Akselerasi Kualitas Pendidikan di Indonesia
loading...
A
A
A
Rezim Kemendikbud yang ada saat ini memang dihadapkan pada situasi tak biasa yaitu pandemi Covid-19 ketika pemerintahan yang tak lama dibentuk. Upaya yang ada saat itu adalah bagaimana menekan generation loss yang menghantui Indonesia akibat pandemi. Untuk hal tersebut pemerintah memaksa lembaga pendidikan melakukan shut down untuk beberapa saat dan melakukan pembelajaran daring saat pandemi berkepanjangan. Survei PISA 2022 yang diambil pada Mei-Juni 2022 sesaat setelah pandemi berakhir di Indonesia memang tidak bisa menggambarkan efektivitas kebijakan era Nadiem, tidak bisa diambil kesimpulan bahwa yang dilakukan pemerintah gagal karena skor yang didapat lebih rendah dibanding sebelumnya. Urusan pandemi adalah urusan bencana alam yang tidak bisa dihindari semua orang.
Menurut UNESCO, kemampuan literasi memiliki dampak yang luas pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kemampuan ekonomi, kemampuan sosialisasi, kesehatan, pengembangan diri, dan pemahaman diri. Literasi memungkinkan individu untuk berpartisipasi secara lebih efektif dalam masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan memiliki kemampuan literasi yang baik, seseorang dapat berpikir secara lebih jernih, mengidentifikasi masalah, dan menemukan solusi yang sesuai, baik dalam konteks lokal maupun dalam gambaran yang lebih luas. Literasi tidak hanya memberdayakan individu, tetapi juga memperkaya komunitas secara keseluruhan, membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berdaya.
Kalau ingin melakukan akselerasi maka rencana evaluasi kita juga mesti diubah. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu persoalan asesmen pendidikan kita adalah evaluasi pendidikan yang tidak berorientasi pada kemampuan literasi siswa. Berbagai bentuk tes di sekolah seringkali dimaknai mengukur produk pengetahuan apa yang telah siswa pelajari. Soal tes yang ada seringkali memperlakukan murid bagaikan gawai penyimpan berbagai informasi yang diberikan dan saat diperlukan informasi itu akan ditanya.
Sebenarnya, kemampuan literasi jauh lebih kompleks daripada sekadar membaca dan menulis kata-kata atau angka. Penting untuk diingat bahwa literasi tidak hanya tentang kemampuan dasar ini, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi tersebut secara praktis. Seseorang yang literate mampu menggunakan kata-kata dan angka untuk merumuskan ide, mengatasi masalah, dan berpartisipasi dalam aktivitas yang memerlukan pemahaman mendalam. Kemampuan literasi mencakup interpretasi, analisis, dan sintesis informasi, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Oleh karena itu, literasi melampaui sekadar kemampuan dasar membaca dan menulis, melibatkan penerapan praktis dari pengetahuan tersebut dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari.
Dalam ranah literasi, terdapat dua pilar utama yang menjadi landasan bagi pemahaman yang mendalam: literasi fungsional dan literasi transferable. Literasi fungsional mencakup kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung yang penting dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, literasi transferable melibatkan kemampuan untuk merencanakan masa depan dengan memperkirakan kebutuhan yang akan datang, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif, serta mampu mengadaptasi pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai situasi. Dengan mempertimbangkan kedua aspek ini, pembuat kebijakan dapat merancang pendekatan pendidikan yang holistik, membantu individu dalam menghadapi tantangan masa depan, dan membangun fondasi kesuksesan yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, evaluasi pmebelajaran berbasis literasi setidaknya harus melibatkan tiga hal penting yaitu pertama, kontenyakni pengetahuan konten apa yang akan dinilai; kedua, proses berpikir yang akan diukur, dan ketiga konteks atau situasi seperti apa konten dan pengetahuan kognisi akan diterapkan. Dengan begitu, kemampuan literasi seseorang dapat diukur.
Pemerintah memang tak bisa bekerja sendiri, harus adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya kemampuan literasi siswa dibanding hanya nilai ujian mata pelajaran yang didapat dari hasil mencontek dan moral hazard lainnya. Narasi dan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif harus lahir sejak institusi pendidikan terkecil yaitu keluarga. Tentu Upaya para praktisi pendidikan juga harus terintegrasi dengan institusi lain di negeri ini seperti kesehatan, ekonomi, dan lain-lainya. Dengan begitu Indonesia akan memasuki level baru dalam kualitas pendidikannya untuk dapat berbicara tidak saja di negeri sendiri tapi juga berbicara secara global.
Menurut UNESCO, kemampuan literasi memiliki dampak yang luas pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kemampuan ekonomi, kemampuan sosialisasi, kesehatan, pengembangan diri, dan pemahaman diri. Literasi memungkinkan individu untuk berpartisipasi secara lebih efektif dalam masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan memiliki kemampuan literasi yang baik, seseorang dapat berpikir secara lebih jernih, mengidentifikasi masalah, dan menemukan solusi yang sesuai, baik dalam konteks lokal maupun dalam gambaran yang lebih luas. Literasi tidak hanya memberdayakan individu, tetapi juga memperkaya komunitas secara keseluruhan, membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berdaya.
Mengubah Paradigma Evaluasi
Kalau ingin melakukan akselerasi maka rencana evaluasi kita juga mesti diubah. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu persoalan asesmen pendidikan kita adalah evaluasi pendidikan yang tidak berorientasi pada kemampuan literasi siswa. Berbagai bentuk tes di sekolah seringkali dimaknai mengukur produk pengetahuan apa yang telah siswa pelajari. Soal tes yang ada seringkali memperlakukan murid bagaikan gawai penyimpan berbagai informasi yang diberikan dan saat diperlukan informasi itu akan ditanya.
Sebenarnya, kemampuan literasi jauh lebih kompleks daripada sekadar membaca dan menulis kata-kata atau angka. Penting untuk diingat bahwa literasi tidak hanya tentang kemampuan dasar ini, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi tersebut secara praktis. Seseorang yang literate mampu menggunakan kata-kata dan angka untuk merumuskan ide, mengatasi masalah, dan berpartisipasi dalam aktivitas yang memerlukan pemahaman mendalam. Kemampuan literasi mencakup interpretasi, analisis, dan sintesis informasi, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Oleh karena itu, literasi melampaui sekadar kemampuan dasar membaca dan menulis, melibatkan penerapan praktis dari pengetahuan tersebut dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari.
Dalam ranah literasi, terdapat dua pilar utama yang menjadi landasan bagi pemahaman yang mendalam: literasi fungsional dan literasi transferable. Literasi fungsional mencakup kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung yang penting dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, literasi transferable melibatkan kemampuan untuk merencanakan masa depan dengan memperkirakan kebutuhan yang akan datang, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif, serta mampu mengadaptasi pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai situasi. Dengan mempertimbangkan kedua aspek ini, pembuat kebijakan dapat merancang pendekatan pendidikan yang holistik, membantu individu dalam menghadapi tantangan masa depan, dan membangun fondasi kesuksesan yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, evaluasi pmebelajaran berbasis literasi setidaknya harus melibatkan tiga hal penting yaitu pertama, kontenyakni pengetahuan konten apa yang akan dinilai; kedua, proses berpikir yang akan diukur, dan ketiga konteks atau situasi seperti apa konten dan pengetahuan kognisi akan diterapkan. Dengan begitu, kemampuan literasi seseorang dapat diukur.
Pemerintah memang tak bisa bekerja sendiri, harus adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya kemampuan literasi siswa dibanding hanya nilai ujian mata pelajaran yang didapat dari hasil mencontek dan moral hazard lainnya. Narasi dan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif harus lahir sejak institusi pendidikan terkecil yaitu keluarga. Tentu Upaya para praktisi pendidikan juga harus terintegrasi dengan institusi lain di negeri ini seperti kesehatan, ekonomi, dan lain-lainya. Dengan begitu Indonesia akan memasuki level baru dalam kualitas pendidikannya untuk dapat berbicara tidak saja di negeri sendiri tapi juga berbicara secara global.
(zik)