Reduksi Keluasan Spektrum Pendapat di Masyarakat Digital
loading...
A
A
A
Manusia yang komunikasinya termediasi perangkat digital. Kecepatan dan keberlimpahan sebagai karakterisitiknya, mengubah orientasinya. Yang dibutuhkan, lebih cepat dan lebih banyak bilangan kuantitatif, dalam memosisikan pendapat.
Hari ini, entah jadi kabar baik atau buruk bagi masyarakat penghuni dunia komunikasi digital. Dua pesohor musik nasional yang telah terlarut cukup lama dalam pusaran pro-kontra Covid-19, dikabarkan harus berurusan dengan Polisi. Salah satunya, bahkan harus ditahan. Ini lantaran pendapat yang beda soal Covid-19, dibalut tuduhan: ada komunitas yang jadi kaki tangan lembaga dunia.
Dan komunitas ini mengampanyekan penularan virus dalam tendensi ekonomi politik. Komunitas yang dituduh, merasa terhina. Komunitas ini berisi orang berpengetahuan, dengan pendapat yang juga dikonstitusi oleh pengetahuan.
Ketika pendapat komunitas itu beda dengan pendapat pihak lain, mestinya jadi hal yang biasa. Masalahnya, hal biasa dalam beda pendapat itu jadi perkara, ketika ada unsur hinaan. Marah jadi wajar. Maka dibanding baku hantam di jalanan, melaporkan penghina ke polisi adalah tindakan yang tak salah menurut undang-undang.
Sedangkan musisi lainnya, yang juga jadi terlapor, telah berhadapan dengan polisi. Ia tak ditahan. Itu terjadi akibat akumulasi pendapatnya, yang makin beda dengan pendapat arus utama. Lontarannya dianggap sebagai hoaks, menyiarkan telah ditemukannya obat penyembuh Covid-19. Padahal yang terjadi, berbagai upaya dan penelitian belum berhasil menemukan penangkal Covid-19. Penyebaran hoaks dikhawatirkan ciptakan harapan palsu, yang menjerumuskan masyarakat tak lagi waspada mencegah penularan.
Terhadap akumulasi pendapatnya itu, banyak pihak termasuk saya pada beberapa forum diskusi dan wawancara, turut memberikan saran: kalau tak memiliki kompetensi pada suatu substansi, sebaiknya tak melontarkan pendapat. Ini bukan soal menghalangi kebebasan berpendapat, dan setiap orang harus sepakat dengan pendapat arus utama.
Pada personal tertentu yang telah tersohor, pendapatnya jadi acuan khalayak luas. Musisi, bintang sepak bola, pesinetron maupun pesohor lainnya, pendapatnya secara emosional diikuti sekelompok orang. Sekelompok pengagum yang fanatik, bukan saja pada bidang sang pesohor.
Pada hal-hal lain di luar kesohorannya, juga dipatuhi. Karenanya pesohor harus menahan diri lontarkan pendapat. Terlebih pada bidang yang tak dikuasainya. Ini artinya, ada tanggung jawab melekat bagi pesohor.
Dalam konteks kampanye pencegahan penularan Covid-19, adanya wacana berbeda dengan arus utama, oleh mereka yang tak punya kompetensi, bisa merugikan. Ketunggalan pesan, melakukan pencegahan, tak tercapai. Namun demikian, dalam kegentingan Covid-19 pun, apakah beda pendapat perlu dihukum? Dalam spektrum beda pendapat yang mana hukuman itu ditegakkan? Persoalan dengan spektrum luas, tak mudah ditentukan. Hati-hati.
Hari ini, entah jadi kabar baik atau buruk bagi masyarakat penghuni dunia komunikasi digital. Dua pesohor musik nasional yang telah terlarut cukup lama dalam pusaran pro-kontra Covid-19, dikabarkan harus berurusan dengan Polisi. Salah satunya, bahkan harus ditahan. Ini lantaran pendapat yang beda soal Covid-19, dibalut tuduhan: ada komunitas yang jadi kaki tangan lembaga dunia.
Dan komunitas ini mengampanyekan penularan virus dalam tendensi ekonomi politik. Komunitas yang dituduh, merasa terhina. Komunitas ini berisi orang berpengetahuan, dengan pendapat yang juga dikonstitusi oleh pengetahuan.
Ketika pendapat komunitas itu beda dengan pendapat pihak lain, mestinya jadi hal yang biasa. Masalahnya, hal biasa dalam beda pendapat itu jadi perkara, ketika ada unsur hinaan. Marah jadi wajar. Maka dibanding baku hantam di jalanan, melaporkan penghina ke polisi adalah tindakan yang tak salah menurut undang-undang.
Sedangkan musisi lainnya, yang juga jadi terlapor, telah berhadapan dengan polisi. Ia tak ditahan. Itu terjadi akibat akumulasi pendapatnya, yang makin beda dengan pendapat arus utama. Lontarannya dianggap sebagai hoaks, menyiarkan telah ditemukannya obat penyembuh Covid-19. Padahal yang terjadi, berbagai upaya dan penelitian belum berhasil menemukan penangkal Covid-19. Penyebaran hoaks dikhawatirkan ciptakan harapan palsu, yang menjerumuskan masyarakat tak lagi waspada mencegah penularan.
Terhadap akumulasi pendapatnya itu, banyak pihak termasuk saya pada beberapa forum diskusi dan wawancara, turut memberikan saran: kalau tak memiliki kompetensi pada suatu substansi, sebaiknya tak melontarkan pendapat. Ini bukan soal menghalangi kebebasan berpendapat, dan setiap orang harus sepakat dengan pendapat arus utama.
Pada personal tertentu yang telah tersohor, pendapatnya jadi acuan khalayak luas. Musisi, bintang sepak bola, pesinetron maupun pesohor lainnya, pendapatnya secara emosional diikuti sekelompok orang. Sekelompok pengagum yang fanatik, bukan saja pada bidang sang pesohor.
Pada hal-hal lain di luar kesohorannya, juga dipatuhi. Karenanya pesohor harus menahan diri lontarkan pendapat. Terlebih pada bidang yang tak dikuasainya. Ini artinya, ada tanggung jawab melekat bagi pesohor.
Dalam konteks kampanye pencegahan penularan Covid-19, adanya wacana berbeda dengan arus utama, oleh mereka yang tak punya kompetensi, bisa merugikan. Ketunggalan pesan, melakukan pencegahan, tak tercapai. Namun demikian, dalam kegentingan Covid-19 pun, apakah beda pendapat perlu dihukum? Dalam spektrum beda pendapat yang mana hukuman itu ditegakkan? Persoalan dengan spektrum luas, tak mudah ditentukan. Hati-hati.
(dam)