Merekat Kebersamaan

Sabtu, 18 November 2017 - 08:09 WIB
Merekat Kebersamaan
Merekat Kebersamaan
A A A
Ahmad Fuad Fanani
Mahasiswa S-3 di The Univesity of Totonto, Kanada;
Penulis Buku Reimagining Muhammadiyah: Islam
Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan
Twitter @fuadfanani


MUHAMMADIYAH
akan me­masuki usianya yang ke-105 pada 18 No­­vember 2017. Untuk mem­per­­ingati miladnya yang ke-105, Mu­hammadiyah yang l­a­hir pa­da 18 November 1912 meng­ang­kat tema ”Mu­ham­ma­di­yah Me­r­ekat Kebersamaan”. Te­ma mi­lad ini sangat relevan de­ngan kon­disi bangsa saat ini dan pada ma­sa mendatang. Se­ma­ngat ke­ber­samaan dan per­sa­tuan bang­sa Indonesia tam­pak­nya sedang me­lemah ka­re­na berbagai fak­tor yang mem­pe­ngaruhinya. Oleh karena itu, ke­bersamaan yang seharusnya ja­di pegangan un­tuk me­la­ku­kan hal-hal yang baik -bukan ke­bersamaan untuk hal-hal yang ne­gatif- seyogianya te­rus d­i­re­vi­ta­lisasi dan di­ak­tual­kan kembali.

Pentingnya Kebersamaan

Bangunan kebangsaan dan ke­­bersamaan bangsa Indonesia me­­lemah karena faktor me­nguat­­nya politik identitas dan ke­­senjangan ekonomi yang ma­rak terjadi. Fenomena ­per­ta­rung­­an isu politik identitas pa­da Pe­milu 2014 tampaknya ti­dak se­makin meredup, tapi jus­tru se­makin membara. M­e­nguat­­nya adu kuat an­tar­pen­du­kung dan lemahnya kohesi so­sial an­tar­masyarakat di tingkat ba­w­ah mau­pun atas, tam­pak­nya terus meng­hangat hingga hari-hari ini. Bahkan, Pilkada DKI Jakarta yang sudah usai pa­da April 2017, dam­paknya ma­sih terus terjadi.

Terutama jika ki­ta saksikan dan ce­r­mati di ber­ba­gai media sosial, se­perti Face­book, grup What­s­App, grup Te­le­gram, dan Twitter. Di dunia nyata pun, pert­ent­ang­an an­tar­pen­du­kung terus ter­ja­di. Hal ini tam­paknya akan terus me­nguat dan menjadi bahan kam­panye un­tuk Pileg dan Pil­pres 2019 nanti.

Dalam kondisi demikian, ajak­­an Muhammadiyah untuk me­­rekat kebersamaan sangat pen­­ting untuk didukung. Saat bang­­sa dan masyarakat ter­frag­­men­tasi karena faktor po­litik dan ekonomi ini, kita mem­­bu­tuh­kan organisasi-o­r­ga­­nisasi dan sosok-sosok pe­mim­pin yang berani berdiri ne­tral dan me­­nentang arus. Ar­ti­nya, mereka-mereka itu ti­dak me­mi­hak salah sa­tu kelompok dan me­­nyalahkan pi­­hak/kelompok lain­­nya. Netral bu­kan ber­arti ti­dak ber­si­kap, tapi ne­tra­­li­tas se­­sung­guh­nya ada­lah sebuah­ prin­­­sip po­litik yang ber­tu­ju­a­­n un­t­uk me­n­u­run­kan tensi pe­r­­ten­tang­an dan kon­flik yang s­e­ma­kin m­e­run­cing.

Ne­tra­litas ada­­l­ah stra­te­g­i po­li­tik untuk tu­­­ju­an jang­ka pan­jang, yaitu pen­ting­­nya bangsa In­do­ne­sia meng­­­ingat kembali tu­juan ber­di­­­rinya negara ini. Ya­itu: ”...me­lin­­dungi segenap bang­s­a In­do­ne­­sia dan seluruh tum­p­ah da­rah Indonesia dan un­­tuk m­e­ma­­ju­kan k­e­se­ja­h­te­ra­an umum, mencerdaskan ke­hi­dup­­an bang­sa, dan ikut me­lak­sa­­nakan ke­tertiban dunia yang ber­­­da­sar­kan kemerdekaan, per­­­da­mai­an abadi, dan ke­adil­an sosial...” (Naskah P­e­m­bu­ka­an UUD Negara Republik In­do­ne­­sia Tahun 1945).

Tawaran Pemikiran Muhammadiyah
Sebagai organisasi sosial, ke­aga­maan dan kemasyarakatan yang lahir lebih dahulu dari pro­kla­masi kemerdekaan In­do­ne­sia, perjalanan panjang Mu­ham­madiyah terkait erat de­ngan perjalanan bangsa ini. Te­ma milad 105 tahun Mu­ham­ma­diyah yang mengangkat soal pen­tingnya kebersamaan ini meng­a­jukan pemikiran dan re­flek­si bahwa kita semua harus meng­ingat kembali tujuan da­sar berdirinya bangsa ini. ­In­do­ne­sia lahir dari kesepakatan dan ker­ja sama semua kelompok bang­sa yang terdiri dari ber­ba­gai organisasi keagamaan, su­ku, warna kulit, dan agama. Ke­s­e­pakatan para pendiri bangsa agar kita hidup bersama-sama da­lam persatuan dan ke­ber­sa­ma­an ini, harus terus dipelihara dan diaktualkan. Cita-cita agar In­donesia menjadi bangsa yang ber­satu ini harus terus di­ku­man­dangkan dan did­e­ngung­kan, tidak hanya dalam lisan, ta­pi juga dalam tindakan.

Sehubungan dengan itu, pokok-pokok pikiran Mu­ham­ma­­diyah tentang Pancasila pa­tut un­t­uk disimak sebagai sum­ban­g­an pemikiran untuk me­re­kat ke­bersamaan. Menurut Mu­ham­­madiyah, Negara Ke­sa­tu­an Re­­publik Indonesia (NKRI) yang di­proklamasikan pa­da 17 Agus­tus 1945 adalah Ne­gara Pan­­ca­si­la yang berbasis pa­da fal­sa­fah ke­bang­saan dan se­suai de­ngan ajar­an Islam. Ne­ga­ra Pan­ca­sila me­rupakan hasil ko­n­sen­sus na­sio­nal (dar al-’ahdi) dan tem­pat pem­buktian atau ke­sak­si­an (dar al-sya­ha­dah) untuk men­jadi ne­ga­ra yang aman dan da­mai (dar al-sa­lam). Tujuan Ne­ga­ra Pan­ca­si­la ada­lah untuk me­wujudkan ke­­hi­dupan yang ma­ju, adil, mak­mur, ber­ma­r­ta­bat, dan ber­dau­lat dalam naung­an rida Allah SWT.

Bagi Mu­ham­ma­diyah, pan­­d­angan ini juga se­suai d­e­ngan cita-cita Islam ten­tang ne­ga­­ra idaman, yaitu ”Ba­l­da­tun Thay­­yibatun Wa Rabbun Gha­­fur”, suatu negeri yang aman, ten­­teram, baik, dan ber­ada d­a­lam ampunan Allah (Ne­ga­ra Pan­­casila sebagai Darul Ah­di Wa Sya­hadah, 2015). Pokok-­po­kok pi­kiran Muhammadiyah ini sa­ngat penting dijadikan pe­do­­m­an ki­ta semua dalam me­re­kat ke­ber­samaan dan merajut per­­sa­tu­an berbangsa dan bernegara.

Muhammadiyah menya­dari bah­w­­a pasti banyak tan­tang­­an da­l­am kerja-kerja me­re­kat ke­ber­samaan demi ter­wu­­judnya ke­satuan bagi se­ge­nap bangsa In­donesia, salah s­a­tu­nya me­lemah­nya persatuan dan kohesi so­s­ial seperti se­ka­rang ini. Oleh ka­renanya, Mu­hammadiyah meng­­­ajak agar se­genap bangsa, ter­uta­­ma para elite po­li­tik ini mam­pu me­nye­la­­raskan antara la­ku dan kata, men­jun­­jung etika yang mu­­lia, menu­nai­kan ama­­nat rakyat, dan mem­­per­juang­kan k­e­pentingan rak­yat di atas ke­pen­­tingan se­m­ua p­i­hak ma­na pun.

Mu­ham­ma­di­yah ju­ga meng­­ajak agar ja­jar­an pe­me­rin­­tah dan po­litisi di ne­geri ini ber­ko­mit­men kuat un­tuk ke­ma­ju­an bang­sa dan ne­­gara, me­nge­depan­kan ke­ju­jur­an dan ke­adil­an, serta me­wu­judkan prinsip ke­­nega­ra­wan­­an dan ke­ber­­a­ni­an untuk ber­diri di atas semua go­­longan (Ne­gara Pancasila se­ba­­gai Da­rul Ahdi Wa Syahadah, 2015). Pokok-pokok pe­mi­kir­an Mu­ham­madiyah lainnya ju­ga bi­­­sa di­baca dalam buku Mu­ham­­ma­di­yah dan Isu-isu Stra­te­gis Ke­umat­an, Kebangsaan, dan Ke­ma­nusiaan Universal (2015) dan Indonesia Ber­ke­maju­an: Re­­konstruksi Ke­hi­dup­an Ke­bang­­saan yang Ber­mak­na (2014 & 2015). Dalam me­­nye­ru­kan prinsip-prinsip pen­ting itu, Mu­ham­madiyah tid­ak ha­nya ber­hen­ti pada re­torika. Mu­ham­ma­di­yah sudah mem­­buk­ti­kan ker­ja nyatanya da­lam bi­dang sosial, pen­di­dik­an, ke­se­hat­an, dan amal k­e­manu­siaan lainnya.

Program-program yang di­ja­lan­kan Muhammadiyah selama ini tidak hanya berorientasi pa­da anggota organisasinya. Na­mun, Muhammadiyah me­lam­paui sekat-sekat primordial dan program-programnya dit­uju­kan untuk melayani ma­sya­ra­kat dan umat tanpa mem­be­da­kan la­tar belakang sosial, eko­no­mi, ras, suku, organisasi, dan aga­ma. Lembaga-lembaga pen­di­dik­an Muhammadiyah ter­b­u­ka un­tuk siapa saja.

Bahkan, Uni­ver­sitas Muhammadiyah di Pa­pua dan sekolah-sekolah Mu­ham­­madiyah di Nusa Tenggara Ti­­mur sebagian besar ma­ha­sis­wa dan siswanya adalah no­n­mus­­lim. Mereka tidak diminta dan tidak dipaksa untuk men­ja­di Islam dan serta masuk Mu­ham­­madiyah. Program-prog­ram dari Lazis Muhammadiyah (La­­zisMu) dan MDMC (M­u­ham­­madiyah Disaster Man­a­ge­ment Center/Lembaga Pe­nang­gu­­langan Bencana) juga mel­am­p­aui sekat-sekat agama dan go­long­­an. Dengan bendera Mu­ham­­madiyah Aid, LazisMu dan MDMC aktif bergerak untuk mem­­bantu muslim Rohingnya di Myanmar tanpa banyak ber­eto­­rika. Muhammadiyah juga mem­­bantu korban konflik dan ben­cana di Mindanao Filipina, Bang­­ladesh, Palestina, dan Alep­­­po Syiria. MDMC dan La­zis­­mu juga mengadvokasi jam­a­ah Syiah di Sampang Madura dan aktif membantu korban ben­­cana alam di banyak wilayah.

Dengan gagasan yang dit­a­war­k­an dan pengalaman pan­jang­nya dalam kerja-kerja ke­ma­nu­siaan itu, maka ajakan Mu­h­ammadiyah untuk m­e­re­kat kebersamaan untuk bangsa sa­ngat penting ditindaklanjuti. Ter­lebih lagi, dalam istilah Ah­mad Syafii Maarif (2015), Mu­ham­madiyah selama ini telah te­r­bukti nyata menjadi pem­ban­tu penting negara dalam urus­an kemasyarakatan, pen­di­dik­an, dan kemanusiaan. Maka, ikh­tiar merekat kebersamaan yang melampaui suku, agama, go­longan, dan kepentingan po­li­tik sangat penting untuk me­wu­judkan persatuan dan me­n­ca­pai kesejahteraan dan ke­adi­l­an bagi semua rakyat. Tentu saja agar tujuan mulia ini cepat ter­wu­jud, perlu ada kerja keras dan ker­ja sama yang serius dari se­ge­nap komponen bangsa ini, baik da­ri negara maupun m­asy­a­ra­kat. Wallahu A’lam Bisshawab.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3371 seconds (0.1#10.140)