Korupsi Gerogoti Pembangunan

Senin, 19 Februari 2018 - 08:02 WIB
Korupsi Gerogoti Pembangunan
Korupsi Gerogoti Pembangunan
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

KORUPSI menjadi momok yang sangat menakutkan dan membahayakan proses pembangunan yang berjalan di semua negara. Korupsi terlahir seperti petaka karena menyebabkan leakages (kebocoran) dan tidak efisiennya penggunaan dana pembangunan. Permasalahan ini juga bisa menjadi salah satu jawaban yang selama ini tersembunyi, mengapa target pertumbuhan ekonomi kita sulit tercapai.

Korupsi menyebabkan fungsi injeksi dana pada perekonomian yang bersumber dari belanja publik menjadi tidak optimal. Tidak berhenti di situ, outcome yang diharapkan lahir dari pengeluaran pemerintah (khususnya melalui belanja produktif) agar ekonomi masyarakat semakin prospektif levelnya juga akan ikut-ikut menyusut.

Dalam beberapa minggu terakhir, kolom informasi masyarakat kembali digemparkan oleh kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dari berbagai level pemerintahan. Momentum tersebut terasa ikut memperberat langkah pemerintah untuk melakukan revolusi mental, khususnya pada sendi-sendi pemerintahan sebagai pelaku utama dalam mendorong pembangunan.

Hal yang memilukan rakyat dan kita semua, apalagi sebagai pembayar pajak, beberapa kepala daerah yang tertangkap tersebut masih juga diusulkan sebagai calon pemimpin daerah untuk periode berikutnya. Lantas sebegitu sulitkah mencari sejumlah pemimpin yang amanah?

Tren Korupsi
Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga belum mampu menuntaskan kasus korupsi hingga akar-akarnya. Bahkan tidak sedikit pihak yang berteriak (atau bahkan menuding) KPK sudah terjebak dalam pusaran politik hingga terkadang lembaga antirasuah ini tindak-tanduknya tampak kurang independen.

Tentu tudingan tersebut hingga saat ini masih sebatas spekulasi. Karena kebenaran secara ilmiah belum betul-betul terpenuhi.

Meskipun demikian, kita perlu kritis sudah sejauh mana KPK mampu memberantas tindakan korupsi? Jika kita lihat angka-angka penanangan kasus korupsi di Indonesia, KPK (2018) menyatakan setiap tahun jumlahnya kian meningkat.

KPK membagi penanganan kasus korupsi menjadi lima kategori, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkracht, dan eksekusi. Pada 2004 saat KPK baru resmi berusia dua tahun, jumlah kasus korupsi yang ditangani sebanyak 27 perkara dengan 23 di antaranya masuk kategori penyelidikan.

Jumlah kasus yang ditangani terus meningkat hingga tahun 2017 kemarin sudah mencapai 514 perkara dalam setahun. Tren jumlah perkara tersebut kemudian digiring menjadi pro-kontra yang cenderung bermakna politis.

Kubu kontra menganggap bahwa peningkatan jumlah perkara tersebut sebagai pertanda kegagalan KPK. Alibinya, KPK dianggap gagal menakuti para pejabat publik untuk terus melakukan korupsi sehingga terkesan cukup aneh jika kasus korupsi semakin meningkat, padahal sudah dibentuk KPK.

Adapun kubu yang pro justru menginterpretasikan bahwa peningkatan ini menunjukkan bahwa KPK makin cakap dalam “mengendus” praktik korupsi. Dalam pandangan kubu yang pro, pelaku korupsi memang sudah sangat menjamur sehingga cukup wajar jika jumlah kasus korupsi meningkat karena ruang gerak pelakunya untuk lolos dari jeratan KPK semakin dipersempit. Hal yang terpenting dari ini semua adalah jumlah koruptor tidak semakin berkembang.

Semenjak KPK didirikan, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka sudah 93 orang. Selain itu tidak sedikit pula anggota DPR dan DPRD serta oknum pemerintah daerah yang ikut terjerat operasi tangkap tangan (OTT).

Dampak Kebijakan Publik
Korupsi tidak hanya memiliki dimensi dampak yang terbatas pada persoalan jangka pendek seperti terkait dengan penegakan hukum dan berkurangnya kapasitas pembiayaan saja. Jika kita perluas frame-nya, masih banyak hal yang ikut-ikutan memburuk ketika persoalan korupsi tidak segera diatasi.

Pertama, korupsi dapat melemahkan rasa keadilan terhadap rakyat secara proporsional. Korupsi memengaruhi perilaku para pejabat di dalam perumusan kebijakan publik. Nah, yang paling bahaya di sini, ada tindakan penyelewengan yang berupaya menguntungkan segelintir pihak yang “sekufu” dengan para pemegang kekuasaan.

Dalam konteks hubungan antarkelembagaan, misalnya antara pemerintah dan para pebisnis (pengusaha), yang perlu dihindari adalah terjadinya hubungan rente. Hubungan rente adalah bentuk adanya “intervensi” dari para pengusaha terhadap pejabat agar kepentingan parsialnya diakomodasi.

Bentuk perburuan rente lainnya adalah tindakan asimetris yang menjurus pada tindakan pilih kasih sehingga penyelewengan ini membuat layanan publik menjadi inefektif dan inefisien serta menjadi tidak tepat sasaran. Akibatnya apa yang diputuskan pemerintah tidak memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.

Kedua, korupsi bisa mengubah perilaku dan kepatuhan pada penegakan hukum/aturan. Dalam konteks ini, para koruptor dianggap lebih mengenyangkan nafsunya sendiri ketimbang mengedepankan “normalitas” publik.

Perilaku para pelaku korupsi ini akan merusak sistem, dimana semuanya berusaha secara cepat/instan ingin cepat kaya atau cepat menjabat sehingga mereka beramai-ramai mencari jalan pintas meskipun kadang kala tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu mereka yang terbiasa “melanggar” aturan/hukum akan seterusnya melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan jika ini menjadi budaya, hal ini akan merusak seluruh tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Ketiga, adanya korupsi dalam jangka yang relatif panjang akan mengendurkan modal sosial pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Modal sosial di dalam kehidupan bernegara masih sangat penting untuk membangun kekuatan kolektif dalam pembangunan di suatu negara.
Contoh sederhananya dapat diilustrasikan dari hubungan negara dan rakyat dalam konteks perpajakan. Negara (khususnya negara berkembang seperti Indonesia) butuh modal yang kuat untuk membiayai layanan pembangunan.

Di Indonesia sebagian besar modal pembangunannya (akhir-akhir ini di atas 70–80%) bersumber dari pajak. Nah, pajak merupakan uang/pungutan yang dibayarkan masyarakat kepada negaranya. Perilaku kepatuhan pajak itu sendiri hingga saat ini masih dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat modal sosial antara pemerintah dan rakyat sehingga jika ingin tingkat kepatuhan pembayaran pajak bisa optimal, selain dengan memberikan regulasi yang tegas dan sistem pembayaran yang efisien, pemerintah jangan sekali-kali membuat modal sosial yang renggang dengan masyarakat.

Ketika masyarakat tidak yakin bahwa pajak yang dibayarkan tidak dikelola secara amanah atau bahkan malah dikorupsi, jangan heran ketika realisasi perpajakan menjadi tidak optimal dan dana pembangunan menjadi seret. Proses pengumpulan pajak sendiri sudah dilalui dengan susah payah. Realisasi penerimaan pun rata-rata mentok di kisaran 85% hingga 90%-an dari target.

Tax ratio kita juga masih cukup rendah jika dibanding beberapa negara ASEAN lain. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya membangun secara terus-menerus modal sosial yang dimiliki saat ini.

Oleh karena itu perlu ada tindakan kuratif agar ke depannya korupsi tidak semakin menggerogoti laju pembangunan. Solusi pertama, perang melawan korupsi perlu dimanajemeni dengan regulasi yang jelas dan tegas serta dikelola oleh perangkat yang independen, kompeten, dan memiliki rekam jejak yang bersih.

Bagi tersangka korupsi yang terbukti melakukan fraud (bukan yang sekadar dipolitisasi), perlu diberikan pelajaran yang memberikan efek jera dan memunculkan kesadaran baru. Hukum yang dikenakan betul–betul mencegah kegiatan korupsi dan mendorong perubahan perilaku (cara pandang) dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diemban.

Solusi kedua, sepertinya perilaku korupsi ada kaitannya dengan biaya politik di Indonesia yang sulit diprediksi dan relatif mahal. Kementerian Dalam Negeri memperkirakan dalam satu kali masa pemilihan di tingkat bupati, wali kota, atau gubernur, setidaknya para kontestan membutuhkan modal berkisar Rp20 miliar–100 miliar.

Pada Pilkada DKI Jakarta kemarin, dana kampanye yang dilaporkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah sekitar Rp85,4 miliar dan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp82,6 miliar. Dana tersebut belum termasuk dana saksi dan dana operasional lainnya yang tergolong sunyi-senyap.

Itu masih di DKI Jakarta yang secara geografis masih relatif sangat terjangkau. Belum lagi dengan daerah-daerah lain yang tantangan geografis dan geopolitiknya mungkin lebih berat ketimbang DKI Jakarta. Sementara itu gaji bupati, wali kota, dan gubernur yang memang terlalu kecil untuk membayar lunas dan mengganti total biaya kampanye yang sudah dikeluarkan.

Ketika motif para pemimpin tidak murni betul-betul sebagai bentuk pengabdian, maka kesempatan dan tekanan berperilaku korupsi akan terus menguat. Masyarakat perlu paham bahwa bekal berharga yang dibutuhkan untuk memilih seorang pemimpin adalah pertimbangan kompetensi, rekam jejak, dan kecakapan moral individunya.

Solusi terakhir, dalam rangka penguatan modal sosial dengan masyarakat, pemerintah perlu memfasilitasi akses yang menunjang transparansi informasi. Publik perlu dilibatkan dalam pengawasan, pengelolaan sumber daya daerah dan negara sehingga celah ruang yang selama ini dimanfaatkan untuk korupsi semakin lama dapat dikikis.

Selain itu untuk menghindari agar spekulasi di dalam penanganan isu korupsi tidak bergerak liar serta membuka ruang diskursus bagi masyarakat untuk ikut memberantas korupsi hingga akar-akarnya. Impelementasi GCG (good corporate governance) bisa jadi lebih mudah diimplementasikan dengan adanya transparansi dan akuntabilitas sistem informasi.

Akan tetapi apakah prinsip GCG betul-betul mengubah perilaku masyarakat, sepertinya masih memerlukan beberapa tahapan lagi. Oleh karena itu, agenda memerangi korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan tersistematis.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4368 seconds (0.1#10.140)