Nyoblos di Port Moresby: Merajut Harapan, Mencintai Indonesia

Selasa, 13 Februari 2024 - 14:03 WIB
loading...
Nyoblos di Port Moresby: Merajut Harapan, Mencintai Indonesia
Ichwan Arifin Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Foto/Istimewa
A A A
Ichwan Arifin
Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).

HIRUK-pikuk Pemilu 2024 tidak terasa di sini, Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Kegaduhan, keriuhan, dan informasi seputar pemilu di Indonesia, diakses melalui internet. Meski tetangga dekat, media nasional di sini tidak menaruh perhatian terhadap pemilu Indonesia. Kebetulan atmosfer politik di PNG juga sedang menghangat.

Pascakerusuhan “Black Wednesday” 10 Januari 2024, oposisi di parlemen mengajukan “vote of no confidence”. Jika mosi tidak percaya ini diterima mayoritas anggota parlemen, maka James Marrape harus mundur dari kursi perdana menteri.

Pemungutan suara di luar negeri dilakukan lebih awal, yakni 11 Februari 2024. Namun, suara baru dihitung pada 14 Februari, bersamaan dengan coblosan di Indonesia. WNI yang tinggal di Port Moresby, dapat memilih di TPS yang ada KBRI. TPS lainnya di Kantor Konsul RI di Vanimo, salah satu kota di PNG bagian utara. Cukup dekat dengan Jayapura. Di luar itu, tampaknya kartu suara dikirim via pos, khususnya bagi yang tinggal di pedalaman.

KBRI Port Moresby terletak di Jalan Kiroki/Sir John Guise Drive Lot 1 & 2, Sect 410, Gordons 5, Waigani, Port Moresby. Menempati sebuah bangunan kecil, bercat putih dengan logo Garuda Pancasila di bagian fasad depan. Pagar tinggi mengeliling seluruh area KBRI, termasuk halaman dan parkir yang tidak luas. Daerah itu bukan pusat kota (downtown), namun juga tidak dipinggiran. Di sekitar KBRI terdapat kantor perwakilan negara asing, seperti Inggris dan China.

Meski sebagian di antaranya tinggal jauh dari KBRI, tetapi mereka tetap datang. Padahal transportasi di Port Moresby tidak gampang. Mobil pribadi merupakan pilihan aman dan nyaman. Transportasi publik selain rentan dengan kejahatan, juga dilayani dengan bus-bus tua. Terkesan tak terawat, dan yang pasti tanpa AC. Pilihan lainnya, taksi. Ini pun juga juga tanpa AC, dan tanpa argo. Sepeda motor bukan moda transportasi pilihan bagi warga lokal. Di jalan tidak terlihat polisi berpatroli atau bertugas di pos jaga.



Pemungutan suara dimulai sejak pagi. Bagi pemilih tambahan, baru bisa menggunakan hak pilihnya pada jam 4 sore. Tidak terlihat antrean panjang sepanjang pencoblosan. Selain proses yang cepat, jumlah WNI di Port Moresby tidak banyak. Meski sedikit, namun tetap semangat berpartisipasi dalam pemilu ini. Saya termasuk dalam daftar pemilih tambahan. Harusnya jam 4 sore baru bisa nyoblos. Namun, saya sengaja datang lebih awal, melihat suasana TPS.

WNI di luar negeri hanya bisa menggunakan hak pilih untuk pilpres dan Pileg DPR RI Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri). Tampaknya termasuk 'dapil neraka'. Sebanyak 125 caleg, di antaranya bertengger nama-nama figur publik, mantan menteri, mantan atlet ternama, petahana, dan sebagainya berebut tujuh kursi di dapil ini.

Banyak juga nama yang tidak familiar. Apalagi bagi pemilih yang tidak mengikuti perkembangan politik. Nama-nama itu jadi tidak terasa bermakna. Pemilih di luar negeri yang tidak berasal dari Jakarta, merasa mereka bukan wakil dari daerah pemilihannya.



Pemilu di Indonesia termasuk yang tidak sederhana. Khususnya bagi penyelenggara. Dalam satu waktu yang sama, rakyat memilih pasangan capres/cawapres, caleg DPD, caleg DPR RI, caleg DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Dalam kacamata pemilih awam, menggunakan hak pilih untuk lima jenis pemilihan dalam satu waktu, mungkin juga tidak sederhana. Setiap pemilih mendapat lima surat suara dengan ukuran besar. Setiap surat suara pileg memuat foto dan nama caleg. Harus dibuka lebar-lebar untuk membacanya, agak ribet dan perlu waktu cermat. Jadi tidak heran, jika pemilih lebih fokus pada pilpres yang lebih simpel kartu suaranya. Inilah konsekuensi sistem pemilu multipartai proporsional terbuka.

Indonesia sudah menggelar pemilu selama 12 kali sejak merdeka, yaitu: 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pemilu 2024 menjadi yang ke-13. Pemilu pertama diikuti banyak partai, termasuk Pemilu 1971. Pemilu 1977 hingga 1997, dibatasi hanya untuk tiha peserta (PPP, PDI, dan Golkar). Pemilu 1999 merupakan pemilu multipartai pertama selepas Orde Baru tumbang. Pemilu 2004 merupakan pertamakalinya presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.

Banyaknya pemilu tidak selalu sejalan dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari bernegara, karena demokrasi memang tidak menggaransi adanya kemakmuran atau keadilan. Bahkan, kualitas demokrasi juga tidak selalu terwujud sejalan dengan pengalaman panjang pemilu. Rezim yang terpilih secara demokratis pun tidak tergaransi akan demokratis pula dalam menjalankan kekuasannya. Sebagaimana dikemukakan Paul Collier dalam The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, “Elections determine who is in power, but they do not determine how power is used”.

Jadi, tidak mengherankan jika ada sebagian rakyat yang bersifat apatis. Berpikir bahwa pemilu tidak akan mengubah nasib hidupnya. Pemilu juga akan mengulang hasil yang sama, hanya beda wajah dan kemasan penguasa. Apatisme itu terefleksikan dalam ketidakpedulian dalam memilih (asal pilih), memilih secara transaksional, atau keengganan untuk memilih.

Namun, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, demokrasi masih tetap menjadi sistem terbaik. Masih menjanjikan harapan dan perbaikan terus-menerus. Karena itu, seperti ditulis Goenawan Mohamad, “Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: "sebuah Indonesia yang lebih baik" selamanya akan jadi sebuah janji--tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.”

Jadi, jangan pernah lelah dengan ikhtiar serta merawat harapan. Hanya dengan itu, hidup akan terus berjalan ke depan dengan semangat dan optimisme dalam upaya menuju Indonesia yang lebih baik.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2158 seconds (0.1#10.140)