Sebelum Kata-Kata Berakhir

Rabu, 20 Maret 2024 - 06:59 WIB
loading...
Sebelum Kata-Kata Berakhir
Foto: Istimewa
A A A
Alexander Robert Nainggolan
Staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Kota Administrasi Jakarta Barat

BERAPA lamakah umur sebuah tulisan? Seratus tahun; seribu tahun? Setidaknya melalui tulisan, ungkapan bahasa latin itu kembali bergema: scripta manent, verba volant (yang ditulis akan abadi, yang terucap akan berlalu sebagai angin). Dan kita berhadapkan dengan buku terakhir, yang sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya Goenawan Mohamad (GM), jika dirinya akan “pensiun” menuliskan Catatan Pinggir setelah 46 tahun menyelipkannya dalam terbitan majalah nasional, setiap minggu, setiap edisi.

baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”

Yang terbayang oleh GM adalah semacam “ketakutan”: jika ia hanya sekadar melakukan pengulangan-pengulangan bagi suatu tema, atau dirinya memerlukan banyak ruang untuk menjelaskan ulang pelbagai mitos, sejarah—yang barangkali tak pernah dibaca atau diketahui oleh generasi-generasi setelahnya.

Persoalan pembaca dengan panjangnya gap antargenerasi, persilangan antara ihwal satu dengan lainnya pula yang membuatnya berhenti dengan 2.027 tulisan, 1,5 juta kata, 15 jilid buku. Dan ia memilih untuk berhenti di usia 82 tahun. Barangkali ini sebuah prestasi yang luar biasa, bagaimana kegigihan seorang penulis untuk tetap setia pada jalan “sunyi” kemudian keluar-masuk dalam pusaran sejarah, menguliti jejak literer dari setiap persimpangan, tergugah dalam peristiwa kecil namun meninggalkan makna yang luas.

Dan ia pun berangkat dari banyak kisah: perwayangan, mitos-mitos, cerita rakyat atau sebuah puisi dari penyair. Agaknya kemampuan membaca, yang diyakini GM sebagai rahmat—berkelindan dengan sejumlah esai yang diciptakannya. Menurut saya, teknik penulisan yang dilakukannya serupa dengan bola salju yang menggelinding hingga besar dan meluas. Ia bisa berpijak dari hal-hal kecil, yang luput dari kebanyakan orang, namun pada akhirnya mengunci pada khazanah atau kisah-kisah yang makro.

Demikianlah, Catatan Pinggir yang dituliskan GM, hampir setiap minggu, memasuki setiap sudut, segala lekuk kehidupan. Ia bisa saja berkabar tentang seseorang, namun pada akhirnya ia menyemai kembali batasan-batasan yang melingkupinya. GM bisa saja memulainya dengan sebuah puisi yang diketahui khalayak umum, katakanlah—tapi pada lingkaran tulisannya ia membuka ruang-ruang lain yang tak pernah terlihat dan digugah oleh kesadaran kita.

Simak saja bagaimana upaya GM untuk mengenang penyair Toeti Heraty: Saya yakin sajak-sajaknya akan lebih dikenal ketimbang karya filsafat yang hanya kadang-kadang lewat. Para mahasiswa dan pengajar filsafat di sekitarnya—yang umumnya cuma kenal sedikit sastra dan seni—mungkin tak menyadari pentingnya pengalaman estetis bagi pemikiran; tapoi Toeti lain. (hal. 143) Pergelutan antara puisi dan filsafat yang kembali dijabarkan lebih lanjut, perdebatan sejak purba saat Plato menyebutkan adanya permusuhan antara puisi dan filsafat.

baca juga: Berapa Jumlah Judul Buku Baru yang Terbit di Indonesia Setiap Tahun? Ini Datanya

Suatu hal, lanjut GM: Puisi hanya memperkenalkan kita dengan apa yang tak kekal, tak stabil, mungkin tak faktual: imaji senja di Pelabuhan kecil dan bulan di atas kuburan. Maka yang berkuasa adalah filosof, yang dengan Logos membawa Tata. (hal. 144)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1203 seconds (0.1#10.140)