berada di urutan 50, di bawah beberapa negara ASEAN).
Dapat dipastikan mutu pendidikan nasional mengalami penurunan pada masa Pandemi Covid-19 yang meniscayakan siswa/mahasiswa harus belajar melalui pendidikan jarak jauh/PJJ (belajar daring dan luring). Hal demikian disebabkan negara abai menyiapkan infrastruktur dan piranti keras seperti jaringan internet, alat komunikasi yang memadai, dan materi belajar yang sesuai dan penyediaan pulsa gratis (sebagai contoh, pelajar yang dapat mengakses internet hanya 5% di NTT dan 9% di Kalimantan).
Kenyataan ini telah menimbulkan hilangnya potensi peserta didik yang dapat
membawa hilangnya generasi bangsa, ditambah Kemendikbud sebagai penentu kebijakan sekaligus pelaksana uji kompetensi kesehatan, justeru melanggar UU tentang Pendidikan Tinggi No2/2012 yang di dalamnya mengamanatkan kepada
perguruan tinggi bersama organisasi profesi, sehingga hampir 350 ribu lulusan perguruan tinggi kesehatan terlantar karena proses yang tidak akuntabel.
Walaupun anggaran pendidikan telah ditetapkan minimal 20% dari APBN dan APBD, Pemerintah tidak mampu merealisasikannya. Sebagai akibatnya, akses pendidikan
bermutu tidak dicapai secara merata dan masif di seluruh daerah. Pada masa pandemi Covid-19 ini, umumnya mahasiswa kesulitan membayar uang kuliah, sementara Pemerintah sangat minim memberikan bantuan kepada para mahasiswa dan perguruan tinggi swasta.
Pada sisi sosial budaya kemasyarakatan, kehidupan bangsa menghadapi tantangan besar, yaitu terjadinya keterbelahan masyarakat, terutama karena praktik politik belah bambu (devide et impera). Demi kepentingan politik, penguasa cenderung mengadu domba antar kelompok masyarakat dengan mempertajam isu primordial/sektarian, melakukan diskriminasi dan provokasi atas dasar SARA, menggunakan buzzer bayaran untuk menghancurkan lawan politik, yang kesemuanya memperparah kohesi dan solidaritas sosial, serta mengancam persatuan Indonesia.
Budaya luar yang terus mengancam anak muda indonesia melalui media sosial, melalui investasi yang tidak terkendali. Pemerintah tidak mampu mengelola kehidupan sosial yang baik pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan sosial budaya, terjadi degradasi moral, dan luntur nya persatuan, hidup berdampingan kebersamaan dan gotong royong.
HUKUM DAN HAM
DPR, DPD, dan Presiden dalam pembentukan hukum terlihat karut marut, dan melenceng dari cita-cita hukum nasional. Penyelenggara negara harus memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang sangat menekankan nilai-nilai transendental (ketuhanan), kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Hukum tidak patut mengabdi kepada kepentingan politik kelompok atau golongan sebagai wujud nyata tegaknya prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintah (equality before the law). Peraturan yang dibuat harus berorientasi dan berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir kelompok yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Peraturan yang dibuat tidak boleh melegitimasi munculnya benih benih otoritarianisme, melanggengkan ketimpangan ekonomi dan status sosial, melanggar hak asasi manusia, dan mensponsori perusakan lingkungan. Sebagai contoh RUU HIP, dan RUU BPIP yang jelas-jelas tidak hanya bertetangan dengan Pancasila, bahkan mau mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila yang membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme.
Hal ini jelas membuktikan sebagai tindakan makar terhadap Pancasila. Hadirnya perubahan UU KPK No 30/2002, jo UU No 19/2019, justru melemahkan dan berpotensi melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula Perppu No1/2020 yang sudah diundangkan menjadi UU No 2/2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara, untuk Penanganan Pandemi Covid-19, telah memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah, menimbulkan moral hazard, dan telah mereduksi serta mengamputasi kewenangan beberapa lembaga tinggi negara, khususnya DPR dan BPK.
Sesungguhnya, sejak UU tersebut diputuskan, Indonesia telah mempraktikkan dan
menjadi negara kekuasaan (machtsstaat), karena segala hal pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah tidak dapat diperiksa dan diminta pertangungjawaban di muka hukum, dan Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Dari presiden ke presiden, penegakan hukum adalah soal krusial yang tidak dilaksanakan secara baik. Itulah sebabnya KAMI mendesak agar Presiden bersungguh-sungguh dalam melakukan penegakan hukum dengan cara memilih pejabat-pejabat hukum yang dapat dipercaya, tidak terlibat mafia hukum, berani membersihkan institusi hukum dari praktik-praktik kotor seperti suap dan pungli. Pada gilirannya pejabat dan institusi hukum dimaksud dapat diandalkan dalam melakukan penegakan hukum yang lurus, tegas, tidak pandang bulu, dan
tidak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sebagai contoh perlu penuntasan kasus perampokan uang negera melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Century, kasus korupsi Jiwasraya, dan proyek kartu prakerja. Juga perlu perhatian khusus terhadap tindakan menyimpang, berupa proteksi pelaku tindak pidana korupsi oleh para penegak hukum, seperti dalam kasus Djoko Tjandra, Harun Masiku dan lain-lain. Pemeritah juga tidak mampu menuntuntaskan, mengungkap, dan membongkar aktor intelektual dalam kasus penganiayaan berat Novel Baswedan.
Sebaliknya telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama, aktivis dan tokoh demokrasi yang berseberangan dengan kekuasaan. Pemerintah juga telah gagal memajukan dan melindungi HAM bagi semua warga negara dengan indikator tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lampau yang dapat diselesaikan; meningkatnya pengaduan masyarakat ke Komnas HAM terhadap hilangnya hak atas kesejahteraan dan keadilan; meningkatnya laporan konflik sosial dan sengketa lahan.
SUMBER DAYA ALAM
Pendayagunaaan sumber daya alam dan energi Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip penguasaan negara guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui UU No 3/2020, konspirasi oligarki bersama investor asing, hingga 30 tahun ke depan telah menguasai SDA minerba yang bernilai sekitar Rp10.000 triliun. Setelah itu, anak cucu kita hanya akan mewarisi sisa tambang yang tidak bernilai lagi.
Akuisisi saham Freeport sebesar USD3,85 miliar yang diklaim sebagai sukses besar pemerintah, sesungguhnya hanyalah akal-akalan saja. Diduga Indonesia membeli saham lebih mahal sekitar USD1 miliar. Dan meskipun Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas (51%), kenyataannya Freepor yang menjadi pengendali/operatornya.
Padahal dengan menunggu kontrak berakhir 2021, Indonesia dapat sepenuhnya menguasai Freeport. Demikian halnya puluhan kontrak dan izin tambang nikel, termasuk izin smelter, yang diterbitkan kepada swasta dan asing, di Sulawesi, merupakan isu yang lebih parah dari sekedar kedatangan TKA Cina, karena sepenuhnya dari hulu ke hilir puluhan tahun ke depan, seluruh kekayaan
tambang di wilayah itu, telah dikuasai para konglomerat dan asing Cina, tanpa partisipasi BUMN/BUMD.
Sementara BUMN sektor energi, Pertamina dan PLN mengalami intervensi semena-mena yang melanggar aturan guna kepentingan Pilpres 2019. Akibatnya, hingga akhir 2019, Pertamina dan PLN, masing-masing harus menanggung bebansubsidi sekitar Rp 95 triliun dan Rp 58 triliun.
Kedua BUMN itu berpotensi gagal bayar, sehingga mengancam kelangsungan pelayanan BBM dan listrik kepada rakyat. Oleh sebab itulah di tengah harga minyak dunia yang merosot tajam, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak turun, dan tarif dasar listrik (TDL) melonjak naik, mencekik leher rakyat.
Deklarasi didahului dengan menyayikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks Proklamasi, dan pembacaan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam acara tersebut juga dibacakan maklumat dari KAMI yang berisi keprihatinan mulai dari ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta sumber daya alam.( )
Maklumat tersebut dibacakan antara lain oleh Marfuah Mustofa, Raja Samu-samu, Hafid Abbas, Ichsanuddin Noorsy, Lieus Sungkharisma, dan Nurhayati Assegaf. Lalu Chusnul Mariyah, Jumhur Hidayat, Budi Jatmiko, Jeje JaenuddinAdhie M Massardi, Dian Fatwa, Marwan Batubara dan Nanang Mubarok.
"Ada berbagai macam pokok pikiran yang kami kemukakan sebagaimana tadi telah dibacakan secara bergiliran bahwa kami menilai saat ini bangsa kita dalam kondisi problem yang begitu banyak," ujar Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020).( )
Ahmad Yani menjelaskan bahwa pembacaan maklumat tersebut hanya untuk menyampaikan pikiran, pandangan, penilaian KAMI terhadap situasi dan kondisi saat ini.
"Sebagai partisipasi kami sebagai warga negara yang melihat biduk perahu kapal Indonesia ini akan tenggelam. Oleh karena itu kami berusaha semua untuk menyelamatkan agar kapal Indonesia ini tidak tenggelam," jelasnya.
"Oleh karena itu kami meminta betul kepada aparat, pemerintah, untuk merespon hal-hal yang kami kemukakan tadi," tambahnya.
MAKLUMAT MENYELAMATKAN INDONESIA
Dengan Nama Tuhan Yang Maha Esa, Bahwa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bahwa penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, sebagai dasar, arah dan tujuan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945.
Mengamati perjalanan kehidupan bangsa dan negara dari pemerintahan ke pemerintahan harus diakui telah terjadi perkembangan dan kemajuan. Namun perkembangan terakhir menunjukkan adanya deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional.
Mencermati secara seksama kenyataan kehidupan bangsa dewasa ini, dan memperhatikan, penyelenggaraan dan tata kelola negara, khususnya pada Era Pandemi Covid-19, kami yang terdiri dari berbagai elemen dan komponen bangsa, yang bergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
(KAMI) memprihatinkan hal-hal sebagai berikut:
EKONOMI
Pembangunan ekonomi nasional telah gagal membebaskan bangsa dariketergantungan pada utang luar negeri, investasi asing, dan produk impor, serta telah gagal pula menciptakan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh makin besarnya utang luar negeri, membanjirnya produk impor, dan terjadinya kontraksinya ekonomi (minus 5,32%) yang tentu membawa dampak buruk bagi melemahnya daya beli rakyat, menurunnya ketersediaan bahan pangan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, diiringi oleh timpangnya struktur kepemilikan rakyat secara proporsional terhadap sumber daya ekonomi, produksi dan distribusi.
Sebelum Covid-19, jumlah penduduk miskin dan rentan miskin tidak kurang dari 100 juta jiwa. Rakyat yang menderita lapar kronis mencapai 22 juta jiwa. Dengan kontraksi ekonomi akibat Covid-19, jumlah dan tingkat penderitaan rakyat miskin serta mereka yang mengalami kelaparan meningkat tajam.
Kegagalan ini sesungguhnya telah terjadi sebelum pandemi Covid-19, dengan tingginya utang pemerintah, termasuk utang BUMN yang juga diperas untuk melangengkan kekuasaan, membengkaknya defisit anggaran, defisit perdagangan dan devisit neraca berjalan. Investasi korporasi domestik dan asing, seringkali menjadi alat untuk invasi ekonomi politik, intervensi, infiltrasi, dan intimidasi. Kondisi ini semakin memburuk akibat adanya Pandemi Covid-19 dan ketakmampuan Pemerintah menanggulangi dampak ekonominya. Pengelolaan keuangan/anggaran negara yang buruk juga dibuktikan oleh ambisi membangun proyek-proyek mercusuar (infrastruktur dan Ibu Kota Baru) sementara anggaran penanggulangan krisis diambil dari dana-dana yang merupakan hak/milik rakyat.
Pembangunan ekonomi selama ini tidak berpihak kepada rakyat kecil. Tingkat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Indonesia menjadi negara nomor empat paling timpang, yang ditandai keberadaan segelintir orang super kaya, menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Satu persen penduduk terkaya menguasai separuh kekayaan negara dan empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk miskin. Dengan dalih menanggulangi Pandemi Covid-19, Pemerintah justru mengucurkan dana untuk membantu korporasi besar dan BUMN yang sudah merugi sebelum Covid-19 terjadi.
Orientasi pembangunan ekonomi yang mengandalkan utang baik luar negeri maupun dalam negeri, serta kecanduan impor (yang dikuasai oleh para mafia), telah membuat beban rakyat semakin bertambah, termasuk generasi mendatang yang sejak lahir telah turut serta menanggung utang yang besar.
Kecanduan impor telah menghancurkan kedaulatan pangan dan kemandirian industri nasional, yang tercermin dari makin merosotnya sumbangan sektor industri manufaktur pada produk domestik bruto.
Menghadapi resesi ekonomi yang tengah berlangsung, dan potensial melahirkan depresi ekonomi, Pemerintah terlihat tidak siap dengan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Dalam keadaan demikian, seyogyanya pemerintah sebagai pemangku amanat kekuasaan pemerintahan, lebih mengutamakan keselamatan rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi bahwa Pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan Pemerintah, resesi dan depresi ekonomiakan meruntuhkan negara dan membawa kapal Indonesia karam. Oleh karena itu perlu penyelematan.
POLITIK
Pembangunan politik telah menyimpang dari Sila Keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Politik Indonesia saat ini dalam kondisi yang karut-marut dan semakin sulit diurai, antara lain mengkristalnya sikap saling tidak percaya. Ia ditimbuni oleh praktik-praktik kekuasaan yang semakin menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila, agama, etika dan moral.
Kebijakan penyelenggara negara (di berbagai bidang) tidak berkhikmat bagi kepentingan rakyat, tetapi lebih condong pada kepentingan elite politik dan oligarki ekonomi. Seperti lahirnya Perppu No 1/2020 yang kemudian menjadi UU no 2/2020 merupakan bukti nyata dari kediktatoran karena mengeliminasi fungsi DPR dan BPK, mengamputasi lembaga yudikatif (meruntuhkan negara
hukum), dan DPR mengkhianati amanat rakyat dengan tindakan bunuh diri.
Partai-partai politik dan lembaga perwakilan rakyat lebih hadir dan berperan sebagai sekutu rezim penguasa dan pengusaha, melakukan “persengkongkolan jahat”, melakukan kejahatan terhadap rakyat, bangsa dan negara. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan adanya UU yang melemahkan KPK, UU Minerba yang menguntungkan segelintir pengusaha, dan RUU Omnibus Law (Cipta Tenaga Kerja) yang merugikan kaum buruh, petani dan nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi.
UU tersebut memangkas kewenangan pemerintah daerah, merusak lingkungan hidup dengan meniadakan amdal, dan menggadaikan tanah dan air Indonesia kepada korporasi dan asing.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional,kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasilauntuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan
agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Demokrasi Indonesia selama ini juga ditandai oleh praktik politik uang, politik dinasti, dan praktik saling menyandera dan memeras, yang melibatkan pusat kekuasaan negara. Hal ini semua berdampak pada proses pemilihan yang tidak demokratis, serta jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Sebagai akibatnya demokrasi Indonesia terjatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme yang berujung pada Pilpres 2019 yang sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia denganmeninggalnya hampir 700 petugas pemilu.
Demontsrasi usai Pilpres pada bulan Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang,
sembilan di antaranya meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 di antaranya anak-anak dan informasi orang hilang sebanyak 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019).
Pada tingkat global, demokrasi Indonesia saat ini anjlok 16 peringkat dibanding tahun 2016 dan mendapat predikat sebagai negara dengan demokrasi cacat berkinerja paling buruk. Terancamnya kebebasan sipil dan lemahnya keberfungsian lembaga-lembaga demokrasi menjadi faktor paling menentukan
dalam kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia.
Selain itu, Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status negara “bebas” (free) menjadi “bebas sebagian” (partly free), tertinggal dibandingkan beberapa negara di kawasan Asia, termasuk di bawah Timor Leste.
SOSIAL BUDAYA
Dalam bidang sosial budaya kehidupan nasional tidak cukup menggembirakan. Mutu pendidikan yang sangat buruk dan tidak memiliki rencana strategi jangka panjang. Terbukti tidak memiliki prestasi yang membanggakan. Hal ini ditandai antara lain, pertumbuhan indeks pembangunan manusia/IPM yang lamban (urutan 111 pada tahun 2019, masa lama belajar rata-rata baru kelas 2 SMP, global competitiveness index masih berada di urutan 50, di bawah beberapa negara ASEAN).
Dapat dipastikan mutu pendidikan nasional mengalami penurunan pada masa Pandemi Covid-19 yang meniscayakan siswa/mahasiswa harus belajar melalui pendidikan jarak jauh/PJJ (belajar daring dan luring). Hal demikian disebabkan negara abai menyiapkan infrastruktur dan piranti keras seperti jaringan internet, alat komunikasi yang memadai, dan materi belajar yang sesuai dan penyediaan pulsa gratis (sebagai contoh, pelajar yang dapat mengakses internet hanya 5% di NTT dan 9% di Kalimantan).
Kenyataan ini telah menimbulkan hilangnya potensi peserta didik yang dapat
membawa hilangnya generasi bangsa, ditambah Kemendikbud sebagai penentu kebijakan sekaligus pelaksana uji kompetensi kesehatan, justeru melanggar UU tentang Pendidikan Tinggi No2/2012 yang di dalamnya mengamanatkan kepada
perguruan tinggi bersama organisasi profesi, sehingga hampir 350 ribu lulusan perguruan tinggi kesehatan terlantar karena proses yang tidak akuntabel.
Walaupun anggaran pendidikan telah ditetapkan minimal 20% dari APBN dan APBD, Pemerintah tidak mampu merealisasikannya. Sebagai akibatnya, akses pendidikan
bermutu tidak dicapai secara merata dan masif di seluruh daerah. Pada masa pandemi Covid-19 ini, umumnya mahasiswa kesulitan membayar uang kuliah, sementara Pemerintah sangat minim memberikan bantuan kepada para mahasiswa dan perguruan tinggi swasta.
Pada sisi sosial budaya kemasyarakatan, kehidupan bangsa menghadapi tantangan besar, yaitu terjadinya keterbelahan masyarakat, terutama karena praktik politik belah bambu (devide et impera). Demi kepentingan politik, penguasa cenderung mengadu domba antar kelompok masyarakat dengan mempertajam isu primordial/sektarian, melakukan diskriminasi dan provokasi atas dasar SARA, menggunakan buzzer bayaran untuk menghancurkan lawan politik, yang kesemuanya memperparah kohesi dan solidaritas sosial, serta mengancam persatuan Indonesia.
Budaya luar yang terus mengancam anak muda indonesia melalui media sosial, melalui investasi yang tidak terkendali. Pemerintah tidak mampu mengelola kehidupan sosial yang baik pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan sosial budaya, terjadi degradasi moral, dan luntur nya persatuan, hidup berdampingan kebersamaan dan gotong royong.
HUKUM DAN HAM
DPR, DPD, dan Presiden dalam pembentukan hukum terlihat karut marut, dan melenceng dari cita-cita hukum nasional. Penyelenggara negara harus memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang sangat menekankan nilai-nilai transendental (ketuhanan), kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Hukum tidak patut mengabdi kepada kepentingan politik kelompok atau golongan sebagai wujud nyata tegaknya prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintah (equality before the law). Peraturan yang dibuat harus berorientasi dan berpihak pada rakyat banyak, bukan pada segelintir kelompok yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Peraturan yang dibuat tidak boleh melegitimasi munculnya benih benih otoritarianisme, melanggengkan ketimpangan ekonomi dan status sosial, melanggar hak asasi manusia, dan mensponsori perusakan lingkungan. Sebagai contoh RUU HIP, dan RUU BPIP yang jelas-jelas tidak hanya bertetangan dengan Pancasila, bahkan mau mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila yang membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme.
Hal ini jelas membuktikan sebagai tindakan makar terhadap Pancasila. Hadirnya perubahan UU KPK No 30/2002, jo UU No 19/2019, justru melemahkan dan berpotensi melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula Perppu No1/2020 yang sudah diundangkan menjadi UU No 2/2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara, untuk Penanganan Pandemi Covid-19, telah memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah, menimbulkan moral hazard, dan telah mereduksi serta mengamputasi kewenangan beberapa lembaga tinggi negara, khususnya DPR dan BPK.
Sesungguhnya, sejak UU tersebut diputuskan, Indonesia telah mempraktikkan dan
menjadi negara kekuasaan (machtsstaat), karena segala hal pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah tidak dapat diperiksa dan diminta pertangungjawaban di muka hukum, dan Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Dari presiden ke presiden, penegakan hukum adalah soal krusial yang tidak dilaksanakan secara baik. Itulah sebabnya KAMI mendesak agar Presiden bersungguh-sungguh dalam melakukan penegakan hukum dengan cara memilih pejabat-pejabat hukum yang dapat dipercaya, tidak terlibat mafia hukum, berani membersihkan institusi hukum dari praktik-praktik kotor seperti suap dan pungli. Pada gilirannya pejabat dan institusi hukum dimaksud dapat diandalkan dalam melakukan penegakan hukum yang lurus, tegas, tidak pandang bulu, dan
tidak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sebagai contoh perlu penuntasan kasus perampokan uang negera melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Century, kasus korupsi Jiwasraya, dan proyek kartu prakerja. Juga perlu perhatian khusus terhadap tindakan menyimpang, berupa proteksi pelaku tindak pidana korupsi oleh para penegak hukum, seperti dalam kasus Djoko Tjandra, Harun Masiku dan lain-lain. Pemeritah juga tidak mampu menuntuntaskan, mengungkap, dan membongkar aktor intelektual dalam kasus penganiayaan berat Novel Baswedan.
Sebaliknya telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama, aktivis dan tokoh demokrasi yang berseberangan dengan kekuasaan. Pemerintah juga telah gagal memajukan dan melindungi HAM bagi semua warga negara dengan indikator tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lampau yang dapat diselesaikan; meningkatnya pengaduan masyarakat ke Komnas HAM terhadap hilangnya hak atas kesejahteraan dan keadilan; meningkatnya laporan konflik sosial dan sengketa lahan.
SUMBER DAYA ALAM
Pendayagunaaan sumber daya alam dan energi Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip penguasaan negara guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui UU No 3/2020, konspirasi oligarki bersama investor asing, hingga 30 tahun ke depan telah menguasai SDA minerba yang bernilai sekitar Rp10.000 triliun. Setelah itu, anak cucu kita hanya akan mewarisi sisa tambang yang tidak bernilai lagi.
Akuisisi saham Freeport sebesar USD3,85 miliar yang diklaim sebagai sukses besar pemerintah, sesungguhnya hanyalah akal-akalan saja. Diduga Indonesia membeli saham lebih mahal sekitar USD1 miliar. Dan meskipun Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas (51%), kenyataannya Freepor yang menjadi pengendali/operatornya.
Padahal dengan menunggu kontrak berakhir 2021, Indonesia dapat sepenuhnya menguasai Freeport. Demikian halnya puluhan kontrak dan izin tambang nikel, termasuk izin smelter, yang diterbitkan kepada swasta dan asing, di Sulawesi, merupakan isu yang lebih parah dari sekedar kedatangan TKA Cina, karena sepenuhnya dari hulu ke hilir puluhan tahun ke depan, seluruh kekayaan
tambang di wilayah itu, telah dikuasai para konglomerat dan asing Cina, tanpa partisipasi BUMN/BUMD.
Sementara BUMN sektor energi, Pertamina dan PLN mengalami intervensi semena-mena yang melanggar aturan guna kepentingan Pilpres 2019. Akibatnya, hingga akhir 2019, Pertamina dan PLN, masing-masing harus menanggung bebansubsidi sekitar Rp 95 triliun dan Rp 58 triliun.
Kedua BUMN itu berpotensi gagal bayar, sehingga mengancam kelangsungan pelayanan BBM dan listrik kepada rakyat. Oleh sebab itulah di tengah harga minyak dunia yang merosot tajam, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak turun, dan tarif dasar listrik (TDL) melonjak naik, mencekik leher rakyat.
(dam)