Resolusi UMKM Indonesia
A
A
A
Fajar S Pramono
Asisten Wakil Presiden sebuah Bank Pemerintah, Penulis Buku UMKM
SEHARUSNYA resolusi semacam ini keluar atau diafirmasikan sendiri secara kolektif dan masif oleh komunitas entrepreneur atau kelompok UMKM melalui berbagai ranah. Apakah itu ranah forum konvensional, ranah dunia maya atau ranah media sosial. Tapi rupanya gema yang didambakan itu tak kunjung terdengar hingga menjelang akhir minggu ketiga tahun 2018 ini.
Padahal, selama 2017, angin segar kebijakan pemerintah dan kepedulian berbagai pihak tentang bagaimana meniscayakan UMKM agar bisa menjadi pilar ekonomi yang semakin besar sangat kencang berembus.
Lantas apakah itu berarti ada yang ”kurang beres” dengan semangat dunia entrepreneurship mikro, kecil dan menengah kita?
Mestinya tidak. Justru seharusnya ungkapan harapan pelaku UMKM dengan mudah dilakukan (dan ditemukan) ketika dunia ini sudah masuk era digital. Media sosial atau fitur teknologi yang berkembang pesat satu dasawarsa terakhir ini seharusnya bisa membuat suara dan aspirasi UMKM menjadi lebih terdengar (dan terlihat).
Maka mari membuat sedikit evaluasi meski sampai tulisan ini dibuat, data valid mengenai jumlah, perkembangan, dan lain-lain seputar UMKM tahun 2017 belum banyak diekspos.
Pertama, tentang jumlah UMKM. Jumlah pasti UMKM Indonesia per Desember 2017 memang belum diumumkan secara resmi. Jika mendasarkan diri pada data terakhir yang ada (semester I 2017), jumlah UMKM Indonesia sudah menembus angka 60 juta UMKM dan ekonom Indef Bhima Yudhistira memprediksi adanya kenaikan hingga sejumlah 65 juta unit UMKM di tahun 2017-2020.
Namun pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga bahwa persentase UMKM di Indonesia sudah meningkat signifikan dan menembus ”batas psikologis” persentase UMKM kategori negara maju yang sebesar 2% menjadi kabar yang menggembirakan. Dari hanya 1,67% di tahun 2013/2014 telah meningkat menjadi 3,1% pada paruh awal tahun 2017.
Kedua, mengenai kontribusi UMKM terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Angka yang tercatat di awal tahun 2017 mencapai 61,41%. Namun pada Agustus 2017, beberapa pengamat memprediksi bahwa kontribusi UMKM terhadap PDB akan turun di akhir tahun sebagai akibat lesunya sektor perdagangan dan industri.
Kedua fakta di atas adalah kontradiksi. Di satu sisi pertumbuhan dan persentase jumlah UMKM yang meningkat cukup signifikan menyiratkan gairah ekonomi yang melonjak dan optimisme penguatan peran UMKM dalam ekonomi negeri. Namun kenyataannya kontribusinya terhadap PDB justru tak linier dengan jumlah peningkatan kuantitas UMKM ini.
Resolusi Berbenah Diri
Melihat kenyataan di atas, UMKM Indonesia harus berbenah. Kata ”berbenah” jauh lebih powerful daripada ”pembenahan” karena istilah ”pembenahan” mengesankan gerakan yang perubahannya dilakukan oleh faktor luar (pemerintah, konsultan, motivator, dinas terkait, dan lain-lain). Sementara ”berbenah” menyiratkan kesadaran dan keaktifan mandiri dari para pelaku UMKM itu sendiri.
Apa yang mestinya diresolusikan oleh UMKM jika secara kuantitas sudah meningkat baik, tetapi secara kualitas belum bisa memberikan harapan besar akan perannya bagi ekonomi Indonesia?
Pertama, bergabung dalam sebuah komunitas. Semakin banyak pelaku UMKM terlebih yang bergerak dalam industri yang sama memang menyiratkan persaingan yang lebih ketat antar-UMKM. Tapi, percayalah, kompetitor yang sekaligus merupakan kolega dalam satu komunitas justru bisa menjadi leverage bagi peningkatan usaha. Sharing experience dan business evaluating yang dilakukan secara kolektif akan menjadi hal yang sangat menyenangkan dan menciptakan semangat pengembangan diri.
Keberadaannya akan memacu satu sama lain untuk berlomba meningkatkan level bisnisnya tanpa harus meninggalkan teman-temannya. Bahkan bisa bekerja sama. Karena sesungguhnya dalam konteks pengembangan ekonomi negeri, yang layak disebut sebagai kompetitor bagi kita adalah UMKM asing. UMKM mancanegara yang jika kita tidak mampu berperan dalam ekonomi domestik, merekalah yang akan mengambil peran itu.
Besar bersama, maju bersama. Ini moto yang bisa dipegang dalam sebuah komunitas usaha yang positif.
Kedua, untuk kesekian kalinya: go digital ! Wajib. Harus. Kudu. Itu jika usahanya ingin berkembang dan meluas. Era internet of thing (IOT) dan era akuntabilitas ini mensyaratkan digitalisasi sebagai pendorong utama kecepatan perkembangan dan percepatan penerimaan pasar yang semakin melek digital dan suka kepraktisan.
Digitalisasi oleh pelaku UMKM juga memungkinkan makin mudah dan layaknya mereka untuk memasuki market place yang sekarang makin menjamur. Market place diyakini bisa mengalahkan conventional market, baik secara omzet maupun pemenuhan jenis produk yang dibutuhkan customer.
Penciptaan cashless society yang terus didorong pemerintah juga menjadi alasan utama bagi pentingnya digitalisasi UMKM. Pasar-pasar tradisional kini mulai mengalihkan pola pembayaran manual pada penggunaan e-money dan pemanfaatan EDC (electronic data capture). Beberapa kedai modern bahkan sudah memperkenalkan penerapan kode digital (QR c ode) untuk pemberian informasi produk dan prosedur pembayarannya. Ini luar biasa dan ”berbahaya” sekaligus jika UMKM tidak bersedia menyesuaikan dirinya.
Saat ini Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah daerah serta para pelaku bisnis e- commerce gencar melakukan Gerakan Nasional Digitalisasi UMKM. Tujuannya tak lain untuk menciptakan kekuatan ekonomi nasional berbasis UMKM. Para pelaku UMKM konvensional harus masuk juga dalam gerakan ini.
Ketiga, berani memupuk modal dari berbagai sumber dana. Saat ini UMKM masih banyak yang sekadar mengandalkan modal dari kantong sendiri atau keluarga. Lebih dari itu adalah dari perbankan yang kadang kala masih dikeluhkan karena adanya kendala formal untuk mendapatkan kredit. Sementara di luaran masih banyak sumber yang bisa digali.
Dana PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) badan-badan usaha, dana ventura, menjamurnya investor murni yang sekadar menginginkan dananya berputar tanpa harus terjun langsung mengurus bisnis dan sebagainya adalah alternatif sumber permodalan yang layak dipertimbangkan. Tentu semua itu harus didukung perhitungan dan kedisiplinan yang kuat agar pola subsidi dan atau peminjaman itu tidak berakhir pada kesengsaraan usaha.
Para pemilik dana di atas akan memilih dan yakin ketika UMKM yang menjadi objek kredit atau objek investasi itu melek digital dan tergabung dalam komunitas bisnis yang bonafide. Informasi mengenai karakter pengelola usaha dan kondisi usaha akan lebih mudah mereka dapatkan dari keberadaan jaringan dan komunitas yang ada. Maka sangat disayangkan jika UMKM hari ini punya mimpi berkembang sendiri hanya dengan dalih kompetisi.
Keempat, memanfaatkan kepedulian yang semakin tinggi dari dunia dan negara atas pentingnya mengembangkan UMKM. Tahun 2016, 11 negara yang didukung Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah menginisiasi Hari UMKM Internasional yang ditetapkan jatuh pada tanggal 27 Juni.
Indonesia juga telah menetapkan Hari UMKM Nasional setiap tanggal 31 Maret. Apa artinya? Itu wujud simbolik pengakuan dunia dan negara bahwa UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata kedudukannya dalam penentuan sistem dan kondisi ekonomi suatu bangsa. Dan tentu pemerintah tidak hanya akan tinggal diam tanpa aksi yang jelas melalui program-programnya.
Apa yang harus dilakukan UMKM Indonesia? Merapatlah kepada instansi-instansi pemerintah. Dinas-dinas terkait. Jangan sampai tertinggal informasi dan kesempatan untuk mengembangkan UMKM yang tengah dirintis. Manfaatkan berbagai forum seminar, pelatihan, pendampingan, dan kesempatan menampilkan produk usaha pada berbagai event pameran yang akan diadakan. Aktiflah berkonsultasi dan mencari informasi tentang rencana aksional lembaga pemerintah terkait. Lakukan bersama komunitas usaha yang solid. Jangan pasif.
Demikianlah. Semoga resolusi ini telah menjadi ”bara semangat” dalam jiwa UMKM Indonesia meski tak keluar sebagai afirmasi resolusi awal tahun 2018. Toh sesungguhnya resolusi perbaikan dan pengembangan diri bisa dilakukan kapan saja. Pergantian tahun pun sekadar tonggak waktu dalam sebuah kelaziman. Sementara tonggak waktu itu sendiri adalah ”ciptaan” kita sendiri. Manusia.
Jadi tak ada kata terlambat untuk ber-resolusi. Hari ini? Besok pagi? Mari.
Asisten Wakil Presiden sebuah Bank Pemerintah, Penulis Buku UMKM
SEHARUSNYA resolusi semacam ini keluar atau diafirmasikan sendiri secara kolektif dan masif oleh komunitas entrepreneur atau kelompok UMKM melalui berbagai ranah. Apakah itu ranah forum konvensional, ranah dunia maya atau ranah media sosial. Tapi rupanya gema yang didambakan itu tak kunjung terdengar hingga menjelang akhir minggu ketiga tahun 2018 ini.
Padahal, selama 2017, angin segar kebijakan pemerintah dan kepedulian berbagai pihak tentang bagaimana meniscayakan UMKM agar bisa menjadi pilar ekonomi yang semakin besar sangat kencang berembus.
Lantas apakah itu berarti ada yang ”kurang beres” dengan semangat dunia entrepreneurship mikro, kecil dan menengah kita?
Mestinya tidak. Justru seharusnya ungkapan harapan pelaku UMKM dengan mudah dilakukan (dan ditemukan) ketika dunia ini sudah masuk era digital. Media sosial atau fitur teknologi yang berkembang pesat satu dasawarsa terakhir ini seharusnya bisa membuat suara dan aspirasi UMKM menjadi lebih terdengar (dan terlihat).
Maka mari membuat sedikit evaluasi meski sampai tulisan ini dibuat, data valid mengenai jumlah, perkembangan, dan lain-lain seputar UMKM tahun 2017 belum banyak diekspos.
Pertama, tentang jumlah UMKM. Jumlah pasti UMKM Indonesia per Desember 2017 memang belum diumumkan secara resmi. Jika mendasarkan diri pada data terakhir yang ada (semester I 2017), jumlah UMKM Indonesia sudah menembus angka 60 juta UMKM dan ekonom Indef Bhima Yudhistira memprediksi adanya kenaikan hingga sejumlah 65 juta unit UMKM di tahun 2017-2020.
Namun pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga bahwa persentase UMKM di Indonesia sudah meningkat signifikan dan menembus ”batas psikologis” persentase UMKM kategori negara maju yang sebesar 2% menjadi kabar yang menggembirakan. Dari hanya 1,67% di tahun 2013/2014 telah meningkat menjadi 3,1% pada paruh awal tahun 2017.
Kedua, mengenai kontribusi UMKM terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Angka yang tercatat di awal tahun 2017 mencapai 61,41%. Namun pada Agustus 2017, beberapa pengamat memprediksi bahwa kontribusi UMKM terhadap PDB akan turun di akhir tahun sebagai akibat lesunya sektor perdagangan dan industri.
Kedua fakta di atas adalah kontradiksi. Di satu sisi pertumbuhan dan persentase jumlah UMKM yang meningkat cukup signifikan menyiratkan gairah ekonomi yang melonjak dan optimisme penguatan peran UMKM dalam ekonomi negeri. Namun kenyataannya kontribusinya terhadap PDB justru tak linier dengan jumlah peningkatan kuantitas UMKM ini.
Resolusi Berbenah Diri
Melihat kenyataan di atas, UMKM Indonesia harus berbenah. Kata ”berbenah” jauh lebih powerful daripada ”pembenahan” karena istilah ”pembenahan” mengesankan gerakan yang perubahannya dilakukan oleh faktor luar (pemerintah, konsultan, motivator, dinas terkait, dan lain-lain). Sementara ”berbenah” menyiratkan kesadaran dan keaktifan mandiri dari para pelaku UMKM itu sendiri.
Apa yang mestinya diresolusikan oleh UMKM jika secara kuantitas sudah meningkat baik, tetapi secara kualitas belum bisa memberikan harapan besar akan perannya bagi ekonomi Indonesia?
Pertama, bergabung dalam sebuah komunitas. Semakin banyak pelaku UMKM terlebih yang bergerak dalam industri yang sama memang menyiratkan persaingan yang lebih ketat antar-UMKM. Tapi, percayalah, kompetitor yang sekaligus merupakan kolega dalam satu komunitas justru bisa menjadi leverage bagi peningkatan usaha. Sharing experience dan business evaluating yang dilakukan secara kolektif akan menjadi hal yang sangat menyenangkan dan menciptakan semangat pengembangan diri.
Keberadaannya akan memacu satu sama lain untuk berlomba meningkatkan level bisnisnya tanpa harus meninggalkan teman-temannya. Bahkan bisa bekerja sama. Karena sesungguhnya dalam konteks pengembangan ekonomi negeri, yang layak disebut sebagai kompetitor bagi kita adalah UMKM asing. UMKM mancanegara yang jika kita tidak mampu berperan dalam ekonomi domestik, merekalah yang akan mengambil peran itu.
Besar bersama, maju bersama. Ini moto yang bisa dipegang dalam sebuah komunitas usaha yang positif.
Kedua, untuk kesekian kalinya: go digital ! Wajib. Harus. Kudu. Itu jika usahanya ingin berkembang dan meluas. Era internet of thing (IOT) dan era akuntabilitas ini mensyaratkan digitalisasi sebagai pendorong utama kecepatan perkembangan dan percepatan penerimaan pasar yang semakin melek digital dan suka kepraktisan.
Digitalisasi oleh pelaku UMKM juga memungkinkan makin mudah dan layaknya mereka untuk memasuki market place yang sekarang makin menjamur. Market place diyakini bisa mengalahkan conventional market, baik secara omzet maupun pemenuhan jenis produk yang dibutuhkan customer.
Penciptaan cashless society yang terus didorong pemerintah juga menjadi alasan utama bagi pentingnya digitalisasi UMKM. Pasar-pasar tradisional kini mulai mengalihkan pola pembayaran manual pada penggunaan e-money dan pemanfaatan EDC (electronic data capture). Beberapa kedai modern bahkan sudah memperkenalkan penerapan kode digital (QR c ode) untuk pemberian informasi produk dan prosedur pembayarannya. Ini luar biasa dan ”berbahaya” sekaligus jika UMKM tidak bersedia menyesuaikan dirinya.
Saat ini Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah daerah serta para pelaku bisnis e- commerce gencar melakukan Gerakan Nasional Digitalisasi UMKM. Tujuannya tak lain untuk menciptakan kekuatan ekonomi nasional berbasis UMKM. Para pelaku UMKM konvensional harus masuk juga dalam gerakan ini.
Ketiga, berani memupuk modal dari berbagai sumber dana. Saat ini UMKM masih banyak yang sekadar mengandalkan modal dari kantong sendiri atau keluarga. Lebih dari itu adalah dari perbankan yang kadang kala masih dikeluhkan karena adanya kendala formal untuk mendapatkan kredit. Sementara di luaran masih banyak sumber yang bisa digali.
Dana PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) badan-badan usaha, dana ventura, menjamurnya investor murni yang sekadar menginginkan dananya berputar tanpa harus terjun langsung mengurus bisnis dan sebagainya adalah alternatif sumber permodalan yang layak dipertimbangkan. Tentu semua itu harus didukung perhitungan dan kedisiplinan yang kuat agar pola subsidi dan atau peminjaman itu tidak berakhir pada kesengsaraan usaha.
Para pemilik dana di atas akan memilih dan yakin ketika UMKM yang menjadi objek kredit atau objek investasi itu melek digital dan tergabung dalam komunitas bisnis yang bonafide. Informasi mengenai karakter pengelola usaha dan kondisi usaha akan lebih mudah mereka dapatkan dari keberadaan jaringan dan komunitas yang ada. Maka sangat disayangkan jika UMKM hari ini punya mimpi berkembang sendiri hanya dengan dalih kompetisi.
Keempat, memanfaatkan kepedulian yang semakin tinggi dari dunia dan negara atas pentingnya mengembangkan UMKM. Tahun 2016, 11 negara yang didukung Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah menginisiasi Hari UMKM Internasional yang ditetapkan jatuh pada tanggal 27 Juni.
Indonesia juga telah menetapkan Hari UMKM Nasional setiap tanggal 31 Maret. Apa artinya? Itu wujud simbolik pengakuan dunia dan negara bahwa UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata kedudukannya dalam penentuan sistem dan kondisi ekonomi suatu bangsa. Dan tentu pemerintah tidak hanya akan tinggal diam tanpa aksi yang jelas melalui program-programnya.
Apa yang harus dilakukan UMKM Indonesia? Merapatlah kepada instansi-instansi pemerintah. Dinas-dinas terkait. Jangan sampai tertinggal informasi dan kesempatan untuk mengembangkan UMKM yang tengah dirintis. Manfaatkan berbagai forum seminar, pelatihan, pendampingan, dan kesempatan menampilkan produk usaha pada berbagai event pameran yang akan diadakan. Aktiflah berkonsultasi dan mencari informasi tentang rencana aksional lembaga pemerintah terkait. Lakukan bersama komunitas usaha yang solid. Jangan pasif.
Demikianlah. Semoga resolusi ini telah menjadi ”bara semangat” dalam jiwa UMKM Indonesia meski tak keluar sebagai afirmasi resolusi awal tahun 2018. Toh sesungguhnya resolusi perbaikan dan pengembangan diri bisa dilakukan kapan saja. Pergantian tahun pun sekadar tonggak waktu dalam sebuah kelaziman. Sementara tonggak waktu itu sendiri adalah ”ciptaan” kita sendiri. Manusia.
Jadi tak ada kata terlambat untuk ber-resolusi. Hari ini? Besok pagi? Mari.
(maf)