Kemenangan PDI Pro Mega: Militansi Akar Rumput Adalah Kunci

Jum'at, 12 Januari 2024 - 15:44 WIB
loading...
Kemenangan PDI Pro Mega:...
Model pembiayaan gotong royong PDIP berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI

MULANYA, peristiwa itu terjadi pada 20 Juni 1996, sejumlah aktivis PDI Pro Mega melakukan aksi long march dari Kantor PDI di jalan Diponegoro ke kantor Departemen Dalam Negeri. Aksi itu diikuti oleh ribuan massa berjalan kaki dan kemudian berkumpul di jalan Merdeka Utara. Aksi itu ditujukan sebagai bentuk penentangan para aktivis PDI Pro Mega atas penyelenggaraan Kongres Medan yang didukung pemerintah.

Namun ketika aksi massa sampai di Gambir, aksi protes itu lantas berubah dengan peristiwa berdarah. Aksi protes itu mencoba dibubarkan oleh militer dengan tindak kekerasan hingga tank dikerahkan untuk membubarkan, mengejar dan menakut-nakuti aksi massa itu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa “Gambir Berdarah”.

Peristiwa Gambir Berdarah ini menjadi tonggak titik balik penting dalam Gerakan oposisi terhadap rezim Orde Baru. Ia menjadi aksi massa terbesar setelah Tritura dan menjadi momen bersatunya kekuatan oposisi dari beragam unsur yang didzalimi kekuasaan Orde Baru.

Akan tetapi dari peristiwa Gambir inilah tekanan demi tekanan kian menghujani para aktivis PDI Pro Mega. Posisi PDI Pro Mega semakin terbuka sebagai oposisi diametral kekuasaan Orde Baru. Dan resiko yang paling sulit ialah terputusnya akses pendanaan partai yang selama ini diberikan oleh negara.

Pascaperistiwa Gambir, dana operasional yang sebelumnya diterima setiap bulan oleh partai dari Sekretariat Negara, Rp7,5 juta (1992-1997) dan Rp125 juta (1997-1999), diputus dan dialihkan pada DPP PDI Soerjadi yang didukung pemerintah.

Begitu pula dengan dana sumbangan dari anggota partai yang duduk di DPR juga terhenti. Kalangan menengah pun baik pengusaha maupun profesional tak berani mendekat apalagi memberi sumbangan.

Karena dianggap musuh negara, maka semua kalangan takut akan ancaman rezim kekuasaan otoriter Orde Baru apabila membantu Gerakan PDI Pro Mega. Dengan demikian, para pengurus PDI Pro Mega tidak bisa lagi mengakses sumber dana dari negara dan manapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Namun ketika tekanan semakin keras dan akses pendanaan ditutup rapat, PDI Pro Mega bukan malah lemah dan mati, justru akar rumput PDI Pro Mega mengalami radikalisasi. Sebuah proses yang tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh rezim Orde Baru. Akar rumput PDI Pro Mega yang semakin militan ini kemudian menciptakan sebuah model pembiayaan politik yang survival dengan semangat gotong royong. Sehingga muncul istilah dana perjuangan atau dana gotong royong.

Pembiayaan gotong royong ini bukan datang dari sumbangan sekelompok pengusaha, money laundry atau sindikat bisnis penguasa. Melainkan datang dari kalangan kelas ekonomi bawah, seperti supir bajaj, tukang becak, pekerja informal ataupun pedagang kecil di pasar tradisional. Mereka menyumbangkan apa yang mereka punya seperti air mineral, beras, sayuran, indomie, gula, teh, kopi sampai dengan ikan asin.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1442 seconds (0.1#10.140)