Pakar Politik Ungkap Bahaya Ordal bagi Sistem Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Istilah orang dalam (ordal) viral dalam debat perdana calon presiden (capres) 2024. Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan menilai keberadaan ‘orang dalam’ dalam sistem politik dan kehidupan bernegara ibarat benalu.
“Orang dalam itu benalu yang bisa membunuh meritokrasi. Meritokrasi tidak mengenal orang dalam atau orang luar. Ia tegak lurus dengan menempatkan kapasitas, kualitas, kapabilitas, dan integritas sebagai standar baku untuk terbangunnya sistem dalam beragam ranahnya, terlebih dalam sistem demokrasi,” ujar Bakir di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
“Meritokrasi tegak apabila demokrasi betul-betul menempatkan equality sebagai pijakannya. Orang dalam menyebabkan equality mati,” sambungnya.
Selain itu, Bakir melanjutkan, salah satu dampak buruk dari kuatnya ‘orang dalam’ dalam sistem politik adalah maraknya kasus korupsi.
“Karena orang dalam itu bentuk deviasi dari sistem yang seharusnya, sebagaimana korupsi bentuk penyimpangan dari mekanisme yang seharusnya. Mereka adalah sisi gelap birokrasi,” jelasnya.
Kemudian, Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menilai nepotisme dan keberadaan ‘orang dalam’ akan mengganggu demokrasi.
“Tentu dalam demokrasi semua memiliki kesempatan yang setara. Ini tentu harus jadi nilai yang dipegang tiap pejabat publik sebagai "forbearance" atau penahan nafsu dalam menjaga demokrasi. Termasuk juga nepotisme dan fenomena ordal,” terang Kahfi.
Menurutnya, kendati tidak ada peraturan rigid, jelas soal orang dalam, nilai demokrasi harus tetap dipegang teguh, terutama memegang semangat meritokrasi. Keberadaan ordal juga menjadi rintangan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Bila ada nepotisme dalam rekrutmen politik, apalagi sampai memperalat hukum, maka muncul tindakan favoritisme yang berujung pada tindakan nepotis. Ini juga akan jadi rintangan bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, tindakan korupsi mengikut dengannya juga kolusi dan nepotisme. Ini juga jadi alasan utama mengapa reformasi menghendaki hilangnya KKN,” bebernya.
Kemudian, Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Praswad Nugraha mengatakan praktek orang dalam sudah menjadi rahasia umum dan merusak demokrasi.
“Ini faktor utama yang merusak demokrasi dan penegakan hukum, mereka kerap kali menjadi negosiator dalam tawar menawar komoditi yang bernama kewenangan dan kekuasaan,” ujar Praswad, Kamis (14/12/2023).
Praswad melanjutkan hal ini diperburuk dengan melemahnya lembaga pengawas hukum, HAM dan anti korupsi yaitu KPK. Seperti kasus Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri ditangkap karena dugaan pemerasan.
Praswad menilai KPK harus diperkuat kembali. Presiden bisa mengeluarkan Perppu UU KPK agar kembali ke UU Nomor 30 Tahun 2002. Sehingga KPK bisa menjadi lembaga penegak hukum yang independen kembali.
Praswad menyayangkan bahwa bahasan Hukum dan HAM, serta Pemberantasan Korupsi hanya dianggap materi debat semata. Namun dia masih berharap para paslon memiliki komitmen yang kuat untuk pemberantasan korupsi.
“Semoga pemilu 2024 ini kita benar-benar bisa menghasilkan kandidat yang benar-benar komit dalam pemberantasan korupsi,” pungkas Praswad.
Sebelumnya, ordal menjadi topik pembahasan panas dalam debat calon presiden. Yakni terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres yang menjadi jalan mulus bagi Gibran Rakabuming Raka anak Presiden Jokowi maju sebagai Cawapres. Hal ini disebut sebagai fenomena ordal (orang dalam) dan hilangnya meritokrasi.
“Orang dalam itu benalu yang bisa membunuh meritokrasi. Meritokrasi tidak mengenal orang dalam atau orang luar. Ia tegak lurus dengan menempatkan kapasitas, kualitas, kapabilitas, dan integritas sebagai standar baku untuk terbangunnya sistem dalam beragam ranahnya, terlebih dalam sistem demokrasi,” ujar Bakir di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
“Meritokrasi tegak apabila demokrasi betul-betul menempatkan equality sebagai pijakannya. Orang dalam menyebabkan equality mati,” sambungnya.
Selain itu, Bakir melanjutkan, salah satu dampak buruk dari kuatnya ‘orang dalam’ dalam sistem politik adalah maraknya kasus korupsi.
“Karena orang dalam itu bentuk deviasi dari sistem yang seharusnya, sebagaimana korupsi bentuk penyimpangan dari mekanisme yang seharusnya. Mereka adalah sisi gelap birokrasi,” jelasnya.
Kemudian, Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menilai nepotisme dan keberadaan ‘orang dalam’ akan mengganggu demokrasi.
“Tentu dalam demokrasi semua memiliki kesempatan yang setara. Ini tentu harus jadi nilai yang dipegang tiap pejabat publik sebagai "forbearance" atau penahan nafsu dalam menjaga demokrasi. Termasuk juga nepotisme dan fenomena ordal,” terang Kahfi.
Menurutnya, kendati tidak ada peraturan rigid, jelas soal orang dalam, nilai demokrasi harus tetap dipegang teguh, terutama memegang semangat meritokrasi. Keberadaan ordal juga menjadi rintangan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Bila ada nepotisme dalam rekrutmen politik, apalagi sampai memperalat hukum, maka muncul tindakan favoritisme yang berujung pada tindakan nepotis. Ini juga akan jadi rintangan bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, tindakan korupsi mengikut dengannya juga kolusi dan nepotisme. Ini juga jadi alasan utama mengapa reformasi menghendaki hilangnya KKN,” bebernya.
Kemudian, Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Praswad Nugraha mengatakan praktek orang dalam sudah menjadi rahasia umum dan merusak demokrasi.
“Ini faktor utama yang merusak demokrasi dan penegakan hukum, mereka kerap kali menjadi negosiator dalam tawar menawar komoditi yang bernama kewenangan dan kekuasaan,” ujar Praswad, Kamis (14/12/2023).
Praswad melanjutkan hal ini diperburuk dengan melemahnya lembaga pengawas hukum, HAM dan anti korupsi yaitu KPK. Seperti kasus Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri ditangkap karena dugaan pemerasan.
Praswad menilai KPK harus diperkuat kembali. Presiden bisa mengeluarkan Perppu UU KPK agar kembali ke UU Nomor 30 Tahun 2002. Sehingga KPK bisa menjadi lembaga penegak hukum yang independen kembali.
Praswad menyayangkan bahwa bahasan Hukum dan HAM, serta Pemberantasan Korupsi hanya dianggap materi debat semata. Namun dia masih berharap para paslon memiliki komitmen yang kuat untuk pemberantasan korupsi.
“Semoga pemilu 2024 ini kita benar-benar bisa menghasilkan kandidat yang benar-benar komit dalam pemberantasan korupsi,” pungkas Praswad.
Sebelumnya, ordal menjadi topik pembahasan panas dalam debat calon presiden. Yakni terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres yang menjadi jalan mulus bagi Gibran Rakabuming Raka anak Presiden Jokowi maju sebagai Cawapres. Hal ini disebut sebagai fenomena ordal (orang dalam) dan hilangnya meritokrasi.
(kri)