Kemenangan PDI Pro Mega: Militansi Akar Rumput Adalah Kunci
loading...
A
A
A
Dari partisipasi aktif akar rumput ini, kemudian lahir dapur-dapur umum yang dikeola oleh ibu-ibu simpatisan akar rumput PDI Pro Mega. Model pendanaan akar rumput dengan skema swadana yang dikelola dengan swakelola inilah yang menopang Gerakan PDI Pro Mega sehingga menjadi ancaman penting rezim Orde Baru.
Model pembiayaan gotong royong kemudian berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Mulanya pendirian Posko Gotong Royong dibentuk oleh akar rumput PDI Pro Mega untuk mengantisipasi dampak kerusuhan Mei 1998. Namun berjalannya waktu Posko Gotong Royong berkembang menjadi ruang konsolidasi baru antara fungsionaris partai dengan massa akar rumput.
Dan tak bisa dipungkiri eksistensi Posko Gotong Royong menjadi elemen penopang terbentuknya mesin partai di akar rumput hingga punya kontribusi penting terhadap kemenangan PDI Perjuangan di pemilu 1999.
Posko Gotong Royong menjadi pusat gravitasi politik gerakan PDI Pro Mega baik aktivitas konsolidasi maupun kampanye partai. Tak jarang aktivitas layaknya pembuatan atribut yang berkaitan dengan partai seperti gambar Bung Karno, gambar Megawati, bendera Banteng, kaos partai dan lainnya dikerjakan atau disablon secara mandiri bergotong royong di Posko Gotong Royong.
Bahkan tak jarang, kampung-kampung disekitar Posko Gotong Royong dihiasi dengan segala rupa terkait PDI Pro Mega seperti tembok kampung dihiasi mural Bung Karno dan Megawati, gapura kampung yang dipenuhi spanduk bertuliskan “Anda memasuki Kampung Banteng”, “Zona Pro Mega” dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan secara swadana dan swakelola.
Menjelang Pemilu 1999, diseluruh Indonesia diperkirakan sudah berdiri kurang lebih 500.000 Posko, yang berdiri aktif hingga tingkat dusun dan RT/RW. Sebuah mesin pengornisasian politik raksasa yang bukan tumbuh karena mobilisasi amplop, doorprize atau konser dangdut dan sembako, melainkan partisipasi aktif warga hingga warga rela mengrobankan apa yang dimilikinya (swadana) dan mengelolanya secara mandiri (swakelola) untuk perjuangan bersama partai.
Sebuah pola pengorganisasian yang eksentrik ditengah kebijakan politik floating mass Orde Baru yang mencoba mengamputasi kesadaran politik rakyat bawah. Posko Gotong Royong muncul layaknya oase bagi pendidikan politik rakyat yang nyata dan konkret.
Menariknya, Posko Gotong Royong tak hanya melahirkan pendanaan partai yang bersifat swadana dan swakelola. Melainkan juga melahirkan pengamanan swakarsa. Kelahiran Satgas tak bisa dilepaskan dari eksistensi Posko Gotong Royong dimana Posko Gotong Royong menjadi basis rekrutmen anggota satgas. Hingga semua perlengkapan satgas dari seragam, sepatu sampai baret dibiayai secara swadana oleh Posko Gotong Royong.
Posko pun akhirnya bukan hanya menjadi ruang pertemuan vertikal antara pengurus partai di tingkat atas dengan pengurus tingkat bawah namun telah berkembang menjadi ruang pertemuan horizontal antara mereka pengurus dan kader partai dengan masyarakat luas. Bahkan tak jarang posko menjadi ruang aktivitas sosial masyarakat umum. Posko menjadi ruang milik rakyat.
Orde Baru pun tumbang dan PDI Perjuangan pada pemilu 1999 berhasil menjadi pemenang pemilu dengan meraih suara 33,74%, perolehan tertinggi dalam sejarah pemilu partai banteng. Dan kemenangan ini bukan diraih karena pulung penguasa, bukan karena tingginya approval rating penguasa. Melainkan karena militansi akar rumput yang menyatu dengan partai. Terbukti, dari laporan keuangan partai politik KPU 1999, sumber utama dana kampanye PDI Perjuangan dalam pemilu 1999 berasal dari dana grassroots yang mencapai 81,10% dari total penerimaan partai.
Model pembiayaan gotong royong kemudian berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Mulanya pendirian Posko Gotong Royong dibentuk oleh akar rumput PDI Pro Mega untuk mengantisipasi dampak kerusuhan Mei 1998. Namun berjalannya waktu Posko Gotong Royong berkembang menjadi ruang konsolidasi baru antara fungsionaris partai dengan massa akar rumput.
Dan tak bisa dipungkiri eksistensi Posko Gotong Royong menjadi elemen penopang terbentuknya mesin partai di akar rumput hingga punya kontribusi penting terhadap kemenangan PDI Perjuangan di pemilu 1999.
Posko Gotong Royong menjadi pusat gravitasi politik gerakan PDI Pro Mega baik aktivitas konsolidasi maupun kampanye partai. Tak jarang aktivitas layaknya pembuatan atribut yang berkaitan dengan partai seperti gambar Bung Karno, gambar Megawati, bendera Banteng, kaos partai dan lainnya dikerjakan atau disablon secara mandiri bergotong royong di Posko Gotong Royong.
Bahkan tak jarang, kampung-kampung disekitar Posko Gotong Royong dihiasi dengan segala rupa terkait PDI Pro Mega seperti tembok kampung dihiasi mural Bung Karno dan Megawati, gapura kampung yang dipenuhi spanduk bertuliskan “Anda memasuki Kampung Banteng”, “Zona Pro Mega” dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan secara swadana dan swakelola.
Menjelang Pemilu 1999, diseluruh Indonesia diperkirakan sudah berdiri kurang lebih 500.000 Posko, yang berdiri aktif hingga tingkat dusun dan RT/RW. Sebuah mesin pengornisasian politik raksasa yang bukan tumbuh karena mobilisasi amplop, doorprize atau konser dangdut dan sembako, melainkan partisipasi aktif warga hingga warga rela mengrobankan apa yang dimilikinya (swadana) dan mengelolanya secara mandiri (swakelola) untuk perjuangan bersama partai.
Sebuah pola pengorganisasian yang eksentrik ditengah kebijakan politik floating mass Orde Baru yang mencoba mengamputasi kesadaran politik rakyat bawah. Posko Gotong Royong muncul layaknya oase bagi pendidikan politik rakyat yang nyata dan konkret.
Menariknya, Posko Gotong Royong tak hanya melahirkan pendanaan partai yang bersifat swadana dan swakelola. Melainkan juga melahirkan pengamanan swakarsa. Kelahiran Satgas tak bisa dilepaskan dari eksistensi Posko Gotong Royong dimana Posko Gotong Royong menjadi basis rekrutmen anggota satgas. Hingga semua perlengkapan satgas dari seragam, sepatu sampai baret dibiayai secara swadana oleh Posko Gotong Royong.
Posko pun akhirnya bukan hanya menjadi ruang pertemuan vertikal antara pengurus partai di tingkat atas dengan pengurus tingkat bawah namun telah berkembang menjadi ruang pertemuan horizontal antara mereka pengurus dan kader partai dengan masyarakat luas. Bahkan tak jarang posko menjadi ruang aktivitas sosial masyarakat umum. Posko menjadi ruang milik rakyat.
Orde Baru pun tumbang dan PDI Perjuangan pada pemilu 1999 berhasil menjadi pemenang pemilu dengan meraih suara 33,74%, perolehan tertinggi dalam sejarah pemilu partai banteng. Dan kemenangan ini bukan diraih karena pulung penguasa, bukan karena tingginya approval rating penguasa. Melainkan karena militansi akar rumput yang menyatu dengan partai. Terbukti, dari laporan keuangan partai politik KPU 1999, sumber utama dana kampanye PDI Perjuangan dalam pemilu 1999 berasal dari dana grassroots yang mencapai 81,10% dari total penerimaan partai.