Omnibus Law Cipta Kerja, Mengakomodasi Berbagai Kepentingan

Jum'at, 14 Agustus 2020 - 15:12 WIB
loading...
Omnibus Law Cipta Kerja, Mengakomodasi Berbagai Kepentingan
Anton A Setyawan, Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Foto/SINDOnews
A A A
Anton A Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

OMNIBUS Law Cipta Kerja yang saat ini draftnya digodog di DPR memicu keberatan dari sebagian pekerja di Indonesia. Pada hari Selasa 30 Juni 2020 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Surakarta mengadakan diskusi tentang RUU Cipta Kerja. Diskusi ini membahas tentang poin-poin penting dalam RUU tersebut serta dampaknya terhadap nasib pekerja dan perekonomian nasional secara umum.

Omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini disusun karena pemerintah mengalami kesulitan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Masalah utama yang muncul dari iklim investasi yang tidak kunjung membaik adalah dari aspek regulasi investasi. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih pada lintas sektoral maupun antara pemerintah pusat dan daerah sudah sejak lama dikeluhkan oleh pengusaha. Izin investasi dengan satu pintu (one day service) hanya diterapkan pada daarah-daerah tertentu dan bukan menjadi standar operasional perijinan investasi secara nasional.

Kondisi aktual saat ini terkait dengan iklim investasi Indonesia menunjukkan masih banyak aspek yang perlu diperbaiki. Indonesia menempati peringkat 73 untuk kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) yang diselenggarakan Bank Dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-negara dengan skala perekonomian yang lebih kecil dibandingkan Indonesia, yaitu Jamaika (71), Vietnam (70), Uzbekistan (69) dan Oman yang menempati peringkat 68 (Solo Pos, 13 Februari 2020).

Usaha untuk meningkatkan peringkat ranking investasi melalui kenaikan rangking ease of doing business (EoDB) dan peringkat daya saing Indonesia menjadi alasan percepatan pembahasan draft Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diserahkan pemerintah pada DPR pada hari Rabu, 12 Februari 2020.

Dalam situasi pandemi Covid-19 ini kondisi investasi di Indonesia semakin memprihatinkan. Dunia usaha mengalami penurunan penjualan karena menurunnya daya beli masyarakat. Kuartal II tahun 2020 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami kontraksi sampai dengan 3 persen. Dalam situasi seperti ini diperkirakan masalah ketenagakerjaan muncul karena dipastikan ada kenaikan jumlah pengangguran terbuka. Lapangan kerja baru juga sangat terbatas karena perekonomian tidak kondusif.

Ketenagakerjaan dan Bisnis Kontemporer

Perkembangan bisnis saat ini lebih ke arah bisnis padat modal dan teknologi dengan perubahan karakteristik tenaga kerja. Konsep tenaga kerja bergeser menjadi human capital Konsep human capital menganggap tenaga kerja tidak hanya sebagai faktor produksi dengan ukuran jumlah yang bersifat statis, konsep ini juga lebih maju daripada sumber daya manusia (SDM) yang memandang tenaga kerja berdasarkan pendidikan dan ketrampilan. Konsep human capital menggunakan pengertian yang lebih luas yaitu sumber daya manusia dengan kompetensi dan pengalaman kesesuaian dengan organisasi serta mampu memberikan nilai tambah bagi organisasi (Gopinath dan Upadhyay, 2002).

Organisasi bisnis atau perusahaan saat ini menganggap pekerja sebagai human capital atau modal manusia Wang et al., (2012) menunjukkan bahwa salah satu kunci industrialisasi di China adalah mengubah pendekatan industri yang sebelumnya mengandalkan upah murah dari buruh menjadi konsep human capital yaitu pekerja dengan pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan industri, mempunyai fleksibilitas dan kemampuan melakukan inovasi.

Perubahan lanskap bisnis ini pada satu sisi menguntungkan bagi buruh atau pekerja terampil dan professional karena mereka mempunyai posisi tawar yang kuat di dalam industri. Namun demikian, hal ini menjadi tantangan bagi para pekerja kerah biru yang bekerja pada industri padat karya dengan ketrampilan rendah serta mereka yang bekerja di sektor informal. Dalam konteks ini lah Omnibus law Cipta Kerja dianggap mengancam kesejahteraan buruh.

Kelompok buruh dalam industri padat karya dan pekerja sektor informal saat ini mengalami masalah dari sisi keberlangsungan pekerjaan yang tidak pasti, jaminan kesehatan maupun pensiun yang belum optimal. Ancaman keberlangsungan pekerjaan terkait dengan fenomena outsourcing dan mekanisme antisipasi risiko perusahaan terhadap masalah ketenagakerjaan dengan pemberlakuan kontrak kerja jangka pendek merupakan masalah yang saat ini dikhawatirkan pekerja di Indonesia.

Investor yang akan menanamkan modal dengan mengembangkan perusahaan di Indonesia, terutama jenis investasi padat kerja menganggap masalah ketenagakerjaan di negara ini membebani mereka. Biaya tenaga kerja menjadi lebih mahal karena harus ada perlindungan terhadap pekerja dalam jangka panjang, sementara mereka dihadapkan pada siklus bisnis yang semakin tidak pasti.

Solusi Saling Menguntungkan

Tidak mudah menentukan sebuah solusi yang mampu mengakomodasi kepentingan investor dan buruh dengan porsi yang adil. Hal ini dikarenakan posisi buruh yang lemah karena perubahan lanskap bisnis. Struktur pekerja di Indonesia yang didominasi oleh pekerja dengan ketrampilan rendah dan bekerja di sektor informal. Perlindungan terhadap pekerja di Indonesia yang saat ini sebenarnya sudah mulai mapan menjadi terganggu karena poin-poin pasal dalam Omnibus law Cipta Kerja yang merugikan buruh.

Beberapa solusi saling menguntungkan yang bisa didiskusikan di DPR terkait dengan pembahasan RUU Cipta Kerja, antara lain: pertama, melibatkan kelompok buruh dalam pembahasan RUU tersebut. Pada saat draft RUU itu disusun pemerintah tim perumus didominasi oleh pengusaha, akademisi dan pemerintah sedangkan kelompok buruh kurang terakomodasi. Hal ini bisa diperbaiki saat pembahasan di DPR sehingga buruh bisa memperjuangkan kepentingan mereka di lembaga legislatif.

Kedua, fokus pembahasan diutamakan untuk memperbaiki masalah perizinan investasi yang sebenarnya lebih mendominasi munculnya 'biaya siluman' yang harus dikeluarkan oleh investor. Ekonomi biaya tinggi dalam proses perizinan investasi yang penuh dengan korupsi ini sebenarnya justru lebih membebani pengusaha dibandingkan dengan masalah buruh.

Ketiga, penyederhanaan izin investasi untuk UMKM juga diutamakan. Hal ini dikarenakan sektor UMKM ini bisa menjadi exit yang baik bagi masalah ketenagakerjaan di Indonesia, karena melakukan transformasi dari pekerja menjadi wirausahawan yang paling memungkinkan adalah melalui bisnis UMKM. Kemudahan dan kejelasan regulasi UMKM juga bisa melindungi kepentingan pekerja sektor informal.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1812 seconds (0.1#10.140)