Regulasi 'Mogol' soal Batasan Barang Impor
loading...
A
A
A
Di masa pandemi Covid-19, bolak baliknya regulasi yang membalut berbagai kebijakan publik bahkan kian menjadi-jadi. Baik soal aturan vaksin, pembatasan aktivitas masyarakat, pengaturan transportasi umum, penyebutan istilah dan lain sebagainya. Demikian juga pada aturan soal libur atau cuti bersama dan kenaikan BBM, pemerintah kerap kali goyah alias tidak matang dalam membuat kebijakan.
Selain berdampak mengacaukan kognisi publik, tidak kokohnya kebijakan itu juga menyisakan kekhawatiran mendalam akan reputasi pemerintah. Sangat mungkin, rakyat kemudian akan menilai bahwa kebijakan begitu mudah diterbitkan lantaran dibuat asal-asalan, dikerjakan dengan sistem kebut semalam atau bahkan hanya bertujuan memenuhi pesanan dari kepentingan tertentu. Hadirnya relasi tiga unsur yakni pelaku, isi, dan lingkungan yang seharusnya sangat erat dalam membuat kebijakan seperti dikonsepsikan oleh Dunn (2003) pun menjadi samar bahkan tak tampak sekali.
Sekali lagi, Permendag No 36 memang telah benar-benar selesai diproduksi dan akhirnya terbit. Namun apakah tiga elemen utama pembangun kebijakan publik itu apakah benar sudah dipenuhi, terutama dari pendekatan lingkungan? Tentu ini perlu dijawab secara komprehensif oleh pemerintah. Namun melihat efek yang bernotasi cenderung negatif terhadap Permendag No 36, tampaknya regulasi ini belum sepenuhnya disiapkan dengan sangat matang.
Pembuatan Permendag No 36 memang telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam pembuatan regulasi. Namun gagalnya regulasi menjangkar (anchor) ke benak publik jelas menandakan ada yang tidak beres dari aspek subtansial. Soal subtansi ini berkaitan erat dengan isi butir-butir aturan. Sudah seharusnya, setiap huruf, kata dan kalimat yang ada dalam aturan bukan sekadar berarti kumpulan atau susunan. Isi aturan tersebut sejatinya adalah hasil kesepakatan bersama antara pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat undang-undang termasuk dalam penggunaan kekuasaan memaksa (coercive power) dengan rakyat.
Kesepakatan ini pun juga tidak datang dalam waktu semalam. Tentu untuk membangun sistem dan nilai-nilai baru yang kuat plus mengikat ini dibutuhkan upaya penyadaran bersama disertai dengan proses komunikasi publik secara tepat. Dari komunikasi yang memadai ini tentunya akan memunculkan proses dialogis, partisipatif, dan deliberatif.
Rakyat pada hal ini tak sekadar diposisikan secara pasif sebagai objek atau sasaran sebuah aturan. Justru mereka diajak aktif dalam memberi masukan dan pertimbangan sehingga rumusan akhir yang terciptakan benar-benar mewakili situasi batin dan tersambung dengan kehendak besar pemerintah.
Pemerintah sendiri kita yakini tentu tak ingin membuat regulasi yang akhirnya sekadar menjadi 'macan ompong'. Karena bagaimana pun jika berpijak dari aspek aksiologis, kebijakan jelas dimuarakan pada nilai-nilai yang bertujuan memberikan dampak baik kepada masyarakat. Namun aspek filosofi ini perlu diterjemahkan dengan cara-cara atau metodologi yang detail dan strategis.
Dari sisi komunikasi publik misalnya, kita belum melihat pemerintah sangat serius melakukan pendekatan-pendekatan yang taktis kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial dan internet misalnya. Baik itu sejak dalam proses pembuatan regulasi sampai pada tahapan sosialisasi. Ini setidaknya dibuktikan dengan banyaknya para WNI yang merasa sangat kaget dan baru tahu dengan kebijakan baru ketika mereka kembali ke Indonesia.
Kekagetan mereka beralasan. Sebab ada hal-hal sepele seperti sepatu, perangkat elektronik, baju, tas dan sebagainya yang tiba-tiba dibatasi seolah tanpa ada sosialisasi.
Program sosialisasi memang sudah dilakukan dari level menteri hingga petugas paling bawah, seperti yang tampak pada Pos Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, baru-baru ini. Namun apakah semuanya sudah dipikirkan efektivitasnya dengan mempertimbangkan waktu sosialisasi yang cukup mepet.
Selain berdampak mengacaukan kognisi publik, tidak kokohnya kebijakan itu juga menyisakan kekhawatiran mendalam akan reputasi pemerintah. Sangat mungkin, rakyat kemudian akan menilai bahwa kebijakan begitu mudah diterbitkan lantaran dibuat asal-asalan, dikerjakan dengan sistem kebut semalam atau bahkan hanya bertujuan memenuhi pesanan dari kepentingan tertentu. Hadirnya relasi tiga unsur yakni pelaku, isi, dan lingkungan yang seharusnya sangat erat dalam membuat kebijakan seperti dikonsepsikan oleh Dunn (2003) pun menjadi samar bahkan tak tampak sekali.
Sekali lagi, Permendag No 36 memang telah benar-benar selesai diproduksi dan akhirnya terbit. Namun apakah tiga elemen utama pembangun kebijakan publik itu apakah benar sudah dipenuhi, terutama dari pendekatan lingkungan? Tentu ini perlu dijawab secara komprehensif oleh pemerintah. Namun melihat efek yang bernotasi cenderung negatif terhadap Permendag No 36, tampaknya regulasi ini belum sepenuhnya disiapkan dengan sangat matang.
Pembuatan Permendag No 36 memang telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam pembuatan regulasi. Namun gagalnya regulasi menjangkar (anchor) ke benak publik jelas menandakan ada yang tidak beres dari aspek subtansial. Soal subtansi ini berkaitan erat dengan isi butir-butir aturan. Sudah seharusnya, setiap huruf, kata dan kalimat yang ada dalam aturan bukan sekadar berarti kumpulan atau susunan. Isi aturan tersebut sejatinya adalah hasil kesepakatan bersama antara pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat undang-undang termasuk dalam penggunaan kekuasaan memaksa (coercive power) dengan rakyat.
Kesepakatan ini pun juga tidak datang dalam waktu semalam. Tentu untuk membangun sistem dan nilai-nilai baru yang kuat plus mengikat ini dibutuhkan upaya penyadaran bersama disertai dengan proses komunikasi publik secara tepat. Dari komunikasi yang memadai ini tentunya akan memunculkan proses dialogis, partisipatif, dan deliberatif.
Rakyat pada hal ini tak sekadar diposisikan secara pasif sebagai objek atau sasaran sebuah aturan. Justru mereka diajak aktif dalam memberi masukan dan pertimbangan sehingga rumusan akhir yang terciptakan benar-benar mewakili situasi batin dan tersambung dengan kehendak besar pemerintah.
Pemerintah sendiri kita yakini tentu tak ingin membuat regulasi yang akhirnya sekadar menjadi 'macan ompong'. Karena bagaimana pun jika berpijak dari aspek aksiologis, kebijakan jelas dimuarakan pada nilai-nilai yang bertujuan memberikan dampak baik kepada masyarakat. Namun aspek filosofi ini perlu diterjemahkan dengan cara-cara atau metodologi yang detail dan strategis.
Dari sisi komunikasi publik misalnya, kita belum melihat pemerintah sangat serius melakukan pendekatan-pendekatan yang taktis kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial dan internet misalnya. Baik itu sejak dalam proses pembuatan regulasi sampai pada tahapan sosialisasi. Ini setidaknya dibuktikan dengan banyaknya para WNI yang merasa sangat kaget dan baru tahu dengan kebijakan baru ketika mereka kembali ke Indonesia.
Kekagetan mereka beralasan. Sebab ada hal-hal sepele seperti sepatu, perangkat elektronik, baju, tas dan sebagainya yang tiba-tiba dibatasi seolah tanpa ada sosialisasi.
Program sosialisasi memang sudah dilakukan dari level menteri hingga petugas paling bawah, seperti yang tampak pada Pos Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, baru-baru ini. Namun apakah semuanya sudah dipikirkan efektivitasnya dengan mempertimbangkan waktu sosialisasi yang cukup mepet.