Mereduksi Korupsi Sedari Dini

Sabtu, 08 Desember 2018 - 08:21 WIB
Mereduksi Korupsi Sedari Dini
Mereduksi Korupsi Sedari Dini
A A A
PERINGATAN Hari Anti Ko­rup­si Sedunia atau Ha­kor­dia setiap 9 Desember se­bagai simbol perang me­la­wan korupsi ternyata tidak cukup kuat menyurutkan nyali orang untuk terus korup. Meski anggaran untuk memberantas korupsi besar, sejum­lah lembaga untuk menangkal ko­rup­si dibentuk, gaji pejabat publik baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif kian besar namun ternyata kejahatan korupsi terus berlanjut.

Trend korup­si bahkan justru semakin tinggi. Era otonomi daerah menyuburkan se­rang­kaian kasus korupsi di daerah. Selain itu, alokasi dana desa menjadi objek baru korupsi. Tidak adanya efek jera. Fasilitas “wah” kepada koruptor serta obral remisi kepada koruptor me­matik tingginya tren korupsi ini. Ter­kait ini, yang justru menjadi per­ta­nyaan bagaimana mereduksi sedari dini peluang korupsi?

Menjelang pemilihan legislatif (pi­leg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 kian banyak pejabat publik yang terjerat korupsi. Bahkan diantaranya me­lalui operasi tangkap tangan (OTT), termasuk yang terbaru yaitu Bu­pati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu. Kasus ini yang ke-37 kepala daerah terjerat OTT KPK. Padahal, sebelumnya telah ada 111 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Fakta ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.

Ancaman

Fakta maraknya korupsi di re­pub­lik ini kian menguatkan temuan se­jum­lah lembaga internasional terkait pre­dikat Indonesia sebagai negara ter­korup. Oleh karena itu, ancaman ke­bang­krutan bisa dialami negara ini pada 2030 tidak terlepas dari marak­nya kasus korupsi yang terjadi berke­lan­jutan yang seolah tidak memberi efek jera.

Ini menjadi preseden buruk ter­kait pelaksanaan Pilpres 2019. Argu­men mendasar dari fakta ini karena adanya kepentingan ekono­mi-politik dan politik-ekonomi, apa­lagi para pe­nyandang dana pasti juga berke­pen­tingan terhadap hasil pil­pres. Begitu juga dari kasus pilkada yang sangat rentan menghasilkan kepala daerah korup. Logika ma­hal­nya ongkos politik menjadi dasar yang menguatkan tuntutan balik modal para calon, belum lagi target kejar setoran untuk bisa secepatnya balik modal.

Pertanyaannya adalah bagaimana membangun efek jera yang efektif? Pertanyaan ini mengemuka karena efek hukum yang maksimal dite­rap­kan tidak efektif meredam perilaku korupsi. Pada 2017 sampai triwulan III 2018 banyak kepala daerah terjerat OTT. Bahkan, ada juga diantaranya yang menjadi petahana dan ada juga yang menang.

Oleh karena itu, mun­cul pertanyaan apakah KPK sengaja menjerat petahana di pesta de­mo­krasi karena sebelumnya KPK telah merilis pernyataan tentang adanya sejumlah petahana yang diduga ter­li­bat korupsi dan kasusnya dalam pro­ses penyidikan.

Artinya, bukan tidak mungkin pascapesta demokrasi akan ada lagi petahana dan kepala daerah terciduk KPK. Jika ini benar maka sinyalemen pilkada menjadi muara terjadinya kasus korupsi ada benar­nya karena mahalnya biaya politik dan keinginan balik modal. Realitas ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.

Salah Siapa?

Fakta maraknya korupsi di re­publik ini sejatinya menjadi titik nadir untuk mengambil tindakan tegas karena jerat hukum seolah tidak lagi mampu memberikan efek jera. Selain itu, perlakuan istimewa kepada ko­rup­tor oleh peradilan dan negara se­cara tidak langsung juga memicu sen­timen terhadap rasa ketidakadilan hukum.

Artinya, dalih sebagai negara hukum seolah hanya menjadi pema­nis berita media sedangkan prak­tik­nya sangat jauh dari harapan. Oleh ka­rena itu ketidakadilan hukum ini men­jadi tantangan bagi semuanya un­tuk membangun suatu sanksi yang bisa memberatkan hukuman bagi ko­ruptor yang kemudian bisa berdam­pak sistemik terhadap efek jera secara berkelanjutan.

Apa yang terjadi dengan rangkaian OTT oleh KPK sejatinya adalah peri­la­ku yang terjadi di masa lalu sehingga bisa disimpulkan bahwa kepala dae­rah yang kali ini terjerat pada dasarnya hanyalah menunggu waktu untuk di­tangkap KPK. Ke depan perlu ada tin­dakan tegas yang bisa lebih memicu efek jera.

Fakta ini tidak lepas dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menegaskan rentang waktu 2016 rerata koruptor di penjara hanya 26 bulan saja, setelah itu bebas dan dapat mendikte lagi politik dinasti yang dibangunnya untuk kembali ko­rupsi. Rompi orange yang dulu
diha­rap­kan menjadi efek jera ternyata jus­tru kian menghiasai media sambil ter­senyum para koruptor melambaikan tangan tanpa rasa malu, termasuk juga melayangkan salam metal saat digelandang KPK.

Artinya OTT KPK kepada Bupati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Re­migo Yolanda Berutu diyakini bukan yang terakhir dan dipastikan akan ada lagi OTT sejumlah kepala daerah se­hingga peringatan Hakordia menge­sankan hanya sekadar seremonial.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0148 seconds (0.1#10.140)