Pemerintah Baru Didorong Lebih Tegas Tangani Kelompok Anti Pancasila
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia telah menyelesaikan Pemilu 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden dan Anggota DPR periode 2024-2029. Harapan dan tantangan besar terbentang luas dalam membangun bangsa Indonesia, khususnya dari rongrongan ideologi-ideologi anti-Pancasila.
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), penanganan masalah ini sudah sangat tegas dengan dibubarkannya organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi khilafah. Kini pemerintahan baru di bawah komando presiden terpilih Prabowo Subianto diharapkan akan lebih tegas dalam memberantas ideologi-ideologi transnasional tersebut.
Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Sri Yunanto mengatakan, meski organisasi kelompok tersebut sudah dibubarkan, tapi sel-sel mereka masih terus bergerak di bawah tanah. Bahkan pada Pemilu 2024, kelompok ini sempat mengkristal dalam kelompok pasangan calon (paslon) tertentu yang tidak menang.
"Artinya mereka akan terus bergerak mempromosikan ideologi mereka dengan berbagai gerakan. Seperti beberapa waktu kemarin ada video viral kegiatan anak muda atau mahasiswa, di mana pembicaranya mengangkat ide lama seperti antidemokrasi, antipajak yang dibenturkan dengan zakat. Kemudian ujung-ujungnya anti-NKRI," ungkap Sri Yunanto Minggu (12/5/2024).
Ia menilai, kegiatan itu menjadi tanda mereka berusaha kembali ke permukaan sejak HTI dibubarkan pada 2017 dengan memanfaatkan momentum politik yaitu pemilu. Itu juga menjadi bukti, meski organisasinya telah dibubarkan, tetapi kelompok itu masih eksis. "Mereka mungkin bisa berganti nama atau 'rumah' baru, tapi isinya tetap ideologi khilafah yang ingin mempreteli kebijakan negara. Saya konfirmasi ini neo HTI yang secara gerakan ideologi ke arah sana tapi organisasinya nggak pakai HTI," ujarnya.
Untuk itu, Sri Yunanto berharap pemerintah baru nanti harus waspada. Apalagi pemerintah baru nanti memiliki rencana kebutuhan anggaran lebih besar di luar anggaran rutin dengan adanya IKN, serta makan siang gratis yang dijadikan platform saat kampanye. Dengan demikian, sumber penerimaan harus digenjot, makanya santer dikabarkan nanti akan ada satu badan penerimaan negara seperti Dirjen Pajak, yang dipisahkan dari Kementerian Keuangan.
"Di situ serangan ideologinya sudah ada. Kalau saya lihat viral di video viral itu misalnya mereka mendelegitimasi tentang pajak, padahal pajak adalah sumber utama penerimaan negaram" katanya.
Sri Yunanto menyarankan, selain kontra narasi yang harus terus dilakukan untuk memerangi propaganda kelompok tersebut, juga harus ada langkah preemtif dan preventif untuk menangani kelompok tersebut. Ini penting agar kelompok ini tidak makin besar. Apalagi setelah pemilu, akhir tahun 2024 ini akan ada Pilkada serentak. Bukan tidak mungkin kelompok ini akan bermetamorfosis mendukung calon-calon di Pilkada serentak.
"Ini harus diwaspadai. Tapi saya tidak tahu apakah pemerintah seperti sudah punya pemetakaan kira-kira pemain-pemain di provinsi dan kabupaten yang berpotensi menggunakan kelompok ini untuk mencari kemenangan," ujarnya.
Pelajaran pada Pilkada serentak sebelumnya, lanjut Sri Yunanto, ada di beberapa daerah yang mengusung gagasan syariat Islam. Karena itulah, harus ada studi agar penanganan masalah ini tidak salah dan itu butuh ketegasan dari pemerintah.
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), penanganan masalah ini sudah sangat tegas dengan dibubarkannya organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi khilafah. Kini pemerintahan baru di bawah komando presiden terpilih Prabowo Subianto diharapkan akan lebih tegas dalam memberantas ideologi-ideologi transnasional tersebut.
Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Sri Yunanto mengatakan, meski organisasi kelompok tersebut sudah dibubarkan, tapi sel-sel mereka masih terus bergerak di bawah tanah. Bahkan pada Pemilu 2024, kelompok ini sempat mengkristal dalam kelompok pasangan calon (paslon) tertentu yang tidak menang.
"Artinya mereka akan terus bergerak mempromosikan ideologi mereka dengan berbagai gerakan. Seperti beberapa waktu kemarin ada video viral kegiatan anak muda atau mahasiswa, di mana pembicaranya mengangkat ide lama seperti antidemokrasi, antipajak yang dibenturkan dengan zakat. Kemudian ujung-ujungnya anti-NKRI," ungkap Sri Yunanto Minggu (12/5/2024).
Ia menilai, kegiatan itu menjadi tanda mereka berusaha kembali ke permukaan sejak HTI dibubarkan pada 2017 dengan memanfaatkan momentum politik yaitu pemilu. Itu juga menjadi bukti, meski organisasinya telah dibubarkan, tetapi kelompok itu masih eksis. "Mereka mungkin bisa berganti nama atau 'rumah' baru, tapi isinya tetap ideologi khilafah yang ingin mempreteli kebijakan negara. Saya konfirmasi ini neo HTI yang secara gerakan ideologi ke arah sana tapi organisasinya nggak pakai HTI," ujarnya.
Untuk itu, Sri Yunanto berharap pemerintah baru nanti harus waspada. Apalagi pemerintah baru nanti memiliki rencana kebutuhan anggaran lebih besar di luar anggaran rutin dengan adanya IKN, serta makan siang gratis yang dijadikan platform saat kampanye. Dengan demikian, sumber penerimaan harus digenjot, makanya santer dikabarkan nanti akan ada satu badan penerimaan negara seperti Dirjen Pajak, yang dipisahkan dari Kementerian Keuangan.
"Di situ serangan ideologinya sudah ada. Kalau saya lihat viral di video viral itu misalnya mereka mendelegitimasi tentang pajak, padahal pajak adalah sumber utama penerimaan negaram" katanya.
Sri Yunanto menyarankan, selain kontra narasi yang harus terus dilakukan untuk memerangi propaganda kelompok tersebut, juga harus ada langkah preemtif dan preventif untuk menangani kelompok tersebut. Ini penting agar kelompok ini tidak makin besar. Apalagi setelah pemilu, akhir tahun 2024 ini akan ada Pilkada serentak. Bukan tidak mungkin kelompok ini akan bermetamorfosis mendukung calon-calon di Pilkada serentak.
"Ini harus diwaspadai. Tapi saya tidak tahu apakah pemerintah seperti sudah punya pemetakaan kira-kira pemain-pemain di provinsi dan kabupaten yang berpotensi menggunakan kelompok ini untuk mencari kemenangan," ujarnya.
Pelajaran pada Pilkada serentak sebelumnya, lanjut Sri Yunanto, ada di beberapa daerah yang mengusung gagasan syariat Islam. Karena itulah, harus ada studi agar penanganan masalah ini tidak salah dan itu butuh ketegasan dari pemerintah.