Etika Hakim Konstitusi, Antara Harapan dan Kenyataan

Selasa, 09 April 2024 - 13:35 WIB
loading...
Etika Hakim Konstitusi, Antara Harapan dan Kenyataan
Amirsyah Tambunan. Foto/Istimewa
A A A
Amirsyah Tambunan
Seorang Warga Negara Indonesia

INDONESIA sebagai negara bangsa (nation state) telah memiliki landasan hukum yang kuat di atas nilai norma hukum. Etika, moral berada di atas norma hukum yang lahir dari nilai luhur bangsa. Artinya, norma hukum dapat berdiri tegak di atas etika dan moral yang dijunjung tingga semua komponen bangsa yang terdiri dari lembaga.

Pemisahan kekuasaan adalah konsep politik yang membagi kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga wilayah kekuasaan yang tujuannya untuk membuat pemerintahan berdaulat sehingga pemerintahan berdaulat bisa menghindari kekuasaan negara yang absolut.

Sejarah telah mengajarkan etika politik kepada kita bahwa filsuf asal Inggris, John Locke (1748) lantas dikembangkan oleh Montesquieu lewat bukunya De l’esprit des Lois. Menurut Montesquieu, konsep pemisahan kekuasaan berkembang menjadi trias politica.

Pertama, eksekutif, merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang yakni presiden beserta kabinetnya. Kedua, legislatif, merupakan lembaga yang terbentuk untuk mencegah kesewenangan oleh raja atau presiden. Ketiga, yudikatif, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan lembaga yang mengontrol semua lembaga yang menyimpang dari hukum yang berlaku pada suatu negara. Lembaga ini juga berfungsi untuk menguji material undang-undang (UU), serta mengesahkan atau membatalkan suatu peraturan yang bertentangan dengan konstitusi.



MK merupakan salah satu lembaga negara yang berdiri pasca-reformasi 1998 untuk menyelamatkan nilai-nilai konstitusi sehingga etika bernegara dapat ditegakkan dalam mengawal demokrasi yang saat ini indeksnya tengah mengalami penurunan. Oleh sebab itu, mata dan telinga seluruh rakyat Indonesia tertuju untuk melihat proses peradilan pihak yang bersengketa dalam pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg).

Jika proses pemilihan umum dilakukan secara jujur dan adil, sengketa pilpres dan pileg dipastikan tidak akan terjadi di MK. Sebaliknya, ketika proses pilpres dan pileg diduga kuat terjadi kecurangan, maka sengketa peradilan merupakan solusi terbaik yang harus diselesaikan di MK.

Karena itu, meminjam istilah Prof Dr. Haedar Nashir, meminta hakim MK yang menangani sidang sengketa hasil Pemilu 2024 mengedepankan aspek moralitas di samping aspek hukum dan konstitusi (6/4/2024). Menurut Haedar, nasib bangsa dan sengketa politik bangsa berada di tangan hakim MK, sehingga tingkat moralitasnya harus seperti malaikat. Moralitas seperti malaikat muncul karena rakyat Indonesia memiliki harapan besar sehingga rakyat Indonesia dapat segera keluar dari sengketa pemilu. Tentu muncul pertanyaan, seperti apa moralitas MK seperti malaikat? Intinya, moralitas yang tidak pernah salah karena menjunjung tinggi kepatuhan dan ketaatan kepada hukum untuk menegakkan keadilan.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November 2023 memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. MKMK sudah tepat memberhentikan hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Kenyataan ini seharusnya menjadi pembelajaran berharga buat MK sehingga ke depan kepercayaan publik kepada MK dapat pulih kembali.

Menjunjung Tinggi Nilai Luhur Bangsa

Harapan besar bangsa tercermin dari nilai-nilai luhur bangsa. Telah menjadi pengetahuan umum untuk menjunjung tinggi etika dan moral bangsa seperti nilai luhur dalam proses perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia yang dapat digali dari nilai dan etika serta budaya bangsa, bukan dari cara "partemen jalanan" yang berujung pada anarkisme. Perlu dikedepankan cara yang santun dan bermoral sebagai berikut:

Pertama, mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain ketika pendapat tersebut untuk kepentingan publik. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk mengakui bahwa setiap orang punya derajat yang sama, sehingga harus saling menghargai dan menghormati pendapatnya. Jika ada orang yang menyampaikan pikiran, pendapat, kita harus mendengarkan dengan baik. Sementara itu, orang yang menyampaikan pendapat harus bersikap sopan, berbicara dengan jelas, tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak memaksakan pendapat pada orang lain, mengutamakan kepentingan bersama, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

Kedua, menerima keputusan yang diambil dalam rapat atau pertemuan. Sebuah rapat membahas sesuatu untuk menghasilkan kesepakatan atau keputusan terlebih lagi untuk kepentingan berbangsa dan bernegara. Keputusan yang diambil harus diterima dengan ikhlas dan terbuka, meskipun keputusan bersama itu tidak sesuai dengan pendapat pribadi. Karena pendapat pribadi telah menjadi salah pertimbangan untuk membuat kesepakatan bersama.

Ketiga, dalam proses perumusan MK telah mengerahkan segala kemampuannya untuk menggali nilai-nilai luhur, keadilan untuk kepentingan kebangsaan yang dapat menjadi dasar dalam memutuskan perkara.

Keempat, rendah hati, merupakan nilai luhur yang telah lama dijunjung tingga bangsa Indonesia. Misalnya dalam persidangan MK telah terjadi perdebatan dan menyampaikan pendapat. Para hakim tidak sombong dengan pendapat atau pandangannya masing-masing. Jika ada pendapat yang lebih sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara, mereka menerimanya.

Kelima, mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun berbeda pandangan, para hakim MK mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Contoh menerima ketidaksetujuan itu karena lebih mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Keenam, rela berkorban merupakan nilai luhur yang dijunjung tingga semua komponen, karena itu dapat dipahami rakyat Indonesia telah banyak pengorbanan, baik waktu, biaya, tenaga, dan lain-lain demi kepentingan bangsa dan negara. Semua pengorbanan itu bermanfaat bagi masa depan bangsa dan negara.

Ketujuh, melaksanakan keputusan bersama. Artinya, apa pun keputusannya yang telah menjadi kesepakatan bersama. Maka, semua pihak harus menerima untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.

Rakyat Pengawal Moral Bangsa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan yang merupakan lembaga keulamaan yang lahir dari rahim umat dan bangsa memiliki komitmen yang besar untuk mengawal aspirasi rakyat Indonesia terutama penegakan moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara.

Untuk itu, sebelum dan sesudah pilpres, MUI secara resmi menerbitkan tausiah kebangsaan. Salah poin penting menegaskan bahwa MUI salah satu institusi penegak akhlak (moral force), maka MUI senantiasa istikamah dalam memberi penguatan terhadap upaya penegakan nilai-nilai kejujuran dan keadilan termasuk dalam proses penyelenggaraan pemilu sebagai manifestasi pemilihan pemimpin bangsa (nashbu al-imam).

Hal ini memang tak mudah, karena banyak kepentingan yang menjadi penghambat menegakkan moral, etika bangsa. Karena itu, semua komponen bangsa dapat bercermin kembali kapada cita-cita pendiri bangsa. Misalnya Soekarto-Hatta pernah menyatakan kemerdekaan bangsa.

Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mampukah kita menjaga kedaulatan NKRI dari intervensi kekuatan asing, menanggulangi kemerosotan moral dan dehumanisasi dalam kehidupan sosial, mencegah perbuatan korupsi, serta mengatasi ketimpangan kondisi ekonomi yang semakin melebar.

Sejak lama Bung Karno mengingatkan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa “...tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” Bung Hatta memberi definisi “kemakmuran rakyat” ialah apabila rakyat terlepas dari kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan yang mengancam. Menurut Bung Hatta, pemerintah harus bertindak supaya tercapai penghidupan sosial yang lebih baik.



Dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tanggal 15 Juni 1979 yang merupakan pidato terakhir Bung Hatta mengatakan "Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu."

Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman hingga saat ini berlangsung akan dapat merusak etika politik dalam berbangsa dan bernegara. Saatnya Indonesia bangkit dari pengaruh hegemoni ekonomi kapitalisme untuk membangun etika politik yang dapat mewujudkan kemaslahatan rakyat Indonesia.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1549 seconds (0.1#10.140)