Dokter dan Paramedis Deklarasikan Penggiat Alam Kemenkes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puluhandokter dan paramedis dan sejumlah rumah sakit mendeklarasikan organisasi Penggiat Alam Kemenkes. Gagasan ini berangkat dari keinginan memberikan pelayanan kesehatan di setiap aktivitas kegiatan alam bebas yang belakangan marak digandrungi masyarakat Tanah Air.
baca juga: Senior Pecinta Alam, Bang Djajo Meninggal Dunia
“Selain tentunya semangat membangun wadah ini disatukan karena kesamaan hobi naik gunung, panjat tebing, arus deras dan aktivitas alam bebas lainnya termasuk camping ceria,” kata Habib Subhan pada acara Deklarasi Penggiat Alam Kemenkes, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (25/11/2023).
Habib Subhan merupakan salah satu deklarator sekaligus yang dimandatori sebagai Ketua Umum Penggiat Alam Kemenkes oleh dokter dan paramedis yang hadir di acara deklarasi. “AD/ART organisasi ini sudah kita buat, tinggal lagi kita rapikan struktur pengurus dan keanggotaannya termasuk membuat program kerja,” ujar pria yang tercatat sebagai pegawai di Kemenkes ini.
Untuk keanggotaan Penggiat Alam Kemenkes sangat terbuka. Siapapun dokter dan paramedis juga masyarakat umum terkait pelayanan kesehatan dipersilahkan untuk bergabung. Bahkan sudah bergabung sejumlah penggiat alam dari organisasi pecinta alam dan pendaki gunung di rumah sakit, seperti RS Fatmawati Jakarta, RSKO Jakarta, RSPG Cisarua Bogor, RS Persahabatan Jakarta dan lain-lain.
“Di samping untuk menyalurkan hobi dan kesenangan, terpenting jadikan wadah ini untuk menebar semangat kemanusiaan, memberikan edukasi dan layanan kesehatan kepada masyarakat,” pesan Direktur Layanan Operasional RSUP Fatmawati, dr Aldrin Neilwan P.Sp.AK, MARS dalam sambutannya di acara deklarasi.
baca juga: Akhirnya Film Legenda Petualang Herman Lantang Diputar 22 Mei
Setali tiga uang, Anggota Kehormatan Mapala Universitas Indonesia (UI) Syamsirwan Ichien menyambut baik berdirinya organisasi Penggiat Alam Kemenkes, yang dinilainya memiliki kekhasan dan menambah khasanah organisasi penggiat alam bebas. “Ini sangat positif, kuat misi kemanusiaan dan ada unsur edukasinya. Jadi tidak hanya menyalurkan hobi naik gunung dan senang-senang aja,” kata dia antusias.
Menurut Ichien, para penggiat alam bebas terutama pendaki gunung wajib tahu tentang ilmu kesehatan. Apalagi aktivitas alam bebas berisiko tinggi bahkan bisa merenggut jiwa. “Minimal mereka harus mengerti tentang PPGD dan P3K (Pertolongan Pertama Gawat Darurat/Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan),” tukasnya.
Ichien bercerita, di pegunungan Himalaya, pada setiap musim ramai pendakian selalu ada volunteer kesehatan dari berbagai negara dikirim ke wilayah tersebut. “Para dokter dan paramedis itu dikirim pakai helikopter menuju ke permukiman masyarakat, pos dan shelter-shelter pendakian, memberikan pengetahuan tentang kesehatan terutama cara menangani altitude sickness atau mountain sickness yang biasa menyerang para pendaki gunung,” tutur Ichien.
baca juga: Jurnalis Senior Don Hasman Posting Foto Kebersamaan dengan Herman Lantang
Sekadar diketahui, penyakit ketinggian (altitude sickness atau mountain sickness) terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.
Penyakit ketinggianmenyerang seseorang yang tengah berada di ketinggian, biasanya di atas 2.500 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Penyakit ini karena kurangnya oksigen yang cukup di udara yang tipis di ketinggian tersebut.
Kondisi ini dapat memengaruhi siapa saja yang naik ke ketinggian yang tinggi, tidak peduli apakah mereka sudah terbiasa dengan ketinggian atau tidak. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, bahkan mereka yang sebelumnya telah naik ke ketinggian yang sama tanpa ada masalah pun memiliki peluang terjadinya altitude sickness.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mencegah altitude sickness terjadi terutama ketika melakukan pendakian gunung, sehingga kejadian altitude sickness dapat diminimalisir. Beberapa gejala orang yang terserang altitude sickness adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala.
baca juga: 5 Komunitas Tertua di Indonesia, Nomor Terakhir Organisasi Alam Bebas yang Kini Berusia 59 Tahun
“Hal-hal menyangkut kesehatan seperti inilah yang harus diketahui dan dipahami oleh para penggiat alam terutama pendaki gunung,” kata Ketua Pecinta Alam RS Fatmawati (Palafa) Jakarta, Tri Gunadi.
Agar edukasi mengenai ilmu-ilmu kesehatan ini teraplikasi dengan baik, ke depan dokter dan paramedis yang tergabung di Penggiat Alam Kemenkes akan mendirikan shelter atau pos kesehatan, terutama di jalur pendakian gunung.
“Pos kesehatan ini perlu ada terutama saat ramai musim pendakian. Agar pertolongan pertama gawat darurat atau kecelakaan di gunung bisa cepat ditangani dan sebisa mungkin terhindar dari korban jiwa. Untuk mewujudkan ini tentu butuh kolaborasi dengan banyak pihak dan support dari stakeholder terkait pelayanan kesehatan,” pungkasnya.
baca juga: Senior Pecinta Alam, Bang Djajo Meninggal Dunia
“Selain tentunya semangat membangun wadah ini disatukan karena kesamaan hobi naik gunung, panjat tebing, arus deras dan aktivitas alam bebas lainnya termasuk camping ceria,” kata Habib Subhan pada acara Deklarasi Penggiat Alam Kemenkes, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (25/11/2023).
Habib Subhan merupakan salah satu deklarator sekaligus yang dimandatori sebagai Ketua Umum Penggiat Alam Kemenkes oleh dokter dan paramedis yang hadir di acara deklarasi. “AD/ART organisasi ini sudah kita buat, tinggal lagi kita rapikan struktur pengurus dan keanggotaannya termasuk membuat program kerja,” ujar pria yang tercatat sebagai pegawai di Kemenkes ini.
Untuk keanggotaan Penggiat Alam Kemenkes sangat terbuka. Siapapun dokter dan paramedis juga masyarakat umum terkait pelayanan kesehatan dipersilahkan untuk bergabung. Bahkan sudah bergabung sejumlah penggiat alam dari organisasi pecinta alam dan pendaki gunung di rumah sakit, seperti RS Fatmawati Jakarta, RSKO Jakarta, RSPG Cisarua Bogor, RS Persahabatan Jakarta dan lain-lain.
“Di samping untuk menyalurkan hobi dan kesenangan, terpenting jadikan wadah ini untuk menebar semangat kemanusiaan, memberikan edukasi dan layanan kesehatan kepada masyarakat,” pesan Direktur Layanan Operasional RSUP Fatmawati, dr Aldrin Neilwan P.Sp.AK, MARS dalam sambutannya di acara deklarasi.
baca juga: Akhirnya Film Legenda Petualang Herman Lantang Diputar 22 Mei
Setali tiga uang, Anggota Kehormatan Mapala Universitas Indonesia (UI) Syamsirwan Ichien menyambut baik berdirinya organisasi Penggiat Alam Kemenkes, yang dinilainya memiliki kekhasan dan menambah khasanah organisasi penggiat alam bebas. “Ini sangat positif, kuat misi kemanusiaan dan ada unsur edukasinya. Jadi tidak hanya menyalurkan hobi naik gunung dan senang-senang aja,” kata dia antusias.
Menurut Ichien, para penggiat alam bebas terutama pendaki gunung wajib tahu tentang ilmu kesehatan. Apalagi aktivitas alam bebas berisiko tinggi bahkan bisa merenggut jiwa. “Minimal mereka harus mengerti tentang PPGD dan P3K (Pertolongan Pertama Gawat Darurat/Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan),” tukasnya.
Ichien bercerita, di pegunungan Himalaya, pada setiap musim ramai pendakian selalu ada volunteer kesehatan dari berbagai negara dikirim ke wilayah tersebut. “Para dokter dan paramedis itu dikirim pakai helikopter menuju ke permukiman masyarakat, pos dan shelter-shelter pendakian, memberikan pengetahuan tentang kesehatan terutama cara menangani altitude sickness atau mountain sickness yang biasa menyerang para pendaki gunung,” tutur Ichien.
baca juga: Jurnalis Senior Don Hasman Posting Foto Kebersamaan dengan Herman Lantang
Sekadar diketahui, penyakit ketinggian (altitude sickness atau mountain sickness) terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.
Penyakit ketinggianmenyerang seseorang yang tengah berada di ketinggian, biasanya di atas 2.500 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Penyakit ini karena kurangnya oksigen yang cukup di udara yang tipis di ketinggian tersebut.
Kondisi ini dapat memengaruhi siapa saja yang naik ke ketinggian yang tinggi, tidak peduli apakah mereka sudah terbiasa dengan ketinggian atau tidak. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, bahkan mereka yang sebelumnya telah naik ke ketinggian yang sama tanpa ada masalah pun memiliki peluang terjadinya altitude sickness.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mencegah altitude sickness terjadi terutama ketika melakukan pendakian gunung, sehingga kejadian altitude sickness dapat diminimalisir. Beberapa gejala orang yang terserang altitude sickness adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala.
baca juga: 5 Komunitas Tertua di Indonesia, Nomor Terakhir Organisasi Alam Bebas yang Kini Berusia 59 Tahun
“Hal-hal menyangkut kesehatan seperti inilah yang harus diketahui dan dipahami oleh para penggiat alam terutama pendaki gunung,” kata Ketua Pecinta Alam RS Fatmawati (Palafa) Jakarta, Tri Gunadi.
Agar edukasi mengenai ilmu-ilmu kesehatan ini teraplikasi dengan baik, ke depan dokter dan paramedis yang tergabung di Penggiat Alam Kemenkes akan mendirikan shelter atau pos kesehatan, terutama di jalur pendakian gunung.
“Pos kesehatan ini perlu ada terutama saat ramai musim pendakian. Agar pertolongan pertama gawat darurat atau kecelakaan di gunung bisa cepat ditangani dan sebisa mungkin terhindar dari korban jiwa. Untuk mewujudkan ini tentu butuh kolaborasi dengan banyak pihak dan support dari stakeholder terkait pelayanan kesehatan,” pungkasnya.
(hdr)