Akselerasi Kualitas Pendidikan di Indonesia

Selasa, 20 Februari 2024 - 07:54 WIB
loading...
Akselerasi Kualitas Pendidikan di Indonesia
Iksan K. Sahri. Foto/Istimewa
A A A
Iksan K. Sahri
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan Ketua Bidang Kajian Strategis Indonesian Council of Youth Development (ICYD)

MENGELOLA pendidikan di negeri berpenduduk lebih dari 280 juta jiwa itu tentu tak mudah. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan tersendiri sehingga momen meningkatnya posisi Indonesia dalam hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 diapresiasi sejumlah pihak walaupun tak sedikit pula yang mengkritik capaiannya.

Bagaimanapun, faktanya Indonesia berhasil bangkit walau termasuk negara yang mengalami pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, skor PISA Indonesia telah berhasil meningkat secara rangking walau juga mengalami penurunan angka dari sebelumnya. Penurunan skor PISA ini juga dialami semua negara di dunia tanpa terkecuali termasuk Indonesia, yang membedakan hanyalah berapa angka ia terdisrupsi.

Persoalan pendidikan Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini adalah bahwa para siswa belajar ilmu pengetahuan sebagai produk tanpa ia tahu untuk apa ia belajar pengetahuan itu dan tanpa pengetahuan tentang bagaimana nalar produk pengetahuan itu dibangun. Dengan kata lain, pengetahuan yang diajarkan cenderung tercerabut dari cara berpikir saintifik. Akibatnya pengetahuan yang mereka pelajari menjadi pengetahuan yang cenderung tak tahu untuk apa ia diajarkan. Kini di abad ke-21 ini, banyak pihak di Indonesia mulai sadar bahwa cara belajar siswa kita harus diubah dari sekadar menerima pengetahuan sebagai produk berubah menjadi belajar sebagai cara berpikir, belajar sebagai sebuah cara pandang, belajar untuk memperoleh kemampuan analisis dan mengkontekskan pengetahuan yang kita pelajari dengan dunia nyata sebagai sebuah keniscayaan.

Pendidikan hari ini memiliki tantangan tersendiri karena semua hal bisa terjadi dengan ditandainya Intenet of Things (IoT) yang menghubungkan hampir segala hal dengan internet, kecerdasan buatan yang kemudian melahirkan mesin belajar, dan big data sebagai salah satu bahan dasar untuk pembuatan keputusan secara terintegrasi. Tiga istilah yang saat ini dapat kita lihat sehari-hari dalam keseharian kita. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Para pelajar hari ini lahir sebagai penduduk asli dunia digital (digital native) yang terbiasa belajar dengan alat teknologi dan menerima serta memproses informasi yang datang dengan cepat secara bersamaan. Hal ini membuat kemampuan siswa untuk memproses segala hal yang ada secara kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif adalah keniscayaan di abad ini.



PISA yang diinisasi oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Ia hadir untuk mengukur tingkat literasi seorang siswa. PISA tidak ingin mengukur apa yang telah dihafal anak-anak, tapi ia mengukur kemampuan anak-anak dalam bidang-bidang tertentu untuk memecahkan masalah (problem solving) dalam berbagai situasi dan mengaplikasikan ide dan pemahaman pada situasi keseharian yang beragam. 70 negara lebih mengikuti tes PISA ini termasuk Indonesia. Metode yang dilakukan adalah setiap tiga tahun, para siswa yang berusia 15 tahun dari berbagai sekolah dipilih secara acak. Mereka diminta mengisi tes dalam pelajaran utama yaitu membaca, matematika, dan sains. Tes PISA bersifat diagnostik yang digunakan untuk memberikan informasi berguna untuk perbaikan sistem pendidikan. PISA tidak ada kurikulumnya, ia hanya melihat kemampuan literasi siswa dari tiga mata pelajaran di atas.

Dari ukuran-ukuran itu, hasilnya sejak tahun 2000 saat PISA pertama kali diadakan dan mulai mendapatkan tempat di tahun-tahun berikunya di dunia, Indonesia selalu berada di urutan bawah dibanding negara-negara lain. Kondisi itu tidak beranjak setelah 23 tahun masa pengukuran. Sampai 10 tahun yang lalu, bagi para pengambil kebijakan di Indonesia, PISA bukanlah sesuatu yang dianggap penting dalam desain pengetahuan yang harus dimiliki oleh siswa. Kritik terhadap aspek filosofis PISA yang dianggap terlalu berorientasi pada ekonomi, persoalan metodis yang juga dianggap menyimpan kelemahan membuat pemangku kepentingan di Indonesia kemudian memilih untuk tidak menghiraukan hasil PISA. Kementerian Pendidikan saat itu lebih suka bekerja menurut cara pandangnya dan cenderung tidak menganggap (ignore) survei-survei pendidikan multi bangsa yang melibatkan banyak negara di dunia seperti PISA dan berbagai survei pendidikan lainnya.

Pada skor PISA 2022, walau secara ranking menunjukkan peningkatan lima atau enam peringkat, tapi sebenarnya secara skor kita terdisrupsi dibanding skor yang didapat Indonesia pada PISA 2018. Penurunan skor ini tentu saja tidak saja dialami Indonesia, tapi juga seluruh negara di dunia yang menjadi peserta survey PISA. Dari hasil tersebut kita bisa membacanya dari dua aspek, mengaparesiasi karena ranking Indonesia naik dibanding sebelumnya atau mengkritisinya karena terjadi penurunan skor dari sebelumnya. Lebih dari itu, skor-skor tersebut menunjukkan hal yang sama yaitu belum ada perubahan signifikan pada tingkat literasi siswa di Indonesia. Penurunan skor ini melengkapi tren penurunan sejak survey PISA pada 2012, 2015, dan 2018. Dari hasil tiga tes terakhir tersebut kesimpulan untuk Indonesia masih sama, bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih berada di bawah rata-rata literasi partisipan PISA.

Pemerintah RI dalam hal ini Kemendikbud sebenarnya tidak tinggal diam. Proses evaluasi belajar tingkat akhir ada setiap jenjang yang selama ini dipegang oleh pusat (Jakarta) sekarang sudah tidak ada lagi. Evaluasi pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah-sekolah dan pemerintah hanya melakukan survei untuk melihat kualitas pengelolaan pendidikan di Indonesia. Dengan merujuk pada hasil PISA, pemerintah kemudian melakukan kinerja pendidikan yang didasarkan pada PISA. Asesmmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk sekolah di bawah Kemendikbud dan Asesmen Kompetensi Madrasah Indonesia (AKMI) untuk madrasah di bawah Kemenag. Keduanya-duanya didasarkan pada cara berpikir asesmen yang dilakukan dalam PISA.

Rezim Kemendikbud yang ada saat ini memang dihadapkan pada situasi tak biasa yaitu pandemi Covid-19 ketika pemerintahan yang tak lama dibentuk. Upaya yang ada saat itu adalah bagaimana menekan generation loss yang menghantui Indonesia akibat pandemi. Untuk hal tersebut pemerintah memaksa lembaga pendidikan melakukan shut down untuk beberapa saat dan melakukan pembelajaran daring saat pandemi berkepanjangan. Survei PISA 2022 yang diambil pada Mei-Juni 2022 sesaat setelah pandemi berakhir di Indonesia memang tidak bisa menggambarkan efektivitas kebijakan era Nadiem, tidak bisa diambil kesimpulan bahwa yang dilakukan pemerintah gagal karena skor yang didapat lebih rendah dibanding sebelumnya. Urusan pandemi adalah urusan bencana alam yang tidak bisa dihindari semua orang.

Menurut UNESCO, kemampuan literasi memiliki dampak yang luas pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kemampuan ekonomi, kemampuan sosialisasi, kesehatan, pengembangan diri, dan pemahaman diri. Literasi memungkinkan individu untuk berpartisipasi secara lebih efektif dalam masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan memiliki kemampuan literasi yang baik, seseorang dapat berpikir secara lebih jernih, mengidentifikasi masalah, dan menemukan solusi yang sesuai, baik dalam konteks lokal maupun dalam gambaran yang lebih luas. Literasi tidak hanya memberdayakan individu, tetapi juga memperkaya komunitas secara keseluruhan, membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berdaya.

Mengubah Paradigma Evaluasi


Kalau ingin melakukan akselerasi maka rencana evaluasi kita juga mesti diubah. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu persoalan asesmen pendidikan kita adalah evaluasi pendidikan yang tidak berorientasi pada kemampuan literasi siswa. Berbagai bentuk tes di sekolah seringkali dimaknai mengukur produk pengetahuan apa yang telah siswa pelajari. Soal tes yang ada seringkali memperlakukan murid bagaikan gawai penyimpan berbagai informasi yang diberikan dan saat diperlukan informasi itu akan ditanya.

Sebenarnya, kemampuan literasi jauh lebih kompleks daripada sekadar membaca dan menulis kata-kata atau angka. Penting untuk diingat bahwa literasi tidak hanya tentang kemampuan dasar ini, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi tersebut secara praktis. Seseorang yang literate mampu menggunakan kata-kata dan angka untuk merumuskan ide, mengatasi masalah, dan berpartisipasi dalam aktivitas yang memerlukan pemahaman mendalam. Kemampuan literasi mencakup interpretasi, analisis, dan sintesis informasi, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Oleh karena itu, literasi melampaui sekadar kemampuan dasar membaca dan menulis, melibatkan penerapan praktis dari pengetahuan tersebut dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari.

Dalam ranah literasi, terdapat dua pilar utama yang menjadi landasan bagi pemahaman yang mendalam: literasi fungsional dan literasi transferable. Literasi fungsional mencakup kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung yang penting dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, literasi transferable melibatkan kemampuan untuk merencanakan masa depan dengan memperkirakan kebutuhan yang akan datang, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif, serta mampu mengadaptasi pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai situasi. Dengan mempertimbangkan kedua aspek ini, pembuat kebijakan dapat merancang pendekatan pendidikan yang holistik, membantu individu dalam menghadapi tantangan masa depan, dan membangun fondasi kesuksesan yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, evaluasi pmebelajaran berbasis literasi setidaknya harus melibatkan tiga hal penting yaitu pertama, kontenyakni pengetahuan konten apa yang akan dinilai; kedua, proses berpikir yang akan diukur, dan ketiga konteks atau situasi seperti apa konten dan pengetahuan kognisi akan diterapkan. Dengan begitu, kemampuan literasi seseorang dapat diukur.

Pemerintah memang tak bisa bekerja sendiri, harus adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya kemampuan literasi siswa dibanding hanya nilai ujian mata pelajaran yang didapat dari hasil mencontek dan moral hazard lainnya. Narasi dan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif harus lahir sejak institusi pendidikan terkecil yaitu keluarga. Tentu Upaya para praktisi pendidikan juga harus terintegrasi dengan institusi lain di negeri ini seperti kesehatan, ekonomi, dan lain-lainya. Dengan begitu Indonesia akan memasuki level baru dalam kualitas pendidikannya untuk dapat berbicara tidak saja di negeri sendiri tapi juga berbicara secara global.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2281 seconds (0.1#10.140)