Merekat Kebersamaan
A
A
A
Ahmad Fuad Fanani
Mahasiswa S-3 di The Univesity of Totonto, Kanada;
Penulis Buku Reimagining Muhammadiyah: Islam
Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan
Twitter @fuadfanani
MUHAMMADIYAH akan memasuki usianya yang ke-105 pada 18 November 2017. Untuk memperingati miladnya yang ke-105, Muhammadiyah yang lahir pada 18 November 1912 mengangkat tema ”Muhammadiyah Merekat Kebersamaan”. Tema milad ini sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini dan pada masa mendatang. Semangat kebersamaan dan persatuan bangsa Indonesia tampaknya sedang melemah karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, kebersamaan yang seharusnya jadi pegangan untuk melakukan hal-hal yang baik -bukan kebersamaan untuk hal-hal yang negatif- seyogianya terus direvitalisasi dan diaktualkan kembali.
Pentingnya Kebersamaan
Bangunan kebangsaan dan kebersamaan bangsa Indonesia melemah karena faktor menguatnya politik identitas dan kesenjangan ekonomi yang marak terjadi. Fenomena pertarungan isu politik identitas pada Pemilu 2014 tampaknya tidak semakin meredup, tapi justru semakin membara. Menguatnya adu kuat antarpendukung dan lemahnya kohesi sosial antarmasyarakat di tingkat bawah maupun atas, tampaknya terus menghangat hingga hari-hari ini. Bahkan, Pilkada DKI Jakarta yang sudah usai pada April 2017, dampaknya masih terus terjadi.
Terutama jika kita saksikan dan cermati di berbagai media sosial, seperti Facebook, grup WhatsApp, grup Telegram, dan Twitter. Di dunia nyata pun, pertentangan antarpendukung terus terjadi. Hal ini tampaknya akan terus menguat dan menjadi bahan kampanye untuk Pileg dan Pilpres 2019 nanti.
Dalam kondisi demikian, ajakan Muhammadiyah untuk merekat kebersamaan sangat penting untuk didukung. Saat bangsa dan masyarakat terfragmentasi karena faktor politik dan ekonomi ini, kita membutuhkan organisasi-organisasi dan sosok-sosok pemimpin yang berani berdiri netral dan menentang arus. Artinya, mereka-mereka itu tidak memihak salah satu kelompok dan menyalahkan pihak/kelompok lainnya. Netral bukan berarti tidak bersikap, tapi netralitas sesungguhnya adalah sebuah prinsip politik yang bertujuan untuk menurunkan tensi pertentangan dan konflik yang semakin meruncing.
Netralitas adalah strategi politik untuk tujuan jangka panjang, yaitu pentingnya bangsa Indonesia mengingat kembali tujuan berdirinya negara ini. Yaitu: ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...” (Naskah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Tawaran Pemikiran Muhammadiyah
Sebagai organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan yang lahir lebih dahulu dari proklamasi kemerdekaan Indonesia, perjalanan panjang Muhammadiyah terkait erat dengan perjalanan bangsa ini. Tema milad 105 tahun Muhammadiyah yang mengangkat soal pentingnya kebersamaan ini mengajukan pemikiran dan refleksi bahwa kita semua harus mengingat kembali tujuan dasar berdirinya bangsa ini. Indonesia lahir dari kesepakatan dan kerja sama semua kelompok bangsa yang terdiri dari berbagai organisasi keagamaan, suku, warna kulit, dan agama. Kesepakatan para pendiri bangsa agar kita hidup bersama-sama dalam persatuan dan kebersamaan ini, harus terus dipelihara dan diaktualkan. Cita-cita agar Indonesia menjadi bangsa yang bersatu ini harus terus dikumandangkan dan didengungkan, tidak hanya dalam lisan, tapi juga dalam tindakan.
Sehubungan dengan itu, pokok-pokok pikiran Muhammadiyah tentang Pancasila patut untuk disimak sebagai sumbangan pemikiran untuk merekat kebersamaan. Menurut Muhammadiyah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang berbasis pada falsafah kebangsaan dan sesuai dengan ajaran Islam. Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-’ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negara yang aman dan damai (dar al-salam). Tujuan Negara Pancasila adalah untuk mewujudkan kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan rida Allah SWT.
Bagi Muhammadiyah, pandangan ini juga sesuai dengan cita-cita Islam tentang negara idaman, yaitu ”Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, suatu negeri yang aman, tenteram, baik, dan berada dalam ampunan Allah (Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, 2015). Pokok-pokok pikiran Muhammadiyah ini sangat penting dijadikan pedoman kita semua dalam merekat kebersamaan dan merajut persatuan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah menyadari bahwa pasti banyak tantangan dalam kerja-kerja merekat kebersamaan demi terwujudnya kesatuan bagi segenap bangsa Indonesia, salah satunya melemahnya persatuan dan kohesi sosial seperti sekarang ini. Oleh karenanya, Muhammadiyah mengajak agar segenap bangsa, terutama para elite politik ini mampu menyelaraskan antara laku dan kata, menjunjung etika yang mulia, menunaikan amanat rakyat, dan memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan semua pihak mana pun.
Muhammadiyah juga mengajak agar jajaran pemerintah dan politisi di negeri ini berkomitmen kuat untuk kemajuan bangsa dan negara, mengedepankan kejujuran dan keadilan, serta mewujudkan prinsip kenegarawanan dan keberanian untuk berdiri di atas semua golongan (Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, 2015). Pokok-pokok pemikiran Muhammadiyah lainnya juga bisa dibaca dalam buku Muhammadiyah dan Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal (2015) dan Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014 & 2015). Dalam menyerukan prinsip-prinsip penting itu, Muhammadiyah tidak hanya berhenti pada retorika. Muhammadiyah sudah membuktikan kerja nyatanya dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan amal kemanusiaan lainnya.
Program-program yang dijalankan Muhammadiyah selama ini tidak hanya berorientasi pada anggota organisasinya. Namun, Muhammadiyah melampaui sekat-sekat primordial dan program-programnya ditujukan untuk melayani masyarakat dan umat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, ras, suku, organisasi, dan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah terbuka untuk siapa saja.
Bahkan, Universitas Muhammadiyah di Papua dan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur sebagian besar mahasiswa dan siswanya adalah nonmuslim. Mereka tidak diminta dan tidak dipaksa untuk menjadi Islam dan serta masuk Muhammadiyah. Program-program dari Lazis Muhammadiyah (LazisMu) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center/Lembaga Penanggulangan Bencana) juga melampaui sekat-sekat agama dan golongan. Dengan bendera Muhammadiyah Aid, LazisMu dan MDMC aktif bergerak untuk membantu muslim Rohingnya di Myanmar tanpa banyak beretorika. Muhammadiyah juga membantu korban konflik dan bencana di Mindanao Filipina, Bangladesh, Palestina, dan Aleppo Syiria. MDMC dan Lazismu juga mengadvokasi jamaah Syiah di Sampang Madura dan aktif membantu korban bencana alam di banyak wilayah.
Dengan gagasan yang ditawarkan dan pengalaman panjangnya dalam kerja-kerja kemanusiaan itu, maka ajakan Muhammadiyah untuk merekat kebersamaan untuk bangsa sangat penting ditindaklanjuti. Terlebih lagi, dalam istilah Ahmad Syafii Maarif (2015), Muhammadiyah selama ini telah terbukti nyata menjadi pembantu penting negara dalam urusan kemasyarakatan, pendidikan, dan kemanusiaan. Maka, ikhtiar merekat kebersamaan yang melampaui suku, agama, golongan, dan kepentingan politik sangat penting untuk mewujudkan persatuan dan mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi semua rakyat. Tentu saja agar tujuan mulia ini cepat terwujud, perlu ada kerja keras dan kerja sama yang serius dari segenap komponen bangsa ini, baik dari negara maupun masyarakat. Wallahu A’lam Bisshawab.
Mahasiswa S-3 di The Univesity of Totonto, Kanada;
Penulis Buku Reimagining Muhammadiyah: Islam
Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan
Twitter @fuadfanani
MUHAMMADIYAH akan memasuki usianya yang ke-105 pada 18 November 2017. Untuk memperingati miladnya yang ke-105, Muhammadiyah yang lahir pada 18 November 1912 mengangkat tema ”Muhammadiyah Merekat Kebersamaan”. Tema milad ini sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini dan pada masa mendatang. Semangat kebersamaan dan persatuan bangsa Indonesia tampaknya sedang melemah karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, kebersamaan yang seharusnya jadi pegangan untuk melakukan hal-hal yang baik -bukan kebersamaan untuk hal-hal yang negatif- seyogianya terus direvitalisasi dan diaktualkan kembali.
Pentingnya Kebersamaan
Bangunan kebangsaan dan kebersamaan bangsa Indonesia melemah karena faktor menguatnya politik identitas dan kesenjangan ekonomi yang marak terjadi. Fenomena pertarungan isu politik identitas pada Pemilu 2014 tampaknya tidak semakin meredup, tapi justru semakin membara. Menguatnya adu kuat antarpendukung dan lemahnya kohesi sosial antarmasyarakat di tingkat bawah maupun atas, tampaknya terus menghangat hingga hari-hari ini. Bahkan, Pilkada DKI Jakarta yang sudah usai pada April 2017, dampaknya masih terus terjadi.
Terutama jika kita saksikan dan cermati di berbagai media sosial, seperti Facebook, grup WhatsApp, grup Telegram, dan Twitter. Di dunia nyata pun, pertentangan antarpendukung terus terjadi. Hal ini tampaknya akan terus menguat dan menjadi bahan kampanye untuk Pileg dan Pilpres 2019 nanti.
Dalam kondisi demikian, ajakan Muhammadiyah untuk merekat kebersamaan sangat penting untuk didukung. Saat bangsa dan masyarakat terfragmentasi karena faktor politik dan ekonomi ini, kita membutuhkan organisasi-organisasi dan sosok-sosok pemimpin yang berani berdiri netral dan menentang arus. Artinya, mereka-mereka itu tidak memihak salah satu kelompok dan menyalahkan pihak/kelompok lainnya. Netral bukan berarti tidak bersikap, tapi netralitas sesungguhnya adalah sebuah prinsip politik yang bertujuan untuk menurunkan tensi pertentangan dan konflik yang semakin meruncing.
Netralitas adalah strategi politik untuk tujuan jangka panjang, yaitu pentingnya bangsa Indonesia mengingat kembali tujuan berdirinya negara ini. Yaitu: ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...” (Naskah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Tawaran Pemikiran Muhammadiyah
Sebagai organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan yang lahir lebih dahulu dari proklamasi kemerdekaan Indonesia, perjalanan panjang Muhammadiyah terkait erat dengan perjalanan bangsa ini. Tema milad 105 tahun Muhammadiyah yang mengangkat soal pentingnya kebersamaan ini mengajukan pemikiran dan refleksi bahwa kita semua harus mengingat kembali tujuan dasar berdirinya bangsa ini. Indonesia lahir dari kesepakatan dan kerja sama semua kelompok bangsa yang terdiri dari berbagai organisasi keagamaan, suku, warna kulit, dan agama. Kesepakatan para pendiri bangsa agar kita hidup bersama-sama dalam persatuan dan kebersamaan ini, harus terus dipelihara dan diaktualkan. Cita-cita agar Indonesia menjadi bangsa yang bersatu ini harus terus dikumandangkan dan didengungkan, tidak hanya dalam lisan, tapi juga dalam tindakan.
Sehubungan dengan itu, pokok-pokok pikiran Muhammadiyah tentang Pancasila patut untuk disimak sebagai sumbangan pemikiran untuk merekat kebersamaan. Menurut Muhammadiyah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang berbasis pada falsafah kebangsaan dan sesuai dengan ajaran Islam. Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-’ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negara yang aman dan damai (dar al-salam). Tujuan Negara Pancasila adalah untuk mewujudkan kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan rida Allah SWT.
Bagi Muhammadiyah, pandangan ini juga sesuai dengan cita-cita Islam tentang negara idaman, yaitu ”Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, suatu negeri yang aman, tenteram, baik, dan berada dalam ampunan Allah (Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, 2015). Pokok-pokok pikiran Muhammadiyah ini sangat penting dijadikan pedoman kita semua dalam merekat kebersamaan dan merajut persatuan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah menyadari bahwa pasti banyak tantangan dalam kerja-kerja merekat kebersamaan demi terwujudnya kesatuan bagi segenap bangsa Indonesia, salah satunya melemahnya persatuan dan kohesi sosial seperti sekarang ini. Oleh karenanya, Muhammadiyah mengajak agar segenap bangsa, terutama para elite politik ini mampu menyelaraskan antara laku dan kata, menjunjung etika yang mulia, menunaikan amanat rakyat, dan memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan semua pihak mana pun.
Muhammadiyah juga mengajak agar jajaran pemerintah dan politisi di negeri ini berkomitmen kuat untuk kemajuan bangsa dan negara, mengedepankan kejujuran dan keadilan, serta mewujudkan prinsip kenegarawanan dan keberanian untuk berdiri di atas semua golongan (Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, 2015). Pokok-pokok pemikiran Muhammadiyah lainnya juga bisa dibaca dalam buku Muhammadiyah dan Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal (2015) dan Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014 & 2015). Dalam menyerukan prinsip-prinsip penting itu, Muhammadiyah tidak hanya berhenti pada retorika. Muhammadiyah sudah membuktikan kerja nyatanya dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan amal kemanusiaan lainnya.
Program-program yang dijalankan Muhammadiyah selama ini tidak hanya berorientasi pada anggota organisasinya. Namun, Muhammadiyah melampaui sekat-sekat primordial dan program-programnya ditujukan untuk melayani masyarakat dan umat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, ras, suku, organisasi, dan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah terbuka untuk siapa saja.
Bahkan, Universitas Muhammadiyah di Papua dan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur sebagian besar mahasiswa dan siswanya adalah nonmuslim. Mereka tidak diminta dan tidak dipaksa untuk menjadi Islam dan serta masuk Muhammadiyah. Program-program dari Lazis Muhammadiyah (LazisMu) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center/Lembaga Penanggulangan Bencana) juga melampaui sekat-sekat agama dan golongan. Dengan bendera Muhammadiyah Aid, LazisMu dan MDMC aktif bergerak untuk membantu muslim Rohingnya di Myanmar tanpa banyak beretorika. Muhammadiyah juga membantu korban konflik dan bencana di Mindanao Filipina, Bangladesh, Palestina, dan Aleppo Syiria. MDMC dan Lazismu juga mengadvokasi jamaah Syiah di Sampang Madura dan aktif membantu korban bencana alam di banyak wilayah.
Dengan gagasan yang ditawarkan dan pengalaman panjangnya dalam kerja-kerja kemanusiaan itu, maka ajakan Muhammadiyah untuk merekat kebersamaan untuk bangsa sangat penting ditindaklanjuti. Terlebih lagi, dalam istilah Ahmad Syafii Maarif (2015), Muhammadiyah selama ini telah terbukti nyata menjadi pembantu penting negara dalam urusan kemasyarakatan, pendidikan, dan kemanusiaan. Maka, ikhtiar merekat kebersamaan yang melampaui suku, agama, golongan, dan kepentingan politik sangat penting untuk mewujudkan persatuan dan mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi semua rakyat. Tentu saja agar tujuan mulia ini cepat terwujud, perlu ada kerja keras dan kerja sama yang serius dari segenap komponen bangsa ini, baik dari negara maupun masyarakat. Wallahu A’lam Bisshawab.
(kri)