Gagasan Pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi

Senin, 11 Desember 2023 - 12:45 WIB
loading...
A A A
Pengalaman penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di AS, Inggris, dan Prancis menunjukkan bahwa pendekatan penghukuman terhadap khususnya korporasi asal negaranya yang terlibat dan memiliki bukti kuat telah melakukan korupsi, telah dilakukan kebijakan Penundaan Penuntutan (Deferred Prosecution Agreement-DPA), yaitu Kejaksaan tidak akan menuntut korporasi yang telah nyata terbukti melakukan korupsi dengan syarat wajib membayar denda penalti berlipat-lipat dibandingkan dengan maksimal pidana denda satu miliar rupiah yang terdapat dalam UU Tipikor Tahun 1999/2001.

Dalam hal terjadi korupsi dan suap yang melibatkan korporasi negara tersebut di mana pun dilakukan maka baik pengurus maupun korporasinya tidak dapat dituntut secara pidana oleh negara mana pun. Kebijakan DPA di negara-negara tersebut juga telah mengakibatkan terhambatnya KPK menuntaskan perkara suap yang melibatkan perusahaan Boeing AS dalam perkara ES sebagai Dirut GIA. Berdasarkan kebijakan baru DPA dapat disimpulkan bahwa tujuan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak lagi dilandaskan pada teori pembalasan/penghukuman semata-mata, melainkan masih perlu dilengkapi dan dilandaskan prinsip maksimisasi (maximization), keseimbangan (equilibrium), dan efisiensi (efficeiency). Dengan kata lain, di era globalisasi ekonomi dunia saat ini, tujuan penghukuman dari hukum pidana sudah tidak relevan dan cenderung merugikan kepentingan negara maupun perorangan/korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Sejalan dengan prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati, maka dalam konteks gagasan pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi, prinsip tersebut diharapkan dapat diwujudkan dengan memadai. Prinsip kerja Komisi Pencegahan Korupsi adalah prinsip efisiensi, maksimisasi, dan keseimbangan antara tujuan pencegahan dan cara mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini tugas utama Komisi Pencegahan Korupsi adalah melakukan pemantauan, klarifikasi, dan meneliti keabsahan bukti hak kepemilikan atas harta kekayaan setiap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Penyelenggara Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewenangan Komisi Pencegahan Korupsi selain melakukan pemantauan dan klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHPKN) juga berwenang melakukan upaya “preventive-detention” yaitu upaya paksa melakukan penggeledahan dan penyitaan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana atau harta kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah. Pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi dengan tugas utama tersebut berdasarkan suatu UU, dipastikan dapat meningkatkan disiplin setiap ASN/Penyelenggara Negara dan bersamaan dengannya, dapat menurunkan secara signifikan gratifikasi, suap, dan korupsi di Indonesia.

Konsekuensi logis dari pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi, maka KPK yang telah dibentuk sejak 21 tahun lampau dibubarkan dan fungsi penyidikan dan penuntutan KPK diambil alih Kejaksaan.
(zik)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1878 seconds (0.1#10.140)