Komisi Kejaksaan Ingatkan RUU PKS Harus Utamakan Pemulihan Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah dikeluarkan daftar pembahasan Prolegnas prioritas 2020. Namun, berbagai desakan agar draf RUU PKS dibahas kembali agar lebih memihak pada korban kekerasan seksual terus menguat.
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengungkapkan, selama ini peraturan perundang-undangan terkait korban masih bersifat parsial, belum komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual dan lebih banyak berorientasi pada pemidanaan pelaku. Padahal, korban menderita lahir dan batin, serta trauma berkepanjangan terhadap kekerasan seksual yang dialami.
Jika RUU PKS disahkan, kata Barita, akan menjadi lebih penting jika muatannya lebih dari sekadar mencegah kekerasan seksual dan menindak pelaku. Lebih menetapkan fundamental RUU PKS ke dalam ranah perspektif korban.
“Kekerasan seksual selain ditangani dengan penegakan hukum yang tegas, juga harus disertai dengan perlindungan dan pemulihan terhadap korban, baik secara psikologi maupun kesehatan, sehingga Negara hadir dalam permasalahan nyata yang dialami korban. Hal ini yang justru lebih menopang hukum pidana dari aspek yang lebih konkret. Fokusnya kepada korban,” tegas Barita dalam diskusi daring, Rabu (5/8/2020).
(Baca: Lindung Korban Kekerasan, Institut Perempuan Desak RUU PKS Dibahas Tahun Depan)
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu berpendapat senada. Menurutnya, secara yuridis pengaturan tentang kekerasan seksual sebenarnya sudah ada di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, ketentuannya masih bersifat parsial dan belum komprehensif.
“Pengaturan terkait kekerasan seksual yang komprehensif setidaknya harus mengarah pada pengembalian atau perlindungan martabat kemanusiaan,” terang Ninik.
Menilik beberapa undang-undang seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), UU Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ia menilai masih terjadi disharmoni karena masih ada ketidakjelasan antara pemidanaan, pemulihan, dan rehabilitasi.
“Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan parsial, namun juga dengan pendekatan integral yang diikuti dengan pendekatan kultural, moral, dan transnasional, terutama untuk melakukan upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual,” imbuh dia.
(Baca: Komisi Kejaksaan Panggil Jaksa yang Diduga Bertemu Djoko Tjandra)
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lucky Endarwati mengungkapkan bahwa norma dalam KUHP terkait tindak pidana kekerasan seksual pun masih kabur dan kosong. Namun, dalam RUU PKS terdapat enam elemen kunci terkait hukum pidana formil dan materiil atau substansinya terkait kekerasan seksual sehingga menjadikan ruang lingkupnya ke dalam hukum pidana khusus.
“Elemen kunci tersebut yakni pencegahan kekerasan seksual, definisi kekerasan seksual dan 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual, hukum acara pidana, pidana dan ancaman pidana, pemulihan, serta pemantauan. Selain itu, RUU PKS tidak mengabaikan aturan yang bersifat generalis pada KUHP,” tutur Lucky.
Lihat Juga: Memalukan Ada Jaksa Ikut Jualan Sabu, Kajati Maluku Utara: Tak Bisa Dibina Ya Dibinasakan
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengungkapkan, selama ini peraturan perundang-undangan terkait korban masih bersifat parsial, belum komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual dan lebih banyak berorientasi pada pemidanaan pelaku. Padahal, korban menderita lahir dan batin, serta trauma berkepanjangan terhadap kekerasan seksual yang dialami.
Jika RUU PKS disahkan, kata Barita, akan menjadi lebih penting jika muatannya lebih dari sekadar mencegah kekerasan seksual dan menindak pelaku. Lebih menetapkan fundamental RUU PKS ke dalam ranah perspektif korban.
“Kekerasan seksual selain ditangani dengan penegakan hukum yang tegas, juga harus disertai dengan perlindungan dan pemulihan terhadap korban, baik secara psikologi maupun kesehatan, sehingga Negara hadir dalam permasalahan nyata yang dialami korban. Hal ini yang justru lebih menopang hukum pidana dari aspek yang lebih konkret. Fokusnya kepada korban,” tegas Barita dalam diskusi daring, Rabu (5/8/2020).
(Baca: Lindung Korban Kekerasan, Institut Perempuan Desak RUU PKS Dibahas Tahun Depan)
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu berpendapat senada. Menurutnya, secara yuridis pengaturan tentang kekerasan seksual sebenarnya sudah ada di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, ketentuannya masih bersifat parsial dan belum komprehensif.
“Pengaturan terkait kekerasan seksual yang komprehensif setidaknya harus mengarah pada pengembalian atau perlindungan martabat kemanusiaan,” terang Ninik.
Menilik beberapa undang-undang seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), UU Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ia menilai masih terjadi disharmoni karena masih ada ketidakjelasan antara pemidanaan, pemulihan, dan rehabilitasi.
“Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan parsial, namun juga dengan pendekatan integral yang diikuti dengan pendekatan kultural, moral, dan transnasional, terutama untuk melakukan upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual,” imbuh dia.
(Baca: Komisi Kejaksaan Panggil Jaksa yang Diduga Bertemu Djoko Tjandra)
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lucky Endarwati mengungkapkan bahwa norma dalam KUHP terkait tindak pidana kekerasan seksual pun masih kabur dan kosong. Namun, dalam RUU PKS terdapat enam elemen kunci terkait hukum pidana formil dan materiil atau substansinya terkait kekerasan seksual sehingga menjadikan ruang lingkupnya ke dalam hukum pidana khusus.
“Elemen kunci tersebut yakni pencegahan kekerasan seksual, definisi kekerasan seksual dan 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual, hukum acara pidana, pidana dan ancaman pidana, pemulihan, serta pemantauan. Selain itu, RUU PKS tidak mengabaikan aturan yang bersifat generalis pada KUHP,” tutur Lucky.
Lihat Juga: Memalukan Ada Jaksa Ikut Jualan Sabu, Kajati Maluku Utara: Tak Bisa Dibina Ya Dibinasakan
(muh)