Menghadapi Kerentanan Eksternal

Rabu, 26 September 2018 - 09:46 WIB
Menghadapi Kerentanan Eksternal
Menghadapi Kerentanan Eksternal
A A A
Desmon Silitonga
Alumnus Pascasarjana FE Universitas Indonesia

Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka dan rezim lalu lintas devisa bebas membuat perekonomian Indonesia menjadi rentan terpapar oleh setiap ketidakpastian eksternal. Gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah yang masih berlanjut sampai saat ini menjadi manifestasi dari kerentanan itu.

Berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia (JISDOR), sejak Januari sampai minggu ketiga September 2018 nilai rupiah telah melemah (depresiasi) sebesar 9,4% terhadap dolar AS. Meski lebih baik dari kinerja nilai tukar, Turki, India, Rusia, jika dibandingkan dengan nilai tukar sejumlah negara sekawasan seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, maka kinerja rupiah ini tertinggal jauh.

Sebagaimana diketahui, paparan eksternal yang memicu tekanan dan gejolak rupiah ini ialah normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) melalui penaikan suku bunga kebijakan (Federal funds rate/FFR) dan penarikan likuiditas untuk merespons perbaikan ekonomi.

Kebijakan The Fed ini diperkirakan akan berlangsung sampai 2020. Dengan kata lain, tekanan dan gejolak nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut sampai 2020. Apalagi, jika tidak ada perubahan kebijakan yang lebih fundamental.

Pergeseran Arus Modal
Normalisasi kebijakan moneter AS dan membaiknya prospek perekonomian AS memberi konsekuensi pada pergeseran arus modal global. Pasar keuangan AS cenderung menerima aliran modal masuk (capital inflow) yang tecermin dari menguatnya indeks pasar saham dan nilai tukar dolar.

Sebaliknya, pasar keuangan di kawasan emerging cenderung mengalami aliran dana keluar (capital outflow). Imbasnya, tekanan dan gejolak di pasar portofolio (saham dan obligasi) dan pasar valas tidak dapat terhindarkan. Bahkan, ekonomi Argentina dan Turki harus takluk oleh ganasnya aliran dana keluar ini.

Gejolak dan tekanan nilai tukar ini membuat beban pembayaran utang luar negeri (ULN) di kawasan emerging meningkat. Setidaknya, dalam tiga tahun ke depan, ULN yang jatuh tempo di kawasan emerging mencapai USD3,2 triliun yang didominasi oleh korporasi dari China.

Situasi makin tidak menentu imbas dari perang dagang antara AS dan China. Berbagai simulasi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menyatakan, perang dagang tidak akan memberikan keuntungan bagi siapa pun. Bahkan, berpotensi menekan kinerja pertumbuhan ekonomi global.

Meningkatnya risiko ULN ini dan eskalasi dari perang dagang membuat persepsi investor terhadap pasar keuangan di kawasan emerging menurun. Investor global memilih untuk mengurangi bobot investasinya dari aset-aset berisiko di kawasan emerging dan mengalihkannya ke kawasan dan aset yang dianggap aman (safe haven) seperti obligasi Pemerintah AS, yen Jepang, dan dolar AS.

Kondisi seperti ini pernah terjadi pada 2008, ketika krisis keuangan di AS pecah. Dalam ketidakpastian yang tinggi, persepsi investor ialah mencari aman. Lebih baik aman (likuid) meski untung kecil, daripada untung besar tetapi tidak aman (tidak likuid).

Kebijakan Fundamental
Perekonomian Indonesia juga tidak lepas dari kerentanan eksternal ini. Lihat saja, tekanan dan gejolak rupiah masih terus terjadi. Demikian juga dengan gejolak di pasar portofolio. Indeks harga saham gabungan (IHSG) telah terkoreksi sebesar 6% sejak awal tahun.

Pun begitu dengan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) yang masih cenderung merangkak naik. Imbal hasil SBN acuan tenor 10 tahun telah bertengger di level 8,5% yang membuat ongkos pemerintah untuk menerbitkan SBN sebagai instrumen penambal defisit APBN makin mahal.

Untuk menahan gejolak dan pelemahan nilai tukar ini, kebijakan jangka pendek telah dijalankan oleh Bank Indonesia. Salah satunya dengan menaikkan suku bunga kebijakan (BI-7DRR). Sejak Mei-Agustus 2018, BI-7DRR telah naik 125bps menjadi 5,5%. Bahkan, sejumlah ekonom dan analis memperkirakan bahwa BI-7DRR masih berpotensi naik sebesar 50bps lagi hingga akhir tahun ini.

Tekanan dan gejolak rupiah ini juga tidak dapat dilepaskan dari pemburukan Defisit Transaksi Berjalan (DTB). Di kuartal II-2018, DTB sebesar USD8 miliar (3% dari PDB). Memburuknya DTB ini imbas dari meningkatnya pertumbuhan impor yang tidak dapat dikompensasi oleh pertumbuhan ekspor. Sepanjang Januari-Agustus 2018 total ekspor sebesar USD119,8 miliar atau tumbuh 10% (yoy). Sementara, total impor mencapai USD123,9 miliar atau tumbuh 24,2% (yoy).

Tekanan eksternal juga turut memperburuk aliran modal dari pasar keuangan (FDI dan portofolio) yang selama ini menjadi penambal DTB. Sampai semester I-2018 total arus modal masuk hanya USD6,41 miliar. Lebih rendah dari periode yang sama tahun 2017, sebesar USD12,13 miliar.

Untuk menghentikan bleeding DTB ini, pemerintah telah menjalankan sejumlah kebijakan yang ditujukan untuk menghemat pengeluaran devisa melalui pengendalian impor, barang konsumsi dan mandatori B-20. Meski sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas kebijakan ini.

Mengingat kerentanan eksternal sudah jadi sebuah keniscayaan imbas dari keterbukaan ekonomi. Apalagi, ke depan, ketidakpastian akan makin kerap bermunculan. Bahkan, Nouriel Roubini (Dr Doom) meramalkan akan terjadi krisis keuangan lagi pada tahun 2020.

Maka, bagian kita ialah memperkuat struktur ekonomi domestik. Tentu, bukan dengan kebijakan yang adhoc. Namun, kebijakan yang lebih fundamental, berkesinambungan, dan konsisten. Pertama, memperkuat basis industri dalam negeri untuk mendorong daya saing produk ekspor.

Indonesia telah lama mengalami proses deindustrialisasi yang tecermin dari makin menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB. Selain itu, pemerintah harus mempercepat diversifikasi pasar ekspor dari tradisional dan pasar nontradisional. Perang dagang antara AS dan China bisa jadi momentum untuk melakukannya.

Kedua, konsisten memperbaiki iklim berusaha dan investasi. Harapannya ini akan merangsang lebih banyak investasi langsung (FDI) yang bersifat jangka panjang dan bernilai tambah. Tidak hanya sekadar investasi portofolio yang bersifat jangka pendek dan spekulatif.

Ketiga, memperbaiki kelemahan di sektor pariwisata. Meski Indonesia memiliki pesona alam yang luar biasa, Indonesia masih tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand untuk menarik devisa dari sektor ini.

Keempat, mendorong pendalaman sektor keuangan melalui pemberdayaan investor domestik, khususnya investor ritel. Alhasil, pasar portofolio, khususnya pasar SBN tidak terus didominasi oleh investor asing.

Untuk itu, pemerintah harus makin memperbesar porsi instrumen SBN ritel. Penerbitan Saving Bond Ritel (SBR) seri 004 yang mencapai USD7,3 triliun bisa jadi sebuah momentum untuk merealisasikan ini.

Edukasi dan literasi juga harus terus didorong agar investor ritel makin paham dan tertarik berinvestasi di SBN sebagai esensi instrumen investasi yang aman, likuid, dan cuan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4751 seconds (0.1#10.140)