Perang Sengit Propaganda Pemitosan Capres

Rabu, 06 Desember 2023 - 08:05 WIB
loading...
Perang Sengit Propaganda Pemitosan Capres
Foto: Istimewa
A A A
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator Seni

PARA pakar komunikasi politik sudah mahfum jika masa kampanye adalah uji ketangkasan membuat mitos. Pertempuran sengit hadir Desember-Januari ini untuk membuat persuasi lewat media apa saja, baik fisikal pun virtual. Popularitas pasangan calon presiden (Capres) ditingkatkan dengan segala cara untuk menaikkan elektabilitas. Mitos adalah satu-satunya mantra yang dilekatkan pada sosok Capres.

baca juga: Masa Kampanye Capres-Cawapres Selama 75 Hari

Mendadak Capres terlihat merakyat, dekat dengan kawula muda, atau sekadar membuat meme lucu-lucuan dan menggemaskan serta diviralkan. Yang sebenarnya, Tim suksesnya ingin memanipulasi Capres yang tak mampu-mampu amat. Bahkan secara artikulatif - dalam debat Capres misalnya, minim memiliki kemampuan dan menjelaskan visi sebagai pemimpin bangsa.

Yang penting meninabobokan kewarasan publik, maka Timses Capres dituntut kreatif dan tentunya peran para relawan benar-benar wajib memeras otak pun menyiasati logistik untuk memengaruhi publik. Mitos, memang dibangun dengan atau tanpa biaya besar yang kuncinya adalah memantik emosi, saat sama membangkitkan kesadaran.

Jangan seperti pengalaman Presiden Filipina sekarang, yang tenar dengan nama Bongbong, terpilih dalam kondisi ironi. Emosi publik dipermainkan, namun saat sama tersisa ingatan komunal publik Filipina, bahwa Bongbong Marcos tak lain adalah putra sang tiran yang punya reputasi mega korupsi Ferdinand Marcos di masa lalu.

Permainan diubah, mitos yang baru dikedepankan, sejarah muram lama bisa dihapuskan. Politik Dinasti yang kotor itu, mendadak diciptakan berulang-ulang plus mitos-mitos anyar yang sama sekali berbeda secara masif dan sistemik disebarkan.

Strategi kampanye Timsesnya mengubah paras Bongbong dekat dengan kawula muda dan keren via tayangan Tik-Tok dan kampanye massal, penuh pertunjukan yang menghibur, dipentaskan para selebritas terdepan serta dihadiri ribuan manusia.

Perang Baliho, Spanduk Rakyat atau Tembok Bertutur?

Tim sukses salah satu paslon Capres memanggungkan baliho massal tentang sosok gemoy yang absurd. Itikadnya, jelas-jelas ingin mendulang simpati pemilih muda usia. Pesta Demokrasi selayaknya manifestasinya semata kemeriahan yang beraroma menggemaskan dan lucu, berbau fiksi plus disebarkan via media sosial.

baca juga: Jadwal Pengundian Nomor Urut Capres Cawapres 2024 hingga Kampanye

Penulis saksikan tiap melintas jalan-jalan utama, sosok-sosok itu berdiri jumawa di tengah-tengah jantung kota Jakarta. Di antara gedung-gedung pencakar langit, baliho dan billboard silih berganti menampilkan dua figur yang dibuat dari artificial intelligence. Meski terkesan rapi, menimbulkan tanda tanya, bahwa imej-imej itu menjauh dari realitas hidup dan memang sejatinya benar-benar artificial?

Anak-anak muda dan lebih dari lima puluh persen Generasi Z dan Millenial yang aktif menjadi pemilih Pemilu kita pada 2024 semoga berpikir lebih kritis. Tak hanyut oleh mitos-mitos baru yang sembarangan menghina nalar, menjauhkan nurani. Berbagai acara yang unik dari totonan TV juga kreatifnya pesan-pesan media sosial sedang disiapkan untuk membuka ide-ide dan digelontorkan ke publik tentu dengan bujuk emosi makin tajam.

Beberapa saat lalu, penulis sempat menghadiri sebuah acara yang menampilkan salah satu nara sumbernya seorang coach tenar. Penulis terpana dan terpikat, dengan kiat-kiat untuk memenangkan kompetisi meraih dukungan publik sebenarnya adalah strategi membujuk hati, yakni intimasi personal.

Coach Rene - sebut saja demikian, sebagai pembicara publik yang pernah memimpin sebuah BUMD dan menjadi komisaris utama. Piawai mengetengahkan bahwa selayaknya calon pemimpin sedikit menjauhkan hal-hal yang menguras hidup kita dari dunia yang penuh distraktif.

Salah satu dunia paling distraktif adalah dunia aplikasi digital, yang menyita dan mencipta kita tersihir, menjadi separuh manusia-zombie, yang menyetir kita jatah separuh waktu selama 24 jam sehari. Fokus kita, sebaiknya mengembalikan marwah dan harkat hidup kita dari yang paling hakiki, menyentuh sisi manusiawi kita untuk winning the heart and minds. Ia mengombinasikan peran kedekatan nurani personal calon pemimpin sekaligus menggedor kewarasan publik.

baca juga: Fotonya Sering Digunakan Kampanye Capres, Jokowi: Enggak Apa-apa, Boleh-boleh Saja

Rene sebut satu contoh satu aksi, kenapa tidak menyentuh seseorang dengan tulisan tangan dari pada bersibuk mengirimkan lewat percakapan aplikasi di gup-grup di ponsel? Sementara paslon Capres lain, AMIN yang mengusung semangat keberpihakan pada masyarakat jelata, dalam dua minggu terakhir para relawannya dengan cara bahu-membahu, yang dikarenakan minimnya logistik justru membuka pencerahan. Mereka menampakkan paras sesungguhnya dunia realita.

Pesta demokrasi lima tahunan berasal dari, oleh dan untuk arus bawah diwakilkan dengan spanduk rakyat dari karung goni - wadah beras dan terigu, pun media luar - ruangnya yang sederhana yang dicantolkan di pagar rumah warga. Tapi, itu semua memuat pesan-pesan nan tajam menusuk juga menggugah.

Bagi penulis, lagi-lagi menerbangkan ingat pada masa-masa revolusi fisik sekitar 1945-1949, yang mana spanduk-spanduk atau bahkan tembok-tembok berteriak-garang! Seperti misalnya “enyahkan NICA dari bumi Pertiwi”, “Merdeka atau mati”, “Go to Hell NICA” dll.

Spanduk rakyat menjadi salah satu alternatif untuk memikat mereka yang dari bawah, siapa yang menganggap perlu perubahan dan saatnya untuk bergerak. Spanduk rakyat, semata-mata membangun mitos tentang pemimpin yang menggerakkan dan mengajak untuk berbenah, melampaui yang telah lewat sementara membangun yang belum.

Mitos untuk Capres disampaikan secara sederhana, tak harus ada biaya besar. Namun mengajak partisipatif relawan-relawan dari pelosok Tanah Air bahwa figur Capres adalah bagian dari mereka, para relawan, yang tak terpisahkan.

Tembok Bertutur Wind of Change

Sementara itu, ada suara-suara lain yang ikut menyusup dan mungkin saja terdengar kelak. Yakni, dari komunitas kreatif seniman jalanan yang akrab disebut seniman-seniman street art. Street art dalam bentuknya sebagai graffiti, stencil atau mural adalah ekspresi seni di ruang-ruang publik dan ruang intim privat. Seperti sebuah “seismograf” yang merasakan getaran-getaran “gempa estetik” dengan corak-keindahan khusus dan situasional di sebuah lokasi.

baca juga: Jokowi Tegaskan Tak Akan Jadi Juru Kampanye Salah Satu Capres di Pilpres 2024

Pemilu 2024 adalah “gempa estetik” untuk membuat sesuatu dan membawa mitos baru Capres yang memang layak dan memiliki visi membangun dan mengubah! Kampanye Paslon AMIN semestinya akan efektif melalui jalan kesenian ini, propaganda bisa dipetakan dengan 'Tembok Wind of Change', mentransimisi pesan-pesan perubahan untuk negeri lebih makmur dan berkeadilan. Yang jika usai dibuat di sebuah tembok, diviralkan lewat media sosial. Tembok perubahan akan menyampaikan segala hal dengan tigal hal ini pada Gen Z dan Millenial, yakni entertaining, engaging dan caring.

Tiga poin itu mengombinasikan bahwa anak-anak muda seharusnya didekati dengan cara fun, menghibur sekaligus terpikat secara pikiran dan hati untuk terlibat bahwa dunia politik dan kampanye adalah sesuatu yang oke plus caring, yakni peduli pada Capres tertentu.Street art dengan tembok-tembok bertutur perubahan, wind of change, seharusnya mampu membuat indah kawasan sekaligus menyampaikan tentang visi dan misi substansial AMIN.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1565 seconds (0.1#10.140)