Nyoblos di Port Moresby: Merajut Harapan, Mencintai Indonesia

Selasa, 13 Februari 2024 - 14:03 WIB
loading...
A A A


Pemilu di Indonesia termasuk yang tidak sederhana. Khususnya bagi penyelenggara. Dalam satu waktu yang sama, rakyat memilih pasangan capres/cawapres, caleg DPD, caleg DPR RI, caleg DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Dalam kacamata pemilih awam, menggunakan hak pilih untuk lima jenis pemilihan dalam satu waktu, mungkin juga tidak sederhana. Setiap pemilih mendapat lima surat suara dengan ukuran besar. Setiap surat suara pileg memuat foto dan nama caleg. Harus dibuka lebar-lebar untuk membacanya, agak ribet dan perlu waktu cermat. Jadi tidak heran, jika pemilih lebih fokus pada pilpres yang lebih simpel kartu suaranya. Inilah konsekuensi sistem pemilu multipartai proporsional terbuka.

Indonesia sudah menggelar pemilu selama 12 kali sejak merdeka, yaitu: 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pemilu 2024 menjadi yang ke-13. Pemilu pertama diikuti banyak partai, termasuk Pemilu 1971. Pemilu 1977 hingga 1997, dibatasi hanya untuk tiha peserta (PPP, PDI, dan Golkar). Pemilu 1999 merupakan pemilu multipartai pertama selepas Orde Baru tumbang. Pemilu 2004 merupakan pertamakalinya presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.

Banyaknya pemilu tidak selalu sejalan dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari bernegara, karena demokrasi memang tidak menggaransi adanya kemakmuran atau keadilan. Bahkan, kualitas demokrasi juga tidak selalu terwujud sejalan dengan pengalaman panjang pemilu. Rezim yang terpilih secara demokratis pun tidak tergaransi akan demokratis pula dalam menjalankan kekuasannya. Sebagaimana dikemukakan Paul Collier dalam The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, “Elections determine who is in power, but they do not determine how power is used”.

Jadi, tidak mengherankan jika ada sebagian rakyat yang bersifat apatis. Berpikir bahwa pemilu tidak akan mengubah nasib hidupnya. Pemilu juga akan mengulang hasil yang sama, hanya beda wajah dan kemasan penguasa. Apatisme itu terefleksikan dalam ketidakpedulian dalam memilih (asal pilih), memilih secara transaksional, atau keengganan untuk memilih.

Namun, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, demokrasi masih tetap menjadi sistem terbaik. Masih menjanjikan harapan dan perbaikan terus-menerus. Karena itu, seperti ditulis Goenawan Mohamad, “Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: "sebuah Indonesia yang lebih baik" selamanya akan jadi sebuah janji--tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.”

Jadi, jangan pernah lelah dengan ikhtiar serta merawat harapan. Hanya dengan itu, hidup akan terus berjalan ke depan dengan semangat dan optimisme dalam upaya menuju Indonesia yang lebih baik.
(zik)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2634 seconds (0.1#10.140)