Kelemahan Hukum Menghadapi Kekuasaan

Senin, 04 Maret 2024 - 12:47 WIB
loading...
A A A
Sejatinya hukum pidana menurut Alm Roeslan Saleh merupakan pergulatan kemanusiaan sehingga menurut Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana harus menjaga keseimbangan antara rasio dan nurani. Ukuran kesalahan seseorang yang diduga melakukan tidak hanya dapat dinilai dari pidana dipenuhinya unsur- unsur tindak pidana melainkan juga harus diukur dari faktor lingkungan sosial dan karakter objek yang dijadikan bahan untuk korupsi seperti faktor lingkungan sosial dan lingkungan sumber daya alam.

Hal ini diperlukan agar hukum pidana tidak dijadikan sarana yang bersifat primum remedium tetapi ultimum remedium. Dalam hal ini, sarana hukum administrasi dan sarana hukum perdata seyogianya digunakan terlebih dulu sarana primum remedium. Apabila kedua sarana hukum tersebut tidak efektif atau tidak mampu mengendalikan kasus terkait maka sarana hukum pidana harus dijadikan sarana primum remedium. Penggunaan sarana hukum pidana sebagai primum remedium jelas dimaksudkan hukum pidana dipandang sebagai satu-satunya sarana yang dipandang ampuh dan efektif mencegah dan memberantas kejahatan seperti tindak pidana korupsi namun demikian cara tersebut mencerminkan bahwa, politik hukum pidana yang digunakan adalah mencapai tujuan keadilan retributif tetapi tidak mencapai tujuan lain seperti keadilan restoratif atau pemilik kekuasaan dalam bidang hukum beranggapan dan secara apriori sarana hukum administratif dan sarana hukum perdata tidak mampu lagi mencegah dan memberantas kejahatan tersebut seperti pada umumnya terjadi pada kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pemikiran tentang sarana hukum pidana tersebut maka di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), telah dimasukkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 sekalipun kedua ketentuan tersebut sama-sama menuntut adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Perbuatan pidana yang dijadikan motivasi kerugian dimaksud berbeda, ketentuan Pasal 2 mengutamakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Pada umumnya sering terjadi pada lingkup jangkauan hukum perdata. Sedangkan ketentuan Pasal 3 mengutamakan perbuatan penyalahgunaan wewenang yang termasuk lingkup hukum administrasi. Menjadi jelas kiranya maksud/tujuan pencantuman Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam UU Tipikor yaitu mencari dan menemukan cara yang tepat dalam mengungkap peristiwa Tipikor, namun demikian pola penggunaan cara tersebut tidak tatanan seluruh bangunan sistem hukum yang ada di mana suasana kerja lembaga negara K/L tidak mengalami kerusakan total sebagaimana layaknya di dalam puisi (bahasa Sunda), lauknya beunang, cairna herang atau ikannya dapat dan air(kolam) tetap bersih/tidak kotor.

Dalam konteks pemahaman hukum antikorupsi inilah semakin jelas bagaimana fungsi dan peranan UU Tipikor dalam membangun sistem penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme di mana penggunaan kekuasaan in casu hukum tetap objektif, nyaman, dan tidak tumpang tindih.
(zik)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1631 seconds (0.1#10.140)