Winter is Coming

Rabu, 17 Oktober 2018 - 07:29 WIB
Winter is Coming
Winter is Coming
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PIDATO Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bali pekan lalu yang diberi judul “Winter is Coming” masih ramai dibicarakan oleh para politisi di dalam negeri. Pidato yang disampaikan di hadapan para pembesar lembaga keuangan internasional dan dunia menyoroti tentang perang dagang antarnegara besar yang dianggap mengancam kepentingan dunia.

Pidato itu sebetulnya menyimpulkan dan mewakili sejumlah pendapat orang yang merasa khawatir dengan menguatnya kebijakan proteksionisme dari sejumlah negara. Di sisi lain ada yang memuji, tetapi ada juga yang mengkritik.

Di sini, saya ingin menyoroti tiga hal yang ramai dibicarakan orang. Pertama, terkait aspek sosiologis dari pidato tersebut. Pidato seorang kepala negara, apalagi dalam forum internasional, adalah bagian dari alat diplomasi; medium untuk menyampaikan pemikiran dan kehendak dari satu negara kepada dunia. Kerangka yang diangkat merupakan posisi politik Jokowi sebagai kepala negara.
Ajakan untuk bekerja sama yang disebut di pertengahan dan di akhir adalah khas dalam pidato bernuansa diplomasi. Indonesia melalui Presiden Jokowi mengajak semua pihak untuk menyadari kegentingan suasana bila ekonomi global terus dipenuhi rivalitas.
Karena pidato ini adalah alat diplomasi maka tidak penting untuk meributkan apakah pidato ini ditulis sendiri, disodorkan oleh tim penulis, atau dikerjakan bersama-sama. Dalam dunia diplomasi, pidato Kepada Negara merepresentasikan suara negara.

Artinya tidak mungkin dan tidak bijaksana bila pidato tersebut dikerjakan sendiri tanpa dibantu atau setidaknya diperiksa oleh pihak lain. Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang sulit dikontrol pun harus tunduk membacakan sambutan sesuai teks tertulis ketika menyampaikan pidato di Markas PBB di New York.

Pidato Presiden Jokowi perlu ditempatkan secara proporsional sesuai dengan konteksnya. Silakan saja bila ingin dibedah secara hermeneutika atau analisis konten, bahkan juga sejarah penuturnya, tetapi kembali perlu diingat bahwa tulisan ini tidak lepas dari peranan Jokowi sebagai bagian dari tuan rumah Indonesia untuk pertemuan pejabat-pejabat ekonomi dunia. Janganlah pidato tersebut direndahkan seakan tidak berarti dan juga tidak perlu dilebih-lebihkan seakan tanpa cela.

Kedua, terkait dengan substansi pidato dan jangkauannya pada publik. Masyarakat umum yang ikut mendengarkan pemberitaan acara dapat dengan mudah memahami kehendak Indonesia untuk menghentikan persaingan demi memenuhi ambisi masing-masing negara agar nuansa kerja sama yang dulu pernah tumbuh dapat kembali hidup. Mereka yang tidak pernah menyaksikan serial film Game of Thrones pun dapat memahami pesan tersebut.

Hal ini penting dipahami karena dua hal, bahwa pesan tersebut menjadi penghubung antara para pejabat yang hadir dengan publik di luar; antara elite kebijakan dan subjek kebijakan tersebut. Kebijakan ekonomi, apalagi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga besar yang berkumpul juga kerap dikritik tidak membumi dan jauh dari merespons kebutuhan rakyat.

Hal lain adalah bahwa dengan metafora film, para hadirin pejabat yang hadir tidak memiliki hambatan psikologis dan politis untuk ikut menyetujui substansi yang diajukan. Kita tahu bahwa persetujuan substansi penting untuk menegosiasikan hal-hal yang sedang menajam juga antara ekonom dari Eropa dan Amerika Serikat.

IMF seperti kita ketahui akan selalu dipimpin oleh para ekonom dari Eropa, sementara Bank Dunia akan selalu dipimpin oleh ekonom berkebangsaan Amerika Serikat.

Presiden Bank Dunia Jim Yong-kim berasal dari Korea Selatan, tetapi dia bermigrasi ke AS dan menjadi warga negara di Negeri Paman Sam. Ia diangkat semasa pemerintahan Barack Obama. Menekankan soal kerja sama di hadapan para pejabat membantu para ekonom menegosiasikan titik temu di masing-masing pimpinan di negaranya.

Ketiga, pidato itu lemah dalam mengkritik paradigma lembaga-lembaga keuangan internasional. Bukan hanya IMF dan Bank Dunia, melainkan juga ADB, AIIB, dan sejenisnya. Tidak ada satu pun kalimat yang menuju pada paradigma yang terlalu fokus pada kebijakan pengetatan fiskal (austerity) demi mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas.

Akibatnya pelayanan sosial pada masyarakat tidak mendapat perhatian. Kebijakan pengetatan fiskal, termasuk konsep kedisiplinan fiskal, secara tidak langsung adalah penyebab menajamnya rivalitas atau pertarungan antarekonomi karena masing-masing negara mendorong ekonomnya untuk memperkecil pengeluaran sambil menambah penghasilan dengan menekan negara-negara lain karena tidak mau memunculkan gejolak di dalam negeri.

Pemerataan dan kemanusiaan dipulangkan ke negara masing-masing, padahal kesenjangan antarnegara masih menganga lebar. Namun, menolak lembaga-lembaga keuangan tersebut juga tidak lagi relevan untuk masa kini.

Interdependensi antarnegara sudah terlalu tinggi dan lembaga-lembaga tersebut sudah masuk dalam hampir segala lini pembangunan. Investasi meningkat dan kebutuhan investasi dunia juga bertambah; itu sebabnya Jokowi sebenarnya bisa lebih tajam menolak bentuk model-model kerja sama yang ada saat ini. Lembaga-lembaga tersebut seharusnya tidak lagi melanjutkan model pengetatan fiskal untuk ditanggung sendirian oleh satu-dua negara.

Saat ini hanya empat negara yang tidak memiliki utang luar negeri: Makau, British Virgin Islands, Brunei Darussalam, dan Liechtenstein. Negara yang menguasai sendiri aset minyak negaranya pun, seperti Timor Leste, tidak bisa lepas dari utang. Ke depan negara-negara berkembang perlu pula dilibatkan dalam penentuan model-model kerja sama investasi.

Jadi, sebenarnya judul pidato yang lebih tepat adalah “Winter has Come”. Musim dingin yang penuh masalah sudah ada di tengah kita: problem sampah, perubahan iklim, mahalnya kesehatan, rendahnya kualitas pendidikan di negara-negara berkembang, dan kejahatan lintas batas belum ada yang bisa diatasi melalui kerja sama ekonomi yang ada.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5099 seconds (0.1#10.140)