4 Tahun Jokowi-JK: Menakar Capaian di Sektor Energi
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM
KENDATI belum semua target selama 4 tahun tercapai, namun penerapan kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) di sektor energi sudah pada jalur yang tepat (the right track), sesuai dengan visi dan misi. Pada saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi-JK menjanjikan untuk mencapai Energi Berkeadilan serta mewujudkan Kedaulatan dan Kemandirian Energi.
Kebijakan Energi Berkeadilan diterapkan dengan menyediakan energi secara adil dan merata, serta harga terjangkau. Penerapannya melalui pengurangan subsidi, penetapan kebijakan BBM satu harga, 100% rasio elektrifikasi, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Pengurangan subsidi energi dilakukan dengan mengalihkan subsidi dari konsumsi ke subsidi produksi, sehingga mengurangi alokasi subsidi energi dalam jumlah yang besar. Pada 2014, alokasi subsidi energi mencapai Rp306,45 triliun turun drastis menjadi Rp. 90,25 pada 2017. Subsidi BBM pada 2014 sebesar 46,79 juta kilo liter (KL) turun menjadi 7,15 juta KL pada 2017. Pada periode yang sama subsidi LPG dari 4,99 juta metrik ton (MT) turun menjadi 3,10 juta MT.
Kebijakan BBM satu harga tidak hanya menciptakan pemerataan dan keadilan dengan harga terjangkau, tetapi juga memberikan multiplier effect di daerah-daerah Indonesia bagian timur. Kebijakan ini juga mengurangi beban rakyat, utamanya di Papua.
Selama ini harga premium di Papua berkisar antara Rp25.000-100.000 per liter, bandingkan dengan harga premium di Jawa yang hanya Rp6.450 per liter. Hingga triwulan III/2018, penerapan kebijakan BBM satu harga sudah mencapai 98 lokasi dari 157 lokasi yang ditargetkan dicapai pada 2019.
Kebijakan Kedaulatan dan Kemandirian Energi diterapkan dengan mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie dan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Pengambilalihan ini akan menjadi “preseden baik” bagi negeri ini.
Pertamina akan semakin percaya diri (pede) dalam setiap pengambilalihan lahan migas dari kontraktor asing, sehingga semakin meningkatkan akumulasi kapabilitas perusahaan pelat merah tersebut dalam pengelolaan lahan migas. Akumulasi kapabilitas itu akan sangat berguna pada saat Pertamina mengoperasikan lahan migas di luar negeri, yang diakuisisi oleh Pertamina.
Pengambilalihan Freeport merupakan pencapaian kinerja yang patut diacungi jempol. Keberhasilan perundingan dengan Freeport -untuk mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK), dengan tiga syarat smelterisasi, divestasi 51% saham, dan tax regime- merupakan wujud nyata pencapaian Kemandirian dan Kedaulatan Energi.
Setelah setengah abad, bangsa Indonesia akhirnya dapat menguasai mayoritas 51% saham Freeport, yang diperoleh dari proses perundingan panjang dan berliku berdasarkan prinsip-prinsip perundingan internasional. Penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA), antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Freeport McMoran, selaku induk usaha PT Freeport Indonesia (PTFI), pada 27 September 2018 menandakan bahwa secara resmi dan sah Indonesia mengambil alih (divestasi) 51% saham Freeport.
Meskipun kinerja di bidang kelistrikan cukup menggembirakan, namun pencapaian proyek listrik 35.000 MW masih rendah. Data PLN menunjukkan dari 35.000 MW baru 639 MW atau 0.02% sudah beroperasi secara komersial (commercial operation date). Sebanyak 10.442 MW atau sekitar 29,83% sudah memasuki tahap konstruksi. Sedangkan, 7.533 MW atau sekitar 21,52% dalam tahap perencanaan, 8.217 MW atau sekitar 23,47 tahap pengadaan, dan 8.806 MW atau sekitar 25,16% sudah diserahkan IPP.
Berbeda dengan proyek 35.000 MW. Pencapaian rasio elektrifikasi justru melampaui target ditetapkan. Pada akhir 2017, rasio elektifikasi sudah mencapai 93,08%, lebih tinggi daripada target ditetapkan sebesar 92,75%.
Untuk mencapai rasio elektrifikasi 100%, pemerintah menerapkan program percepatan, dengan prioritas daerah perdesaan. Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum dialiri listrik. Prioritas pada daerah perdesaan yang belum berkembang, perdesaan terpencil, pedesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.
Prioritas elektrifikasi ini menunjukkan komitmen pemerintah pada masyarakat perdesaan. Komitmen serupa juga ditunjukkan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2019 agar tidak memberatkan masyarakat sebagai pelanggan. Pemerintah juga berkomitmen kepada rakyat miskin dengan masih memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 W, serta 30% pelanggan 900 W, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.
Untuk menggantikan energi fosil dan menciptakan energi bersih, pemerintah secara terus menerus mengembangkan EBT. Namun secara nasional hingga akhir 2017, pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil.
Rinciannya batu bara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, dan BBM 5,81%. Sedangkan porsi EBT baru mencapai 12,15%, sekitar 50% dari target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Selain pencapaian itu, penerimaan negara dari sektor energi merupakan penyumbang terbesar. Lebih dari 50% Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) berasal dari sektor energi. Pada 2015 penerimaan dari sektor energi mencapai Rp117,8 triliun, naik menjadi Rp134,4 triliun pada semester I/2018. Pada 2015 pendapatan migas mencapai Rp85,5 triliun, naik menjadi Rp93,9 triliun pada semester I/2018.
Sedangkan, lifting migas tidak mencapai target yang ditetapkan APBN. Pada semester I/2018, lifting migas mencapai 1.923 mboed atau sekitar 96,15% dari target APBN 2018 ditetapkan sebesar 2.000 mboed.
Untuk mencapai seluruh target ditetapkan dan menjaga keberlanjutan pembangunan di sektor energi, ada urgensi bagi Presiden Jokowi untuk melanjutkan masa bakti periode kedua pada 2019-2024. Ganti Presiden pada 2019 dikhawatirkan akan menghentikan keberlanjutan program pembangunan di sektor energi.
Pasalnya, Presiden baru biasanya tidak akan pernah melanjutkan program yang sudah dijalankan pendahulunya. Kalau toh akhirnya 2019 ganti pemimpin, diharapkan Presiden terpilih berkenan melanjutkan program di sektor energi agar tidak ada program mangkrak di sektor energi.
Pengamat Ekonomi Energi UGM
KENDATI belum semua target selama 4 tahun tercapai, namun penerapan kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) di sektor energi sudah pada jalur yang tepat (the right track), sesuai dengan visi dan misi. Pada saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi-JK menjanjikan untuk mencapai Energi Berkeadilan serta mewujudkan Kedaulatan dan Kemandirian Energi.
Kebijakan Energi Berkeadilan diterapkan dengan menyediakan energi secara adil dan merata, serta harga terjangkau. Penerapannya melalui pengurangan subsidi, penetapan kebijakan BBM satu harga, 100% rasio elektrifikasi, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Pengurangan subsidi energi dilakukan dengan mengalihkan subsidi dari konsumsi ke subsidi produksi, sehingga mengurangi alokasi subsidi energi dalam jumlah yang besar. Pada 2014, alokasi subsidi energi mencapai Rp306,45 triliun turun drastis menjadi Rp. 90,25 pada 2017. Subsidi BBM pada 2014 sebesar 46,79 juta kilo liter (KL) turun menjadi 7,15 juta KL pada 2017. Pada periode yang sama subsidi LPG dari 4,99 juta metrik ton (MT) turun menjadi 3,10 juta MT.
Kebijakan BBM satu harga tidak hanya menciptakan pemerataan dan keadilan dengan harga terjangkau, tetapi juga memberikan multiplier effect di daerah-daerah Indonesia bagian timur. Kebijakan ini juga mengurangi beban rakyat, utamanya di Papua.
Selama ini harga premium di Papua berkisar antara Rp25.000-100.000 per liter, bandingkan dengan harga premium di Jawa yang hanya Rp6.450 per liter. Hingga triwulan III/2018, penerapan kebijakan BBM satu harga sudah mencapai 98 lokasi dari 157 lokasi yang ditargetkan dicapai pada 2019.
Kebijakan Kedaulatan dan Kemandirian Energi diterapkan dengan mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie dan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Pengambilalihan ini akan menjadi “preseden baik” bagi negeri ini.
Pertamina akan semakin percaya diri (pede) dalam setiap pengambilalihan lahan migas dari kontraktor asing, sehingga semakin meningkatkan akumulasi kapabilitas perusahaan pelat merah tersebut dalam pengelolaan lahan migas. Akumulasi kapabilitas itu akan sangat berguna pada saat Pertamina mengoperasikan lahan migas di luar negeri, yang diakuisisi oleh Pertamina.
Pengambilalihan Freeport merupakan pencapaian kinerja yang patut diacungi jempol. Keberhasilan perundingan dengan Freeport -untuk mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK), dengan tiga syarat smelterisasi, divestasi 51% saham, dan tax regime- merupakan wujud nyata pencapaian Kemandirian dan Kedaulatan Energi.
Setelah setengah abad, bangsa Indonesia akhirnya dapat menguasai mayoritas 51% saham Freeport, yang diperoleh dari proses perundingan panjang dan berliku berdasarkan prinsip-prinsip perundingan internasional. Penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA), antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Freeport McMoran, selaku induk usaha PT Freeport Indonesia (PTFI), pada 27 September 2018 menandakan bahwa secara resmi dan sah Indonesia mengambil alih (divestasi) 51% saham Freeport.
Meskipun kinerja di bidang kelistrikan cukup menggembirakan, namun pencapaian proyek listrik 35.000 MW masih rendah. Data PLN menunjukkan dari 35.000 MW baru 639 MW atau 0.02% sudah beroperasi secara komersial (commercial operation date). Sebanyak 10.442 MW atau sekitar 29,83% sudah memasuki tahap konstruksi. Sedangkan, 7.533 MW atau sekitar 21,52% dalam tahap perencanaan, 8.217 MW atau sekitar 23,47 tahap pengadaan, dan 8.806 MW atau sekitar 25,16% sudah diserahkan IPP.
Berbeda dengan proyek 35.000 MW. Pencapaian rasio elektrifikasi justru melampaui target ditetapkan. Pada akhir 2017, rasio elektifikasi sudah mencapai 93,08%, lebih tinggi daripada target ditetapkan sebesar 92,75%.
Untuk mencapai rasio elektrifikasi 100%, pemerintah menerapkan program percepatan, dengan prioritas daerah perdesaan. Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum dialiri listrik. Prioritas pada daerah perdesaan yang belum berkembang, perdesaan terpencil, pedesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.
Prioritas elektrifikasi ini menunjukkan komitmen pemerintah pada masyarakat perdesaan. Komitmen serupa juga ditunjukkan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2019 agar tidak memberatkan masyarakat sebagai pelanggan. Pemerintah juga berkomitmen kepada rakyat miskin dengan masih memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 W, serta 30% pelanggan 900 W, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.
Untuk menggantikan energi fosil dan menciptakan energi bersih, pemerintah secara terus menerus mengembangkan EBT. Namun secara nasional hingga akhir 2017, pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil.
Rinciannya batu bara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, dan BBM 5,81%. Sedangkan porsi EBT baru mencapai 12,15%, sekitar 50% dari target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Selain pencapaian itu, penerimaan negara dari sektor energi merupakan penyumbang terbesar. Lebih dari 50% Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) berasal dari sektor energi. Pada 2015 penerimaan dari sektor energi mencapai Rp117,8 triliun, naik menjadi Rp134,4 triliun pada semester I/2018. Pada 2015 pendapatan migas mencapai Rp85,5 triliun, naik menjadi Rp93,9 triliun pada semester I/2018.
Sedangkan, lifting migas tidak mencapai target yang ditetapkan APBN. Pada semester I/2018, lifting migas mencapai 1.923 mboed atau sekitar 96,15% dari target APBN 2018 ditetapkan sebesar 2.000 mboed.
Untuk mencapai seluruh target ditetapkan dan menjaga keberlanjutan pembangunan di sektor energi, ada urgensi bagi Presiden Jokowi untuk melanjutkan masa bakti periode kedua pada 2019-2024. Ganti Presiden pada 2019 dikhawatirkan akan menghentikan keberlanjutan program pembangunan di sektor energi.
Pasalnya, Presiden baru biasanya tidak akan pernah melanjutkan program yang sudah dijalankan pendahulunya. Kalau toh akhirnya 2019 ganti pemimpin, diharapkan Presiden terpilih berkenan melanjutkan program di sektor energi agar tidak ada program mangkrak di sektor energi.
(poe)