Sebelum Kata-Kata Berakhir
loading...
A
A
A
Alexander Robert Nainggolan
Staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Kota Administrasi Jakarta Barat
BERAPA lamakah umur sebuah tulisan? Seratus tahun; seribu tahun? Setidaknya melalui tulisan, ungkapan bahasa latin itu kembali bergema: scripta manent, verba volant (yang ditulis akan abadi, yang terucap akan berlalu sebagai angin). Dan kita berhadapkan dengan buku terakhir, yang sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya Goenawan Mohamad (GM), jika dirinya akan “pensiun” menuliskan Catatan Pinggir setelah 46 tahun menyelipkannya dalam terbitan majalah nasional, setiap minggu, setiap edisi.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Yang terbayang oleh GM adalah semacam “ketakutan”: jika ia hanya sekadar melakukan pengulangan-pengulangan bagi suatu tema, atau dirinya memerlukan banyak ruang untuk menjelaskan ulang pelbagai mitos, sejarah—yang barangkali tak pernah dibaca atau diketahui oleh generasi-generasi setelahnya.
Persoalan pembaca dengan panjangnya gap antargenerasi, persilangan antara ihwal satu dengan lainnya pula yang membuatnya berhenti dengan 2.027 tulisan, 1,5 juta kata, 15 jilid buku. Dan ia memilih untuk berhenti di usia 82 tahun. Barangkali ini sebuah prestasi yang luar biasa, bagaimana kegigihan seorang penulis untuk tetap setia pada jalan “sunyi” kemudian keluar-masuk dalam pusaran sejarah, menguliti jejak literer dari setiap persimpangan, tergugah dalam peristiwa kecil namun meninggalkan makna yang luas.
Dan ia pun berangkat dari banyak kisah: perwayangan, mitos-mitos, cerita rakyat atau sebuah puisi dari penyair. Agaknya kemampuan membaca, yang diyakini GM sebagai rahmat—berkelindan dengan sejumlah esai yang diciptakannya. Menurut saya, teknik penulisan yang dilakukannya serupa dengan bola salju yang menggelinding hingga besar dan meluas. Ia bisa berpijak dari hal-hal kecil, yang luput dari kebanyakan orang, namun pada akhirnya mengunci pada khazanah atau kisah-kisah yang makro.
Demikianlah, Catatan Pinggir yang dituliskan GM, hampir setiap minggu, memasuki setiap sudut, segala lekuk kehidupan. Ia bisa saja berkabar tentang seseorang, namun pada akhirnya ia menyemai kembali batasan-batasan yang melingkupinya. GM bisa saja memulainya dengan sebuah puisi yang diketahui khalayak umum, katakanlah—tapi pada lingkaran tulisannya ia membuka ruang-ruang lain yang tak pernah terlihat dan digugah oleh kesadaran kita.
Simak saja bagaimana upaya GM untuk mengenang penyair Toeti Heraty: Saya yakin sajak-sajaknya akan lebih dikenal ketimbang karya filsafat yang hanya kadang-kadang lewat. Para mahasiswa dan pengajar filsafat di sekitarnya—yang umumnya cuma kenal sedikit sastra dan seni—mungkin tak menyadari pentingnya pengalaman estetis bagi pemikiran; tapoi Toeti lain. (hal. 143) Pergelutan antara puisi dan filsafat yang kembali dijabarkan lebih lanjut, perdebatan sejak purba saat Plato menyebutkan adanya permusuhan antara puisi dan filsafat.
baca juga: Berapa Jumlah Judul Buku Baru yang Terbit di Indonesia Setiap Tahun? Ini Datanya
Suatu hal, lanjut GM: Puisi hanya memperkenalkan kita dengan apa yang tak kekal, tak stabil, mungkin tak faktual: imaji senja di Pelabuhan kecil dan bulan di atas kuburan. Maka yang berkuasa adalah filosof, yang dengan Logos membawa Tata. (hal. 144)
Pun saat ia mengisahkan seorang Napoleon—kaisar yang berhasil mengubah Prancis, Eropa—namun menimbulkan kekecewaan bagi sebagian besar orang juga. GM menulis: Orang progresif di Eropa di awal abad ke-19 melihat Napoleon sebuah harapan. Beethoven menulis Simfoni Ketiganya sebagai penghormatan buat pemimpin Prancis ini. Ia melihat Bonaparte pengejawantahan “cita-cita demokrasi dan antiminarki”.
Di tahun 1804 Beethoven mencabut penghormatannya: Napoleon mengangkat diri sendiri menjadi empereur des Francais. Ketika mendengar berita itu, Beethoven berteriak: “Dia ternyata tak lebih dari makhluk fana biasa!” Ia robek partiture yang digubahnya yang semula bertuliskan nama “Bonaparte”(hal. 93)
Jika saya ibaratkan membaca Catatan Pinggir seperti sedang mengupas bawang merah, pertama mungkin tak berasa apa-apa di mata, namun setelah tulisan demi tulisan berlalu ada semacam riak “kepedihan” di mata. Memang, mulanya GM terkesan tak sepenuhnya melawan, sebagaimana “protes-protes” yang ia layangkan, tapi justru di akhir tulisan “menyentak”. Memberikan semacam guncangan dan kecamuk di dada kita. Barangkali setelah membacanya kita akan menyadari, jika ada peristiwa yang mengerikan sekaligus menggetarkan di suatu belahan dunia.
Juga saat berhadapan dengan kekerasan yang terjadi di belahan dunia manapun, yang mulanya sebagai akar dendam—dalam kaca mata GM: Kekerasan hanya bisa menyelamatkan manusia dan dunia jika keadilan mewujudkan dirinya dengan memandang orang lain, yang-bukan-kita, sebagai tubuh yang mungkin terinjak. (hal. 100)
Gumam yang Melawan
Dari pelbagai tulisannya, GM memang lebih meraba atau memilih warna yang abu-abu. Baginya putih tak mesti melulu putih, demikian sebaliknya. Dalam beberapa tulisan yang membahas GM, disebutkan pula jika dirinya memang ambigu. Tapi justru karena keambiguannya tersebut kita kembali memetakan apa yang coba ditelaah GM, menguraikannya jalin temali dari esai-esainya dan merangkaikannya sendiri.
baca juga: Haedar Nashir Luncurkan Buku Jalan Baru Moderasi Beragama
Maka apa yang pernah diungkapkan pula oleh GM, jika memang dirinya mengambil pelbagai esainya dari realitas yang terjadi. Setiap peristiwa seakan turut dipulas oleh rangkaian kalimatnya. Dan ia mengakui jika untuk membuat satu tulisan esai di Catatan Pinggir sendiri memerlukan kurang lebih lima buku sekaligus.
Sebagai sebuah gumam yang panjang, gumam yang menguliti setiap tragedi dari sejarah kehidupan manusia. Sejarah yang dibangun dari setiap tetesan darah, kekalahan demi kekalahan. Uniknya, GM memang dalam tulisannya bisa saja melompat dari satu kisah ke kisah lainnya. Meskipun di antara kisah-kisah yang tersuguh ada benang merah, mungkin sekadar napak tilas. Tapi justru memperkuat gagasan yang ditawarkannya, walaupun ia tak memberikan semacam kesimpulan bagi tulisannya.
GM dengan paparannya seperti memberikan “kemerdekaan” bagi pembacanya untuk menyaring inti sari dari sejumput kisah, sekelumit sejarah yang hadir. Banyak tulisannya yang dibiarkan “mengambang”—meskipun GM dengan rinci menjabarkan “data” yang dimilikinya. Setidaknya GM telah berupaya untuk menuliskan pelbagai puzzle sejarah, mitos, sejumlah tragedi, pelbagai puisi dan prosa yang telah dilupakan banyak orang, pun kisah orang-orang yang meninggalkan pembaruan bagi dunia.
Catatan Pinggir GM, saya kira tetap menjadi rujukan untuk menemukan sesuatu, yang mungkin pula tak pernah bersifat final atau memberikan kepastian/kesimpulan terhadap suatu hal. Namun, tulisan-tulisannya sepanjang 46 tahun telah menjelma jadi artefak yang memberi referensi bagi kehidupan sosial juga umat manusia sepanjang zaman.
baca juga: Dibantu Buku dari MNC Peduli, Anak-anak LKSA Rumah Pengharapan Baru Antusias
Sebelum kata-kata berakhir dituliskan GM, ia telah memberikan semacam ensiklopedia yang menjamah pelbagai sisi kehidupan dengan tafsiran yang kaya. Bahan bacaan yang “gurih” bagi generasi setelahnya. Sebagaimana yang dingkap GM dalam pembuka buku ini:
Dengan kiasannya, esai, sebagaimana puisi, tak menyorotkan kesimpulan yang obyektif. Tapi di baliknya membayang gerak “kebenaran” yang mengatasi subyektivitas. Dengan itu, “kebenaran” yang sudah aus (dalam kata-kata Nietzsche, ibarat “mata uang gobang yang sudah hilang gambarnya dan hanya jadi logam biasa”) bisa punya nilai. (hal. xviii)
Judul Buku : Catatan Pinggir 15 (kumpulan tulisan)
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Tempo Publishing
Tahun : Mei 2023
Tebal : xviii + 502 halaman
Staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Kota Administrasi Jakarta Barat
BERAPA lamakah umur sebuah tulisan? Seratus tahun; seribu tahun? Setidaknya melalui tulisan, ungkapan bahasa latin itu kembali bergema: scripta manent, verba volant (yang ditulis akan abadi, yang terucap akan berlalu sebagai angin). Dan kita berhadapkan dengan buku terakhir, yang sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya Goenawan Mohamad (GM), jika dirinya akan “pensiun” menuliskan Catatan Pinggir setelah 46 tahun menyelipkannya dalam terbitan majalah nasional, setiap minggu, setiap edisi.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Yang terbayang oleh GM adalah semacam “ketakutan”: jika ia hanya sekadar melakukan pengulangan-pengulangan bagi suatu tema, atau dirinya memerlukan banyak ruang untuk menjelaskan ulang pelbagai mitos, sejarah—yang barangkali tak pernah dibaca atau diketahui oleh generasi-generasi setelahnya.
Persoalan pembaca dengan panjangnya gap antargenerasi, persilangan antara ihwal satu dengan lainnya pula yang membuatnya berhenti dengan 2.027 tulisan, 1,5 juta kata, 15 jilid buku. Dan ia memilih untuk berhenti di usia 82 tahun. Barangkali ini sebuah prestasi yang luar biasa, bagaimana kegigihan seorang penulis untuk tetap setia pada jalan “sunyi” kemudian keluar-masuk dalam pusaran sejarah, menguliti jejak literer dari setiap persimpangan, tergugah dalam peristiwa kecil namun meninggalkan makna yang luas.
Dan ia pun berangkat dari banyak kisah: perwayangan, mitos-mitos, cerita rakyat atau sebuah puisi dari penyair. Agaknya kemampuan membaca, yang diyakini GM sebagai rahmat—berkelindan dengan sejumlah esai yang diciptakannya. Menurut saya, teknik penulisan yang dilakukannya serupa dengan bola salju yang menggelinding hingga besar dan meluas. Ia bisa berpijak dari hal-hal kecil, yang luput dari kebanyakan orang, namun pada akhirnya mengunci pada khazanah atau kisah-kisah yang makro.
Demikianlah, Catatan Pinggir yang dituliskan GM, hampir setiap minggu, memasuki setiap sudut, segala lekuk kehidupan. Ia bisa saja berkabar tentang seseorang, namun pada akhirnya ia menyemai kembali batasan-batasan yang melingkupinya. GM bisa saja memulainya dengan sebuah puisi yang diketahui khalayak umum, katakanlah—tapi pada lingkaran tulisannya ia membuka ruang-ruang lain yang tak pernah terlihat dan digugah oleh kesadaran kita.
Simak saja bagaimana upaya GM untuk mengenang penyair Toeti Heraty: Saya yakin sajak-sajaknya akan lebih dikenal ketimbang karya filsafat yang hanya kadang-kadang lewat. Para mahasiswa dan pengajar filsafat di sekitarnya—yang umumnya cuma kenal sedikit sastra dan seni—mungkin tak menyadari pentingnya pengalaman estetis bagi pemikiran; tapoi Toeti lain. (hal. 143) Pergelutan antara puisi dan filsafat yang kembali dijabarkan lebih lanjut, perdebatan sejak purba saat Plato menyebutkan adanya permusuhan antara puisi dan filsafat.
baca juga: Berapa Jumlah Judul Buku Baru yang Terbit di Indonesia Setiap Tahun? Ini Datanya
Suatu hal, lanjut GM: Puisi hanya memperkenalkan kita dengan apa yang tak kekal, tak stabil, mungkin tak faktual: imaji senja di Pelabuhan kecil dan bulan di atas kuburan. Maka yang berkuasa adalah filosof, yang dengan Logos membawa Tata. (hal. 144)
Pun saat ia mengisahkan seorang Napoleon—kaisar yang berhasil mengubah Prancis, Eropa—namun menimbulkan kekecewaan bagi sebagian besar orang juga. GM menulis: Orang progresif di Eropa di awal abad ke-19 melihat Napoleon sebuah harapan. Beethoven menulis Simfoni Ketiganya sebagai penghormatan buat pemimpin Prancis ini. Ia melihat Bonaparte pengejawantahan “cita-cita demokrasi dan antiminarki”.
Di tahun 1804 Beethoven mencabut penghormatannya: Napoleon mengangkat diri sendiri menjadi empereur des Francais. Ketika mendengar berita itu, Beethoven berteriak: “Dia ternyata tak lebih dari makhluk fana biasa!” Ia robek partiture yang digubahnya yang semula bertuliskan nama “Bonaparte”(hal. 93)
Jika saya ibaratkan membaca Catatan Pinggir seperti sedang mengupas bawang merah, pertama mungkin tak berasa apa-apa di mata, namun setelah tulisan demi tulisan berlalu ada semacam riak “kepedihan” di mata. Memang, mulanya GM terkesan tak sepenuhnya melawan, sebagaimana “protes-protes” yang ia layangkan, tapi justru di akhir tulisan “menyentak”. Memberikan semacam guncangan dan kecamuk di dada kita. Barangkali setelah membacanya kita akan menyadari, jika ada peristiwa yang mengerikan sekaligus menggetarkan di suatu belahan dunia.
Juga saat berhadapan dengan kekerasan yang terjadi di belahan dunia manapun, yang mulanya sebagai akar dendam—dalam kaca mata GM: Kekerasan hanya bisa menyelamatkan manusia dan dunia jika keadilan mewujudkan dirinya dengan memandang orang lain, yang-bukan-kita, sebagai tubuh yang mungkin terinjak. (hal. 100)
Gumam yang Melawan
Dari pelbagai tulisannya, GM memang lebih meraba atau memilih warna yang abu-abu. Baginya putih tak mesti melulu putih, demikian sebaliknya. Dalam beberapa tulisan yang membahas GM, disebutkan pula jika dirinya memang ambigu. Tapi justru karena keambiguannya tersebut kita kembali memetakan apa yang coba ditelaah GM, menguraikannya jalin temali dari esai-esainya dan merangkaikannya sendiri.
baca juga: Haedar Nashir Luncurkan Buku Jalan Baru Moderasi Beragama
Maka apa yang pernah diungkapkan pula oleh GM, jika memang dirinya mengambil pelbagai esainya dari realitas yang terjadi. Setiap peristiwa seakan turut dipulas oleh rangkaian kalimatnya. Dan ia mengakui jika untuk membuat satu tulisan esai di Catatan Pinggir sendiri memerlukan kurang lebih lima buku sekaligus.
Sebagai sebuah gumam yang panjang, gumam yang menguliti setiap tragedi dari sejarah kehidupan manusia. Sejarah yang dibangun dari setiap tetesan darah, kekalahan demi kekalahan. Uniknya, GM memang dalam tulisannya bisa saja melompat dari satu kisah ke kisah lainnya. Meskipun di antara kisah-kisah yang tersuguh ada benang merah, mungkin sekadar napak tilas. Tapi justru memperkuat gagasan yang ditawarkannya, walaupun ia tak memberikan semacam kesimpulan bagi tulisannya.
GM dengan paparannya seperti memberikan “kemerdekaan” bagi pembacanya untuk menyaring inti sari dari sejumput kisah, sekelumit sejarah yang hadir. Banyak tulisannya yang dibiarkan “mengambang”—meskipun GM dengan rinci menjabarkan “data” yang dimilikinya. Setidaknya GM telah berupaya untuk menuliskan pelbagai puzzle sejarah, mitos, sejumlah tragedi, pelbagai puisi dan prosa yang telah dilupakan banyak orang, pun kisah orang-orang yang meninggalkan pembaruan bagi dunia.
Catatan Pinggir GM, saya kira tetap menjadi rujukan untuk menemukan sesuatu, yang mungkin pula tak pernah bersifat final atau memberikan kepastian/kesimpulan terhadap suatu hal. Namun, tulisan-tulisannya sepanjang 46 tahun telah menjelma jadi artefak yang memberi referensi bagi kehidupan sosial juga umat manusia sepanjang zaman.
baca juga: Dibantu Buku dari MNC Peduli, Anak-anak LKSA Rumah Pengharapan Baru Antusias
Sebelum kata-kata berakhir dituliskan GM, ia telah memberikan semacam ensiklopedia yang menjamah pelbagai sisi kehidupan dengan tafsiran yang kaya. Bahan bacaan yang “gurih” bagi generasi setelahnya. Sebagaimana yang dingkap GM dalam pembuka buku ini:
Dengan kiasannya, esai, sebagaimana puisi, tak menyorotkan kesimpulan yang obyektif. Tapi di baliknya membayang gerak “kebenaran” yang mengatasi subyektivitas. Dengan itu, “kebenaran” yang sudah aus (dalam kata-kata Nietzsche, ibarat “mata uang gobang yang sudah hilang gambarnya dan hanya jadi logam biasa”) bisa punya nilai. (hal. xviii)
Judul Buku : Catatan Pinggir 15 (kumpulan tulisan)
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Tempo Publishing
Tahun : Mei 2023
Tebal : xviii + 502 halaman
(hdr)