Denny JA Ajak Semua Pihak Move On setelah Putusan MK, Ini 3 Alasannya
loading...
A
A
A
Alasan kedua, lanjut Denny, kita juga harus move on karena suara yang kritis itu dari kalangan terpelajar itu perlu ditransformasikan untuk lebih mempengaruhi sistem politik secara substansial.
"Selama ini kita mendengar aksi protes dari teman-teman civil society. Begitu keras mereka menghantam Prabowo, Gibran, dan Jokowi. Memang dalam pilpres kali ini, mereka dikalahkan," katanya.
Lanjut Denny, tapi suara kritis mereka tidak sia-sia. Itu bagian dari civic education. Sikap kritis mereka penting untuk terus mematangkan demokrasi yang sedang tumbuh.
Di masa kini, kata dia, demokrasi di Indonesia masih setengah matang. Bagaimanapun, demokrasi itu juga sebuah journey yang terus-menerus memerlukan palu dan godam agar berbentuk baik.
"Bagaimana caranya? Aneka suara kritis itu, yang memang substansial, penting untuk kita dengar sebagai revisi undang-undang berikutnya. Misalnya, sekarang ini perkara bansos (bantuan sosial). Kita sering mendengar kritik teman-teman civil society mengenai bansos di balik kemenangan pilpres," jelasnya.
Menurut Denny, maka saatnya kritik itu ditransformasikan menjadi input bagi undang-undang yang baru. Katakanlah undang-undang mengenai presiden.
"Perlu diatur di sana. Misalnya, sebulan sebelum hari pencoblosan, bansos dilarang diberikan yang berupa sembako, atau yang berupa bantuan tunai langsung. Tapi subsidi BBM dan subsidi listrik boleh jalan terus," kata dia.
Selesai pemungutan suara, papar dia, bansos itu boleh dibagikan lagi asal sesuai prosedur. Dengan cara ini, kritik itu fungsional mengubah aturan main politik melalui undang-undang. "Politik jalanan atau politik di talk show diangkat menjadi politik legaslasi," ucapnya.
Alasan ketiga, kata Denny, semua harus move on karena kita ingin menundukkan diri kepada politik yang jauh lebih besar. Di hadapan kita sudah terhidang visi Indonesia Emas 2045.
Pasalnya, Indonesia diprediksi oleh berbagai lembaga yang kredibel bahwa di tahun 2045, 20 tahun dari sekarang akan menjadi negara terbesar nomor empat di dunia secara ekonomi.
"Selama ini kita mendengar aksi protes dari teman-teman civil society. Begitu keras mereka menghantam Prabowo, Gibran, dan Jokowi. Memang dalam pilpres kali ini, mereka dikalahkan," katanya.
Lanjut Denny, tapi suara kritis mereka tidak sia-sia. Itu bagian dari civic education. Sikap kritis mereka penting untuk terus mematangkan demokrasi yang sedang tumbuh.
Di masa kini, kata dia, demokrasi di Indonesia masih setengah matang. Bagaimanapun, demokrasi itu juga sebuah journey yang terus-menerus memerlukan palu dan godam agar berbentuk baik.
"Bagaimana caranya? Aneka suara kritis itu, yang memang substansial, penting untuk kita dengar sebagai revisi undang-undang berikutnya. Misalnya, sekarang ini perkara bansos (bantuan sosial). Kita sering mendengar kritik teman-teman civil society mengenai bansos di balik kemenangan pilpres," jelasnya.
Menurut Denny, maka saatnya kritik itu ditransformasikan menjadi input bagi undang-undang yang baru. Katakanlah undang-undang mengenai presiden.
"Perlu diatur di sana. Misalnya, sebulan sebelum hari pencoblosan, bansos dilarang diberikan yang berupa sembako, atau yang berupa bantuan tunai langsung. Tapi subsidi BBM dan subsidi listrik boleh jalan terus," kata dia.
Selesai pemungutan suara, papar dia, bansos itu boleh dibagikan lagi asal sesuai prosedur. Dengan cara ini, kritik itu fungsional mengubah aturan main politik melalui undang-undang. "Politik jalanan atau politik di talk show diangkat menjadi politik legaslasi," ucapnya.
Alasan ketiga, kata Denny, semua harus move on karena kita ingin menundukkan diri kepada politik yang jauh lebih besar. Di hadapan kita sudah terhidang visi Indonesia Emas 2045.
Pasalnya, Indonesia diprediksi oleh berbagai lembaga yang kredibel bahwa di tahun 2045, 20 tahun dari sekarang akan menjadi negara terbesar nomor empat di dunia secara ekonomi.