Regulasi 'Mogol' soal Batasan Barang Impor
loading...
A
A
A
SEBAGIAN isi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor akhirnya ditunda. Penegasan ini disampaikan langsung oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada Kamis (14/3/2024).
Penundaan ini mengagetkan sekaligus tampak ironis. Sebab regulasi tersebut terbilang masih gres lantaran resmi berlaku pada Minggu (10/3/2024) alias baru berumur empat hari. Penundaan itu terpaksa dilakukan lantaran aturan tersebut mendapat penolakan dari publik. Namun dalam bahasa yang lebih halus, pemerintah berdalih penundaan itu lebih dikarenakan untuk merespons masukan-masukan dari masyarakat.
Kini, Permendag No 36 yang intinya menggeser pengawasan impor dari awalnya post-border ke border serta kemudahan impor barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) seolah tak 'bergigi'. Aturan pembatasan bawaan barang elektronik, alas kaki, barang tekstil, tas, serta sepatu yang biasanya sebagai cenderamata dari bepergian di luar negeri pun belum sepenuhnya berarti.
Ibarat makanan, Permendag ini mogol. Makanan mogol tak enak disantap karena gagal matang. Bagi orang Jawa, stempel istilah mogolini kerap diasosiasikan pada singkong goreng. Singkong yang mogol ini tak nyaman sekali jika dikunyah. Sebab, secara tampilan fisik memang tampak matang atau empuk, tapi sejatinya di bagian tengah masih keras bahkan terasa agak mentah.
Mogol ini meski bagi sebagian orang mungkin hal sepele tapi sejatinya membuat kondisi menjadi tak nyaman. Apalagi, jika barang yang mogol ini dikunyah di tengah-tengah nikmatnya menyantap makanan yang diidamkan. Rasanya ingin menyudahi secepatnya saja agenda makan dan membuang barang mogol di tempat sampah.
Regulasi yang mogol tentu juga tak nyaman. Sebab, proses pembuatan regulasi telah berliku dilalui, namun di lapangan ternyata malah tak banyak memberi arti. Bahkan terkesan mendapat antipati publik. Ini tentu sebuah kerugian karena menjadi langkah mundur dan pemerintah dipaksa untuk berpikir ulang untuk merevisinya. Kalau pemerintah bersikeras dengan nekat memberlakukan, tentu efeknya kian runyam. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang, pemerintah bisa jadi bulan-bulanan tak berkesudahan.
Permendag No 36 juga secara fisik jelas telah dianggap lengkap dan rapi karena telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam proses pembuatan aturan. Lantas kenapa regulasi yang dipikirkan oleh banyak orang pintar itu masih begitu rapuh saat diimplementasikan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu membutuhkan diskusi yang panjang. Namun yang membuat publik kian menjadi heran, terbitnya regulasi-regulasi yang rapuh itu seolah terus berulang.
Menilik kasus ke belakang, sebenarnya penundaan, pembatalan atau penarikan sebuah aturan bukan kali ini saja terjadi di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Awal 2017 silam, Presiden Jokowi meminta aturan kenaikan tarif BPKB, STNK dan SIM yang naik hingga 300% direvisi. Kenaikan ini sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan kepolisian. PP sudah diteken oleh Jokowi pada 6 Desember 2016 dan berlaku mulai 6 Januari 2017.
Singkatnya usia kebijakan publik ini juga pernah terjadi kala pemerintah terburu-buru membuat aturan terkait rekrutmen pegawai setara pegawai PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada 2019. Sesuai pengumuman, pendaftaran PPPK dibuka pada 10 Februari 2019, namun pada hari yang sama terpaksa ditunda lantaran Peraturan Menteri PAN-RB atau yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang PPPK belum bisa terbit.
Demikian juga pada keputusan tarif tol ruas Prof Dr Ir Sedyatmo (arah Bandara Soekarno-Hatta) yang telah diumumkan akan naik per 14 Februari 2019 sesuai Keputusan Menteri PU Nomor 121/KPTS/M/2019 tertanggal 6 Februari 2019. Namun dengan alasan ingin memberikan masa sosialisasi yang lebih panjang ke masyarakat, regulasi dibatalkan sehari jelang diberlakukan.
Di masa pandemi Covid-19, bolak baliknya regulasi yang membalut berbagai kebijakan publik bahkan kian menjadi-jadi. Baik soal aturan vaksin, pembatasan aktivitas masyarakat, pengaturan transportasi umum, penyebutan istilah dan lain sebagainya. Demikian juga pada aturan soal libur atau cuti bersama dan kenaikan BBM, pemerintah kerap kali goyah alias tidak matang dalam membuat kebijakan.
Selain berdampak mengacaukan kognisi publik, tidak kokohnya kebijakan itu juga menyisakan kekhawatiran mendalam akan reputasi pemerintah. Sangat mungkin, rakyat kemudian akan menilai bahwa kebijakan begitu mudah diterbitkan lantaran dibuat asal-asalan, dikerjakan dengan sistem kebut semalam atau bahkan hanya bertujuan memenuhi pesanan dari kepentingan tertentu. Hadirnya relasi tiga unsur yakni pelaku, isi, dan lingkungan yang seharusnya sangat erat dalam membuat kebijakan seperti dikonsepsikan oleh Dunn (2003) pun menjadi samar bahkan tak tampak sekali.
Sekali lagi, Permendag No 36 memang telah benar-benar selesai diproduksi dan akhirnya terbit. Namun apakah tiga elemen utama pembangun kebijakan publik itu apakah benar sudah dipenuhi, terutama dari pendekatan lingkungan? Tentu ini perlu dijawab secara komprehensif oleh pemerintah. Namun melihat efek yang bernotasi cenderung negatif terhadap Permendag No 36, tampaknya regulasi ini belum sepenuhnya disiapkan dengan sangat matang.
Pembuatan Permendag No 36 memang telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam pembuatan regulasi. Namun gagalnya regulasi menjangkar (anchor) ke benak publik jelas menandakan ada yang tidak beres dari aspek subtansial. Soal subtansi ini berkaitan erat dengan isi butir-butir aturan. Sudah seharusnya, setiap huruf, kata dan kalimat yang ada dalam aturan bukan sekadar berarti kumpulan atau susunan. Isi aturan tersebut sejatinya adalah hasil kesepakatan bersama antara pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat undang-undang termasuk dalam penggunaan kekuasaan memaksa (coercive power) dengan rakyat.
Kesepakatan ini pun juga tidak datang dalam waktu semalam. Tentu untuk membangun sistem dan nilai-nilai baru yang kuat plus mengikat ini dibutuhkan upaya penyadaran bersama disertai dengan proses komunikasi publik secara tepat. Dari komunikasi yang memadai ini tentunya akan memunculkan proses dialogis, partisipatif, dan deliberatif.
Rakyat pada hal ini tak sekadar diposisikan secara pasif sebagai objek atau sasaran sebuah aturan. Justru mereka diajak aktif dalam memberi masukan dan pertimbangan sehingga rumusan akhir yang terciptakan benar-benar mewakili situasi batin dan tersambung dengan kehendak besar pemerintah.
Pemerintah sendiri kita yakini tentu tak ingin membuat regulasi yang akhirnya sekadar menjadi 'macan ompong'. Karena bagaimana pun jika berpijak dari aspek aksiologis, kebijakan jelas dimuarakan pada nilai-nilai yang bertujuan memberikan dampak baik kepada masyarakat. Namun aspek filosofi ini perlu diterjemahkan dengan cara-cara atau metodologi yang detail dan strategis.
Dari sisi komunikasi publik misalnya, kita belum melihat pemerintah sangat serius melakukan pendekatan-pendekatan yang taktis kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial dan internet misalnya. Baik itu sejak dalam proses pembuatan regulasi sampai pada tahapan sosialisasi. Ini setidaknya dibuktikan dengan banyaknya para WNI yang merasa sangat kaget dan baru tahu dengan kebijakan baru ketika mereka kembali ke Indonesia.
Kekagetan mereka beralasan. Sebab ada hal-hal sepele seperti sepatu, perangkat elektronik, baju, tas dan sebagainya yang tiba-tiba dibatasi seolah tanpa ada sosialisasi.
Program sosialisasi memang sudah dilakukan dari level menteri hingga petugas paling bawah, seperti yang tampak pada Pos Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, baru-baru ini. Namun apakah semuanya sudah dipikirkan efektivitasnya dengan mempertimbangkan waktu sosialisasi yang cukup mepet.
Sedang jika melihat lampiran isi Permendag No 36 tersebut, ada banyak sekali barang-barang impor yang dibatasi. Tak hanya soal sepatu dan tas, tapi juga ada hewan dan produk hewan, beras, jagung, mutiara, bawang putih hingga kertas. Begitu detail dan banyaknya poin-poin aturan itu sudah semestinya dikomunikasi secara masif. Agar cepat menjangkar ke benak publik, tentu butuh cara sosialisasi yang taktis dan bahkan interaktif.
Permendag No 36 adalah sebuah ikhtiar pemerintah menjaga keseimbangan antara nilai ekspor dan impor. Niat mulia untuk melindungi produk dan perdagangan dalam negeri itu butuh cara-cara yang tak sederhana karena hadirnya tatanan baru ini jelas mengubah kebiasaan publik.
Meski revisi atas sebuah regulasi bukanlah kartu mati, namun Permendag No 36 pun bisa jadi pelajaran berharga akan pentingnya membuat aturan yang benar-benar komprehensif dari berbagai sisi, sehingga tidak terkesan asal terbit dengan model kerja kebut semalam. Karena ibarat makanan yang mogol, meski tampak bagus, namun isinya justru tak banyak memberikan kemanfaatan. Tentu sayang bukan? (*)
Abdul Hakim
Jurnalis Sindonews.com
Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penundaan ini mengagetkan sekaligus tampak ironis. Sebab regulasi tersebut terbilang masih gres lantaran resmi berlaku pada Minggu (10/3/2024) alias baru berumur empat hari. Penundaan itu terpaksa dilakukan lantaran aturan tersebut mendapat penolakan dari publik. Namun dalam bahasa yang lebih halus, pemerintah berdalih penundaan itu lebih dikarenakan untuk merespons masukan-masukan dari masyarakat.
Kini, Permendag No 36 yang intinya menggeser pengawasan impor dari awalnya post-border ke border serta kemudahan impor barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) seolah tak 'bergigi'. Aturan pembatasan bawaan barang elektronik, alas kaki, barang tekstil, tas, serta sepatu yang biasanya sebagai cenderamata dari bepergian di luar negeri pun belum sepenuhnya berarti.
Ibarat makanan, Permendag ini mogol. Makanan mogol tak enak disantap karena gagal matang. Bagi orang Jawa, stempel istilah mogolini kerap diasosiasikan pada singkong goreng. Singkong yang mogol ini tak nyaman sekali jika dikunyah. Sebab, secara tampilan fisik memang tampak matang atau empuk, tapi sejatinya di bagian tengah masih keras bahkan terasa agak mentah.
Mogol ini meski bagi sebagian orang mungkin hal sepele tapi sejatinya membuat kondisi menjadi tak nyaman. Apalagi, jika barang yang mogol ini dikunyah di tengah-tengah nikmatnya menyantap makanan yang diidamkan. Rasanya ingin menyudahi secepatnya saja agenda makan dan membuang barang mogol di tempat sampah.
Regulasi yang mogol tentu juga tak nyaman. Sebab, proses pembuatan regulasi telah berliku dilalui, namun di lapangan ternyata malah tak banyak memberi arti. Bahkan terkesan mendapat antipati publik. Ini tentu sebuah kerugian karena menjadi langkah mundur dan pemerintah dipaksa untuk berpikir ulang untuk merevisinya. Kalau pemerintah bersikeras dengan nekat memberlakukan, tentu efeknya kian runyam. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang, pemerintah bisa jadi bulan-bulanan tak berkesudahan.
Permendag No 36 juga secara fisik jelas telah dianggap lengkap dan rapi karena telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam proses pembuatan aturan. Lantas kenapa regulasi yang dipikirkan oleh banyak orang pintar itu masih begitu rapuh saat diimplementasikan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu membutuhkan diskusi yang panjang. Namun yang membuat publik kian menjadi heran, terbitnya regulasi-regulasi yang rapuh itu seolah terus berulang.
Menilik kasus ke belakang, sebenarnya penundaan, pembatalan atau penarikan sebuah aturan bukan kali ini saja terjadi di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Awal 2017 silam, Presiden Jokowi meminta aturan kenaikan tarif BPKB, STNK dan SIM yang naik hingga 300% direvisi. Kenaikan ini sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan kepolisian. PP sudah diteken oleh Jokowi pada 6 Desember 2016 dan berlaku mulai 6 Januari 2017.
Singkatnya usia kebijakan publik ini juga pernah terjadi kala pemerintah terburu-buru membuat aturan terkait rekrutmen pegawai setara pegawai PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada 2019. Sesuai pengumuman, pendaftaran PPPK dibuka pada 10 Februari 2019, namun pada hari yang sama terpaksa ditunda lantaran Peraturan Menteri PAN-RB atau yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang PPPK belum bisa terbit.
Demikian juga pada keputusan tarif tol ruas Prof Dr Ir Sedyatmo (arah Bandara Soekarno-Hatta) yang telah diumumkan akan naik per 14 Februari 2019 sesuai Keputusan Menteri PU Nomor 121/KPTS/M/2019 tertanggal 6 Februari 2019. Namun dengan alasan ingin memberikan masa sosialisasi yang lebih panjang ke masyarakat, regulasi dibatalkan sehari jelang diberlakukan.
Di masa pandemi Covid-19, bolak baliknya regulasi yang membalut berbagai kebijakan publik bahkan kian menjadi-jadi. Baik soal aturan vaksin, pembatasan aktivitas masyarakat, pengaturan transportasi umum, penyebutan istilah dan lain sebagainya. Demikian juga pada aturan soal libur atau cuti bersama dan kenaikan BBM, pemerintah kerap kali goyah alias tidak matang dalam membuat kebijakan.
Selain berdampak mengacaukan kognisi publik, tidak kokohnya kebijakan itu juga menyisakan kekhawatiran mendalam akan reputasi pemerintah. Sangat mungkin, rakyat kemudian akan menilai bahwa kebijakan begitu mudah diterbitkan lantaran dibuat asal-asalan, dikerjakan dengan sistem kebut semalam atau bahkan hanya bertujuan memenuhi pesanan dari kepentingan tertentu. Hadirnya relasi tiga unsur yakni pelaku, isi, dan lingkungan yang seharusnya sangat erat dalam membuat kebijakan seperti dikonsepsikan oleh Dunn (2003) pun menjadi samar bahkan tak tampak sekali.
Sekali lagi, Permendag No 36 memang telah benar-benar selesai diproduksi dan akhirnya terbit. Namun apakah tiga elemen utama pembangun kebijakan publik itu apakah benar sudah dipenuhi, terutama dari pendekatan lingkungan? Tentu ini perlu dijawab secara komprehensif oleh pemerintah. Namun melihat efek yang bernotasi cenderung negatif terhadap Permendag No 36, tampaknya regulasi ini belum sepenuhnya disiapkan dengan sangat matang.
Pembuatan Permendag No 36 memang telah memenuhi berbagai aspek prosedural dalam pembuatan regulasi. Namun gagalnya regulasi menjangkar (anchor) ke benak publik jelas menandakan ada yang tidak beres dari aspek subtansial. Soal subtansi ini berkaitan erat dengan isi butir-butir aturan. Sudah seharusnya, setiap huruf, kata dan kalimat yang ada dalam aturan bukan sekadar berarti kumpulan atau susunan. Isi aturan tersebut sejatinya adalah hasil kesepakatan bersama antara pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat undang-undang termasuk dalam penggunaan kekuasaan memaksa (coercive power) dengan rakyat.
Kesepakatan ini pun juga tidak datang dalam waktu semalam. Tentu untuk membangun sistem dan nilai-nilai baru yang kuat plus mengikat ini dibutuhkan upaya penyadaran bersama disertai dengan proses komunikasi publik secara tepat. Dari komunikasi yang memadai ini tentunya akan memunculkan proses dialogis, partisipatif, dan deliberatif.
Rakyat pada hal ini tak sekadar diposisikan secara pasif sebagai objek atau sasaran sebuah aturan. Justru mereka diajak aktif dalam memberi masukan dan pertimbangan sehingga rumusan akhir yang terciptakan benar-benar mewakili situasi batin dan tersambung dengan kehendak besar pemerintah.
Pemerintah sendiri kita yakini tentu tak ingin membuat regulasi yang akhirnya sekadar menjadi 'macan ompong'. Karena bagaimana pun jika berpijak dari aspek aksiologis, kebijakan jelas dimuarakan pada nilai-nilai yang bertujuan memberikan dampak baik kepada masyarakat. Namun aspek filosofi ini perlu diterjemahkan dengan cara-cara atau metodologi yang detail dan strategis.
Dari sisi komunikasi publik misalnya, kita belum melihat pemerintah sangat serius melakukan pendekatan-pendekatan yang taktis kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial dan internet misalnya. Baik itu sejak dalam proses pembuatan regulasi sampai pada tahapan sosialisasi. Ini setidaknya dibuktikan dengan banyaknya para WNI yang merasa sangat kaget dan baru tahu dengan kebijakan baru ketika mereka kembali ke Indonesia.
Kekagetan mereka beralasan. Sebab ada hal-hal sepele seperti sepatu, perangkat elektronik, baju, tas dan sebagainya yang tiba-tiba dibatasi seolah tanpa ada sosialisasi.
Program sosialisasi memang sudah dilakukan dari level menteri hingga petugas paling bawah, seperti yang tampak pada Pos Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, baru-baru ini. Namun apakah semuanya sudah dipikirkan efektivitasnya dengan mempertimbangkan waktu sosialisasi yang cukup mepet.
Sedang jika melihat lampiran isi Permendag No 36 tersebut, ada banyak sekali barang-barang impor yang dibatasi. Tak hanya soal sepatu dan tas, tapi juga ada hewan dan produk hewan, beras, jagung, mutiara, bawang putih hingga kertas. Begitu detail dan banyaknya poin-poin aturan itu sudah semestinya dikomunikasi secara masif. Agar cepat menjangkar ke benak publik, tentu butuh cara sosialisasi yang taktis dan bahkan interaktif.
Permendag No 36 adalah sebuah ikhtiar pemerintah menjaga keseimbangan antara nilai ekspor dan impor. Niat mulia untuk melindungi produk dan perdagangan dalam negeri itu butuh cara-cara yang tak sederhana karena hadirnya tatanan baru ini jelas mengubah kebiasaan publik.
Meski revisi atas sebuah regulasi bukanlah kartu mati, namun Permendag No 36 pun bisa jadi pelajaran berharga akan pentingnya membuat aturan yang benar-benar komprehensif dari berbagai sisi, sehingga tidak terkesan asal terbit dengan model kerja kebut semalam. Karena ibarat makanan yang mogol, meski tampak bagus, namun isinya justru tak banyak memberikan kemanfaatan. Tentu sayang bukan? (*)
Abdul Hakim
Jurnalis Sindonews.com
Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(abd)