Dokter dan Paramedis Deklarasikan Penggiat Alam Kemenkes
loading...
A
A
A
baca juga: Jurnalis Senior Don Hasman Posting Foto Kebersamaan dengan Herman Lantang
Sekadar diketahui, penyakit ketinggian (altitude sickness atau mountain sickness) terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.
Penyakit ketinggianmenyerang seseorang yang tengah berada di ketinggian, biasanya di atas 2.500 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Penyakit ini karena kurangnya oksigen yang cukup di udara yang tipis di ketinggian tersebut.
Kondisi ini dapat memengaruhi siapa saja yang naik ke ketinggian yang tinggi, tidak peduli apakah mereka sudah terbiasa dengan ketinggian atau tidak. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, bahkan mereka yang sebelumnya telah naik ke ketinggian yang sama tanpa ada masalah pun memiliki peluang terjadinya altitude sickness.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mencegah altitude sickness terjadi terutama ketika melakukan pendakian gunung, sehingga kejadian altitude sickness dapat diminimalisir. Beberapa gejala orang yang terserang altitude sickness adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala.
baca juga: 5 Komunitas Tertua di Indonesia, Nomor Terakhir Organisasi Alam Bebas yang Kini Berusia 59 Tahun
“Hal-hal menyangkut kesehatan seperti inilah yang harus diketahui dan dipahami oleh para penggiat alam terutama pendaki gunung,” kata Ketua Pecinta Alam RS Fatmawati (Palafa) Jakarta, Tri Gunadi.
Agar edukasi mengenai ilmu-ilmu kesehatan ini teraplikasi dengan baik, ke depan dokter dan paramedis yang tergabung di Penggiat Alam Kemenkes akan mendirikan shelter atau pos kesehatan, terutama di jalur pendakian gunung.
“Pos kesehatan ini perlu ada terutama saat ramai musim pendakian. Agar pertolongan pertama gawat darurat atau kecelakaan di gunung bisa cepat ditangani dan sebisa mungkin terhindar dari korban jiwa. Untuk mewujudkan ini tentu butuh kolaborasi dengan banyak pihak dan support dari stakeholder terkait pelayanan kesehatan,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, penyakit ketinggian (altitude sickness atau mountain sickness) terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.
Penyakit ketinggianmenyerang seseorang yang tengah berada di ketinggian, biasanya di atas 2.500 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Penyakit ini karena kurangnya oksigen yang cukup di udara yang tipis di ketinggian tersebut.
Kondisi ini dapat memengaruhi siapa saja yang naik ke ketinggian yang tinggi, tidak peduli apakah mereka sudah terbiasa dengan ketinggian atau tidak. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, bahkan mereka yang sebelumnya telah naik ke ketinggian yang sama tanpa ada masalah pun memiliki peluang terjadinya altitude sickness.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mencegah altitude sickness terjadi terutama ketika melakukan pendakian gunung, sehingga kejadian altitude sickness dapat diminimalisir. Beberapa gejala orang yang terserang altitude sickness adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala.
baca juga: 5 Komunitas Tertua di Indonesia, Nomor Terakhir Organisasi Alam Bebas yang Kini Berusia 59 Tahun
“Hal-hal menyangkut kesehatan seperti inilah yang harus diketahui dan dipahami oleh para penggiat alam terutama pendaki gunung,” kata Ketua Pecinta Alam RS Fatmawati (Palafa) Jakarta, Tri Gunadi.
Agar edukasi mengenai ilmu-ilmu kesehatan ini teraplikasi dengan baik, ke depan dokter dan paramedis yang tergabung di Penggiat Alam Kemenkes akan mendirikan shelter atau pos kesehatan, terutama di jalur pendakian gunung.
“Pos kesehatan ini perlu ada terutama saat ramai musim pendakian. Agar pertolongan pertama gawat darurat atau kecelakaan di gunung bisa cepat ditangani dan sebisa mungkin terhindar dari korban jiwa. Untuk mewujudkan ini tentu butuh kolaborasi dengan banyak pihak dan support dari stakeholder terkait pelayanan kesehatan,” pungkasnya.
(hdr)