Reduksi Keluasan Spektrum Pendapat di Masyarakat Digital

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:30 WIB
loading...
Reduksi Keluasan Spektrum Pendapat di Masyarakat Digital
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S.
A A A
Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org

APAKAH beda pendapat itu buruk dan pelontarnya layak dihina atau dihukum? Beda pendapat itu luas spektrumnya. Mulai dari beda pendapat lantaran tak sepakat dengan substansi pikiran orang lain. Wujudnya bisa seka dar pernyataan tak setuju. Walapun tak cukup bukti, sekedar ikut selera lontaran beda pendapat sah dikemukakan.

Beda pendapat macam itu dilindungi sebagai bagian hak demokrasi warga. Ini biasa saja di negara yang tak otoriter. Beda pendapat yang juga dilindungi pelontarannya di tengah khalayak adalah beda pendapat yang bertujuan mengkritisi. Sering penyampaiannya dilandasi bukti-bukti.

Tujuan penyampaiannya, ada peluang kebenaran lain seturut bukti yang tersedia. Jenis ini disebut sebagai kritik. Ini juga biasa di negara tak otoriter. Sedangkan spektrum ujung lainnya, beda pendapat yang dibalut tuduhan: orang lain adalah kaki tangan pihak tertentu, kongkalikong wujudkan tujuan yang tak transparan. Ini beda pendapat yang diikuti penghilangan martabat orang lain. Sering tanpa dasar dan bukti.

Beda pendapat jenis ini sering disebut sebagai ujaran kebencian. Tentu karena yang dituduh merasa dibenci, diposisikan di tempat tak dikehendaki oleh penuduhnya. Jika tuduhan tak berdasar itu dipercaya banyak orang, dikhawatirkan merusak reputasi pihak yang dituduh. Karenanya, beda pendapat yang berbalut tuduhan, sering berujung pada pelaporan oleh pihak yang dirugikan, pada polisi.

Demikian pula sepakat dengan pendapat arus utama. Tak berspekturum tunggal. Bisa karena memang sepaham dengan substansi yang dikemukakan orang lain. Bisa pula lantaran tak punya pilihan untuk bersuara lain. Diam biasanya akibat khawatir dirundung pemilik pendapat arus utama. Atau juga khawatir diintepretasi sebagai pendukung kelompok tertentu dengan tujuan tertentu. Diam seolah sepakat, jadi pilihan lebih baik. Bukan karena setuju.

Setidaknya itu dua gejala yang mengemuka di jagad media digital hari-hari ini. Wacana dukung-mendukung dan tuduh menuduh, deras berseliweran. Realitas yang sejati, kalau itu memang ada, jadi kabur. Keluasan spektrum beda pendapat maupun sependapat diingkari.

Bersikap mutlak pada suatu pendapat, jadi tuntutan. Mendukung atau menentang, seakan adalah sikap yang mudah ditentukan dan dinyatakan. Seakan, hanya love or hate itulah yang berlaku di dunia komunikasi digital.

Jika dikaji seksama, pendapat di media digital lebih sering dikonstitusi oleh hitungan kuantitatif. Derasnya like, repost, komentar positif yang kemudian menghasilkan wacana viral, tak jarang diintepretasi sebagai persetujuan, love pada suatu pendapat. Sedangkan luasnya caci maki, jempol terbalik, pendapat dengan tone negative, diintepretasi sebagai hate pada suatu pendapat.

Kajian mendalam terhadap kualitas makna, yang butuh waktu panjang, sering terkubur oleh kecepatan dukungan atau cercaan kuantitatif. Dialog yang didasari rasionalitas, akibat jarang dilakukan, seakan bukan lagi jadi ciri manusia hari ini.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1471 seconds (0.1#10.140)