Booming-nya Fenomena Child-Free: Memilih Hidup tanpa Anak Semakin Populer
loading...
A
A
A
Fenomena child-free pada generasi milenial semakin banyak terjadi di masyarakat saat ini. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai dan pandangan tentang kehidupan keluarga di era modern.
Menurut Nirmala Ika Kusumaningrum, konselor keluarga dan psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, istilah child-free sudah bukan hal yang baru di kalangan generasi milenial. Ia juga mengungkap beberapa alasan yang mendasari fenomena ini; pengalaman tumbuh dewasa, trauma pengasuhan masa kecil, masalah ekonomi dan kesehatan mental, hingga pemikiran mengenai beratnya tanggung jawab menjadi orang tua.
Generasi milenial sudah memiliki kesadaran bahwa anak juga membutuhkan dukungan emosional dan kasih sayang, selain kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Kusumaningrum menambahkan, variabel lain yang ikut menjadi penyebab meningkatnya child-free pada generasi milenial adalah aksesibilitas.
Milenial saat ini memiliki banyak keuntungan karena memiliki akses gratis ke lebih banyak informasi tentang child-free, masalah keluarga, anak, dan kesehatan mental berkat teknologi canggih. Informasi-informasi tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan opsi terbaik dalam memutuskan memiliki anak atau tidak (Purnama, 2022).
Berdasarkan riset yang telah dilakukan, tren child-free mengalami peningkatan, khususnya di kalangan generasi milenial di Indonesia. Persentase perempuan menikah antara usia 15-49 tahun yang memilih child-free berfluktuasi dari 59% pada tahun 2007 menjadi 56% pada tahun 2012 dan kembali naik ke 58% pada tahun 2017 (Nuroh & Sulhan, 2022). Laki-laki yang tidak memiliki anak meningkat dari 52% pada SDKI tahun 2007 menjadi 53% pada SDKI tahun 2012, serta tidak ada perubahan persentase ini sampai SDKI tahun 2017 (Mediaindonesia, 2021).
Namun, faktanya adalah bahwa tidak semua pasangan memiliki kemampuan untuk memiliki anak dalam kehidupan pernikahan mereka, yang sebenarnya bukan masuk dalam kategori child-free. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Khalis & Ayuningtyas (2023), komunikasi keluarga memegang peranan penting dalam menghadapi fenomena child-free ini.
Komunikasi keluarga sangat penting dalam membantu individu dan keluarga dalam memahami pilihan mereka dan merespons tekanan sosial yang muncul. Mulai dari maraknya para influencer yang secara sadar mengkampanyekan child-free ini, hingga komunitas online yang didirikan bagi individu yang memutuskan untuk tidak memiliki anak sedang berkembang pesat, yang dikenal sebagai gerakan "tanpa anak" atau child-free.
Selain itu, komunikasi keluarga juga dianggap penting karena keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak dapat mempengaruhi hubungan dengan orang tua atau pasangan. Murdock mengelaborasikan bagaimana keluarga merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensi dalam buku Psikologi Keluarga (1965).
Menurut Littlejohn & Foss, salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keluarga adalah komunikasi, terutama antara orang tua dan anak. Keterbukaan dalam percakapan dan interaksi yang terjadi di antara setiap anggota keluarga, menghargai sudut pandang satu sama lain, serta tidak adanya upaya orang tua untuk memaksakan kehendaknya kepada anak dapat menjadi tanda komunikasi keluarga yang kuat (Santoro, 2021).
Menurut Nirmala Ika Kusumaningrum, konselor keluarga dan psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, istilah child-free sudah bukan hal yang baru di kalangan generasi milenial. Ia juga mengungkap beberapa alasan yang mendasari fenomena ini; pengalaman tumbuh dewasa, trauma pengasuhan masa kecil, masalah ekonomi dan kesehatan mental, hingga pemikiran mengenai beratnya tanggung jawab menjadi orang tua.
Generasi milenial sudah memiliki kesadaran bahwa anak juga membutuhkan dukungan emosional dan kasih sayang, selain kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Kusumaningrum menambahkan, variabel lain yang ikut menjadi penyebab meningkatnya child-free pada generasi milenial adalah aksesibilitas.
Milenial saat ini memiliki banyak keuntungan karena memiliki akses gratis ke lebih banyak informasi tentang child-free, masalah keluarga, anak, dan kesehatan mental berkat teknologi canggih. Informasi-informasi tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan opsi terbaik dalam memutuskan memiliki anak atau tidak (Purnama, 2022).
Berdasarkan riset yang telah dilakukan, tren child-free mengalami peningkatan, khususnya di kalangan generasi milenial di Indonesia. Persentase perempuan menikah antara usia 15-49 tahun yang memilih child-free berfluktuasi dari 59% pada tahun 2007 menjadi 56% pada tahun 2012 dan kembali naik ke 58% pada tahun 2017 (Nuroh & Sulhan, 2022). Laki-laki yang tidak memiliki anak meningkat dari 52% pada SDKI tahun 2007 menjadi 53% pada SDKI tahun 2012, serta tidak ada perubahan persentase ini sampai SDKI tahun 2017 (Mediaindonesia, 2021).
Namun, faktanya adalah bahwa tidak semua pasangan memiliki kemampuan untuk memiliki anak dalam kehidupan pernikahan mereka, yang sebenarnya bukan masuk dalam kategori child-free. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Khalis & Ayuningtyas (2023), komunikasi keluarga memegang peranan penting dalam menghadapi fenomena child-free ini.
Komunikasi keluarga sangat penting dalam membantu individu dan keluarga dalam memahami pilihan mereka dan merespons tekanan sosial yang muncul. Mulai dari maraknya para influencer yang secara sadar mengkampanyekan child-free ini, hingga komunitas online yang didirikan bagi individu yang memutuskan untuk tidak memiliki anak sedang berkembang pesat, yang dikenal sebagai gerakan "tanpa anak" atau child-free.
Selain itu, komunikasi keluarga juga dianggap penting karena keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak dapat mempengaruhi hubungan dengan orang tua atau pasangan. Murdock mengelaborasikan bagaimana keluarga merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensi dalam buku Psikologi Keluarga (1965).
Menurut Littlejohn & Foss, salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keluarga adalah komunikasi, terutama antara orang tua dan anak. Keterbukaan dalam percakapan dan interaksi yang terjadi di antara setiap anggota keluarga, menghargai sudut pandang satu sama lain, serta tidak adanya upaya orang tua untuk memaksakan kehendaknya kepada anak dapat menjadi tanda komunikasi keluarga yang kuat (Santoro, 2021).
(poe)